Sebuah buku bersampul biru, dengan gambar tangan yang memegang telepon genggam. Sampul yang sangat menarik, sebelum saya membuka buku ini lebih lanjut, saya amati pelan-pelan biar makin penasaran. Judulnya Dua Mata Pisau. Wah! Isinya pasti detail dan tajam ini, saya pikir demikian. Mulai dari daftar isinya, saya buka satu persatu judul-judul itu, otak saya langsung membayangkan sebuah atsmosfer kehidupan. Bola dunia yang berputar-putar berikut dengan isinya baik itu daratan, lautan, bahkan penghuninya.
Esai-esai matang bertemakan ipoleksusbudhankam, dan formal. Buku kumpulan esai yang ditulis oleh seorang laki-laki yang mengabdi sebagai suami, bapak, kakek, dan sekaligus seorang pimpinan. Saya pun berpetualang dalam 25 esai yang tersusun berdasarkan temanya. Sampai pada titik, saya merasa lebih mengenal dunia dan semua istilah-istilahnya. Buku ini faktanya memang bikin saya “sedikit” pintar sebagai manusia setelah selesai membacanya.
***
Hari Buku Nasional, belum banyak memberi arti dan ruang bagi rakyat Indonesia secara nasional.
Esai ketiga berjudul “Menyoal Hari Buku Nasional di Tengah Kemerosotan Kecerdasan Nasional.” Mengenai IQ kolektif Indonesia yang hanya berhasil duduk pada peringkat ke-130 itu bukan tanpa sebab. Akar permasalahannya adalah pada rasa malas untuk membaca buku yang rasanya sudah kian mengakar dan mendarah daging dalam masyarakat kita.
Di esai bagian ini, saya sangat setuju, kalau masyarakat kita lebih senang memandangi layar ponsel androidnya berjam-jam berselancar di dunia maya menikmati konten-konten kreatif atau sekedar cerita basa-basi hidup orang lain ketimbang membaca buku. Sederhananya, lebih menarik untuk berisik di media sosial daripada senyap tenggelam dalam sebuah bacaan yang ternyata banyak manfaatnya.
Belum banyak yang menyadari kalau berjam-jam menatap layar ponsel dan melihat hal-hal yang belum tentu kebenarannya di media sosial justru membuat rusak mental. Berbanding terbalik dengan kesunyian saat membaca buku yang menambah dan mempertajam daya ingat meski hanya 30 menitan saja.
Membaca buku adalah kegiatan yang seharusnya kita galakkan, dan sudah seharusnya pemerintah juga ikut serta. Misalnya, dengan menciptakan suasanan perpustakaan baik itu perpustakaan nasional dan daerah lebih indah, semarak dan kekinian. Mencontoh perpustakaan nasional Singapura yang memang ramai menjadi tujuan wisata baca akhir pekan seluruh penduduknya.
Ruang yang nyaman, ekslusif dan buku-buku yang beraneka ragam jenisnya, belum lagi dari segi kemudahan saat meminjam dan mengembalikan buku yang dapat dilakukan melalui mesin-mesin layanan peminjaman buku terdekat. Pemerintah mereka pun ikut serta dalam menyumbang buku-buku baru setiap tahun, demi kekayaan khasanah wawasan generasi tua muda di negara tersebut. Lantas kita kapan?
Mungkin kita memerlukan sosok investor yang tidak hanya tertarik merancang gym modern saja, tapi kita membutuhkan perpustakaan dan taman bacaan yang serba ada, dengan sentuhan lebih artistik guna membawa masyarakat kita selangkah lebih dekat pada pengetahuan dan kesuksesan.
Menulis dan seorang penulis meskipun gratis, tetaplah idealis
“Penulis Rasa Redaktur” adalah salah satu dari 25 esai yang menarik dalam buku ini. Kalimatnya sederhana dan sangat kena di hati saya, sebagai penulis pemula yang masih terus belajar menyusun kata-kata agar menarik minat para pembacanya, esai ini meminta saya untuk sadar. Menjadi penulis yang memiliki jati diri, dan memberdayakan gaya tulisannya sendiri. Penulis yang jiwanya merdeka ketika menuliskan ide-ide segar dan keresahannya.
Menulis juga perlu idealis, karena jika tidak idealis, ketika sebuah karya hanya dihargai secara gratis, maka kita bisa jadi ngambek alias mutung. Menulis pun tak lagi dinilai sebagai kegiatan yang menarik dan menguntungkan. Padahal jika kita terus menulis, dan tetap berkarya lewat sebuah karya tulis, sebenarnya kita memberi ruang bagi orang-orang yang menyukai hasil karya kita. Tanpa kita sadari ada personal branding di sana, dan ada orang-orang yang berhasil tercerahkan saat membaca artikel itu.
Jika kamu cukup sabar, dan tekun, masyarakat akan mengenalmu dari hasil karya tulisan itu. Terus menampilkan tema-tema yang berhasil membuat para pembacanya mau meluangkan waktu untuk membaca, dan jatuh cinta. Belajar dari pengalaman para mentor menulis yang akhirnya berhasil membangun personal brandingnya, mereka sukses menjadi pembicara untuk mengisi banyak acara dunia kepenulisan. Saya rasa itu lebih bermakna dari sekedar hanya honor saja.
Akhirnya saya paham mengapa politikus itu dikaitkan dengan tikus.
Kemarin, sebelum saya membaca esai penutup yang berjudul “Konstelasi Tikus dan Kapal” saya pikir karena tikus itu kotor bak strategi-strategi politik kebanyakan, makanya ada istilah “tikus politik.” Rupanya karena sifat tikus yang tidak setia kawan inilah akhirnya saya paham, mengapa ada istilah “kawan menjadi lawan.” Memilih menyelamatkan diri sendiri, asal tetap dalam zona nyaman daripada ikut berjuang habis-habisan. Dan selama membaca esai terakhir ini, semua terasa makin masuk akal, agar kita jangan hidup seperti tikus.
Tikus keluarga, tikus politik, tikus pertemanan, atau bahkan manusia yang di dalamnya ada jiwa tikus di sana. Setidaknya mengapa kita tidak mengambil sisi positif tikus yang tercipta oleh Tuhan memiliki daya ingat yang baik, pengamatan yang tajam, dan cerdas? Sehingga kita manusia yang dapat bekerja sama sampai tujuan tercapai, sukses dan tuntas. Tidak menjadi manusia yang sertamerta meninggalkan peperangan, lari bak pecundang hanya karena ingin selamat sendirian.
Kumpulan esai yang membuat otak kenyang.
Dua mata pisau adalah sebuah buku berisikan 25 esai dengan mengangkat tema ipoleksosbudhankam ini adalah sebuah buku setebal 112 halaman. Hanya dengan 112 halaman, saya merasa senang sekaligus kenyang. Dalam artian, saya banyak mendapat hal-hal baru di sana, yang dulunya masih sangat awam bagi saya, terutama mengenai dunia kelautan.
Kesalahan minor pada esai berjudul “Ketika “Suara Adzan” Membangunkan Pasien Dari Tidur Panjang (Sebuah Kesaksian). Yaitu nama Ibu Yanti yang berganti menjadi Ibu Ratih, saya sempat kebingungan, karena saya pikir apakah ini adalah tokoh lain. Tapi setelah saya baca pelan-pelan itu adalah Bu Yanti yang berganti nama menjadi Bu Ratih. Keseluruhannya buku ini kaya dan matang, dan sangat pantas untuk menjadi salah satu koleksi buku kalian di rumah.
Judul Buku: Dua Mata Pisau
Penulis: Wahyu Agung Prihartanto
Tebal: vii+112hlm, ; 13×21 cm
QRCBN: 62-1320-9060-071
Baca Juga
- The Rent Collector : Kisah Indah dari Tempat Paling Buruk
- Menjadikan “Hate Speech” sebagai Pelecut Motivasi
- Berdamai Dengan Inner Child Demi Masa Depan
Yuk Sahabat Captwapri, bisa menfollow akun Instagram resmi CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi terbaru.
1 Comment