The Rent Collector : Kisah Indah dari Tempat Paling Buruk

The Rent Collector merupakan kisah indah di tempat paling mustahil menyalakan harapan. Kisah hebat yang mengajarkan kita keindahan dan sastra. Goodreads menyebutnya sebagai "Anugerah di tempat paling buruk!"

Review Buku

 

Judul Buku                 : The Rent Collector  (Sang Penagih Sewa)

Pengarang                  : Camron Wright (Peraih Whitney Awarfs Kategori Novel Terbaik

Penerbit                     : MAHAKA Publishing,  Cetakan I Juni 2019

Tebal Buku                 : 407 Halaman

ISBN                           : 9786029474251

 

Kisah yang Hebat adalah Kisah yang Mengajarkan  Sesuatu

Oleh: Fataty Maulidiyah

Jika ada buku yang menguras airmata saya berkali-kali sejak  bagian pertama, maka buku inilah yang telah menjadi sebabnya. Buku yang saya dapat secara random dari International Indonesia Book Fair (IIBF) di JCC Jakarta 12 November 2022 lalu ini memang sampulnya sederhana, tidak begitu menyolok di antara buku-buku lainnya. Akan tetapi, bagi saya, buku-buku peraih penghargaan di forum internasional cukup penting sebagai referensi dan menambah kekayaan bacaan juga sebagai petualangan yang bagus dalam kegiatan membaca saya.

Cerita dibuka dengan sudut pandang perempuan -tepatnya seorang ibu muda bernama Sang Ly, memiliki satu anak laki-laki 16 bulan yang sakit-sakitan, diare yang tak kunjung reda sehingga badannya begitu kecil, tidak normal sebagaimana usianya. Sang Ly, meninggalkan kampung halamannya yang miskin, mengadu nasib di kota besar Kamboja, bersama suaminya Ki Lim, berharap sebuah mata pencaharian di Phnom  Penh memperbaiki kehidupan mereka.

Dan mereka, keluarga kecil itu terdampar di pembuangan sampah terbesar, tepatnya  kawasan Stung Meanchey.Deskripsi yang kuat dan detail oleh Camron Wright, benar-benar menantang saya untuk tega  merasakan bagaimana menjijikkan, kumuh, bau, dan berbahayanya  kawasan pembuangan sampah di mana didapati  sebuah masyarakat yang hidup sebagai pemulung, berada di gubuk-gubuk tidak permanen, terancam kebakaran setiap saat, tanpa listrik dan air bersih,di tepi sungai paling kotor  di Kamboja. Airnya yang keruh kecoklatam, bercampur untuk mencuci baju, beras, dan buang air.

Setting tempat ini harus saya nikmati sepanjang cerita. Tantangan keluarga ini sebagai pendatang juga harus berjuang dengan  penghuni lain yang lebih dulu tinggal. Tidak hanya dengan para pemulung, tetapi juga preman, penculik anak-anak perempuan untuk dijajakan, terutama sadisnya sang penagih sewa (The Rent Collector) yang menjadi tokoh utama di kisah ini.

Sopeap, nama penagih sewa itu, perempuan  agak  tua, berbadan gemuk, selalu memakai kaos kakinya yang melorot, menghentak-hentak tanpa ampun siapa saja  yang harus ditagih. Ia tidak peduli, apakah  penyewa bilik-bilik di kawasan pembuangan sampah itu sedang sakit, luka parah habis dirampok, atau hartanya kecurian, ia akan tetap menagihnya. Sehingga diam-diam di antara pemulung Stung Meanchey itu menyebutnya “sapi”, sosok perempuan yang juga pemabuk.

Baca Juga: Misi Mulia Sang Pengemudi Bis Malam

Tetapi, di tempat yang hampir mustahil menyalakan harapan,  tempat pembuangan sampah yang selalu dikerumuni lalat dan bau busuk menyengat, buldoser milik pemerintah yang seenaknya  mendorong gunungan sampah  ke titik-titik sembarang, tak peduli ada kehidupan di antaranya. Sebagaimana Sang Ly yang harus berjuang memulung untuk makan sehari-hari, sementara tiap saat pula ia harus membersihkan rembesan diare dari anaknya, Nisay, yang tak kunjung sembuh.

Saya dikejutkan pada  sebuah bagian yang menjadi kunci kisah ini, yakni ketika Sopeap menagih uang sewa pada Sang Ly. Ia masuk ke gubuk tanpa permisi, sembari berteriak uang itu harus dibayar malam itu juga. Pandangan Sopeap terjerembab pada buku gambar yang tergeletak di lantai, dengan sampul sebuah gunung, hutan dan seorang lelaki itu menyebabkan ia terhuyung, lemah, dan meraihnya seketika, memohon pada Sang Ly, agar diberikan padanya dan sebagai ganti Sang Ly dibebaskan uang sewa  satu bulan.

Dari sebuah buku itulah, terungkap sebuah rahasia sang penagih sewa, yang ternyata dulunya seorang guru sastra di sebuah universitas. Lalu  setelahnya kisah mengalir makin mengharukan, bahwa Sang Ly, di tengah tipisnya harapan di kawasan pembuangan sampah, ia memiliki keinginan hebat agar bisa membaca.Lalu sebuah dialog dengan suaminya  hadir  begitu mengharukan, di tengah kenyataan anaknya yang tergolek lemah. Sang Ly memohon suaminya agar diizinkan belajar pada Sopeap.

“Aku tidak berharap bahwa membaca akan membuat tubuhnya sehat. Tapi aku berharap membaca akan memberinya sesuatu untuk diharapkan, sebuah alasan untuk berjuang. Aku berharap, membaca akan membuatnya penuh keberanian. Aku percaya membaca akan menolong Nisay”

Baca Juga : Resensi Film

 Dan sepanjang kisah berikutnya, dengan setting dan dinamika kehidupan di kawasan pembuangan sampah, di gubuk yang ditutupi kain kanvas yang kumal, di dalamnya sebuah pelajaran sastra sedang berlangsung, yang tentu diawali bagaimana Sopeap telah mengajarkan huruf-huruf konsonan pada Sang Ly agar ia lebih dulu bisa membaca.

The Rent Collector mengingatkan saya pada Novel  “ Dunia Sophie”, karya Jostein Gaarder. Saya seperti gadis 15 tahun yang duduk manis di beranda menyimak catatan-catatan sang filosuf yang dikirimnya pada Sophie. Menyaksikan kota Athena begitu megah dan Descartes, Socrates serta Plato  bergerak dan menyampaikan ilmu itu secara visual. Sementara The Rent Collector, saya  adalah Sang Ly. Pecinta buku yang hebat dan candu, pantang menyerah, banyak pertanyaan, sedikit suka mendebat, dan pada dasarnya seorang murid yang patuh pada gurunya.

Banyak pelajaran penting yang diajarkan Sopeap pada Sang Ly, beginilah sebenarnya cara Camron mengajarkan pada pembaca tentang Mimpi dan sastra, Literatur, dongeng, juga cara menikmati sebuah buku. Camron mengajarkan itu lewat tokoh Sopeap.

 “Sang Ly, kita adalah liteartur hidup kita, harapan kita, hasrat kita, keputusasaan kita, gairah kita, kekuatan kita, kelemahan kita. Cerita mengekspresikan keinginan kita, bukan hanya untuk menciptakan perbedaan untuk hari ini, tetapi untuk melihat apa yang mungkin terjadi di hari esok. Literatur telah disebut sebagai buku pegangan mengenai seni menjadi manusia. Jadi iya, literatur  akan membuat kita paham”.

Saya seperti duduk bersama Sang Ly menyimak pelajaran-pelajaran  yang disampaikan sang penagih sewa, ia yang telah lama merindukan saat-saat ia dipanggil guru oleh para mahasiswanya. Dan saya, masih terobsesi pada pelajaran-pelajaran sastra yang disampaikan  pada Sang Ly.

Baca Juga: Instagram Captwapri.Id

“Mimpi itu sangat penting dalam karya sastra, Sang Ly. Alice in The Wonderland  merupakan  contoh sempurna kisah yang ditulis Lewis Carrol adalah didinspirasi oleh mimpi. Ada Kubla Khan, puisi karya Coleridge yang dianggap sebagai karya terbesarnya. Puisi itu merayakan kreativitas  dan hubungan kita dengan alam semesta dan itu dibuat dalam satu malam seusai bermimpi.

Dan Carl Jung, psikiater Swiss, dia merupakan sesepuh dalam psikologi mimpi, dia sangat percaya  bahwa sastra dan mimpi terjalin dengan cara sangat menakjubkan. Dia mendokumentasikan korelasi mimpi pasien-pasiennya dengan dengan tokoh-tokoh mitologi, termasuk orang-orang yang belum pernah membaca kisah mitologi.”

 Jika Anda adalah pecinta buku yang sangat hebat, Anda akan menyayangi Sang Ly. Atau jika Anda pembaca buku yang paling candu, Anda mungkin akan mencintai seorang perempuan, yang setiap harinya, diam-diam di gelap malam, di atas peraduan dengan dasternya yang sudah memudar warnanya, sesenja usianya, sambil ia  menarik selimut beludru berwarna merah maroon menutupi tubuhnya dan berbaring  mengantarnya sampai terlelap, sembari menikmati sebuah buku.  Seperti saya!***

 

Kota Mojokerto, 1 Januari 2023

 

Penulis  : Fataty Maulidiyah

Editor   : Wurry

Foto     : Dokumentasi Penulis