Misi Mulia Sang Pengemudi Bis Malam

Wurry Srie, ibu rumah tangga yang suka membaca dan merasa bahagia ketika menulis.

 

Di hari pertama masuk sekolah di sebuah SD, para siswa berkenalan dengan guru dan teman-teman baru dalam kelas. Selain memperkenalkan diri menyebut nama dan kegemaran, mereka juga menyebutkan cita-citanya kelak ingin menjadi apa.

Ada yang dengan lantang dan penuh semangat ingin menjadi tentara. Ada pula yang malu-malu menyebut ingin menjadi dokter, bidan, guru, masinis, pilot, polisi dan lain-lain. Kebanyakan  siswa bercita-cita ingin menjadi orang-orang hebat versi mereka.

Dari sekian siswa baru yang penuh semangat, tampil cantik dan gagah dengan seragam baru putih merah, tampak seorang siswa yang bersikap kalem tapi murah senyum. Ini jarang dijumpai ada siswa baru kelas satu SD yang penampilannya sempat mencuri perhatian Bu Guru hari itu.

“Namaku Budi, aku suka naik sepeda dan cita-citaku ingin menjadi sopir bis malam.” Serentak teman sekelas tertawa tanpa dikomando mendengar kata sopir. Dalam pandangan Bu Guru, teman-teman Budi menganggap, menjadi sopir itu tidak hebat. Dengan secepat kilat Bu Guru segera mencairkan suasana dalam kelas meski dia sendiri sempat terkejut dengan cita-cita Budi yang sederhana dan lain dari yang lain.

“Semua cita-cita kalian hebat dan begini,” puji Bu Guru sambil mengacungkan dua ibu jari di hadapan para siswa. Mereka sontak diam dan kelas menjadi hening.

“Cita-cita Budi juga hebat dan mulia. Jadilah sopir yang baik hati, berbudi luhur, tidak sombong, suka menolong dan tetap menghormati orang tua. Bukankah begitu, Budi?” Budi mengangguk bangga. Budi kagum dengan profesi sopir bis malam karena Pamannya sudah beberapa tahun menekuni pekerjaan ini.

Di mata Budi, penampilan Paman sangat rapi dengan baju seragam, bersepatu dan selalu tepat waktu. Satu lagi yang dia suka adalah Pamannya selalu bekerja dengan gembira dan mampu membawa banyak orang ke tempat tujuan dengan sukses, lancar dan selamat.

Beberapa tahun kemudian cerita ini menjadi sangat menarik dan indah menurutku, ketika kenyataan di lapangan cita-cita Budi benar adanya. Aku bisa berpendapat demikian, karena aku sering memperhatikan dan mencari tahu, pasti ada sesuatu yang orang lain tidak banyak tahu, bahwa profesi yang satu ini tidak bisa dipandang sebelah mata.

Selama beberapa kali melakukan perjalanan jauh malam hari memakai jasa angkutan umum bis malam, dua kali terakhir sangat berkesan bagiku. Sengaja kucari momen menarik agar ketika berada di antara para penumpang lain, aku merasa aman, nyaman dan menyenangkan.

Bepergian jauh secara mendadak membuatku tak bisa memilih tempat duduk yang strategis dalam bis karena keterbatasan tiket. Namun karena faktor keberuntungan, aku bisa duduk berdampingan dengan sopir di depan. Kukatakan beruntung karena tidak setiap penumpang boleh duduk di sana dan aku akhirnya tahu sedikit banyak bagaimana kinerja pengemudi bis malam saat menjalankan tugas.

Selama perjalanan dari jam 17.00-04.00, hanya satu yang membuatku sedikit gelisah yaitu  tubuhku kurang toleran pada suhu dingin AC. Tapi aku merasa bersyukur ketika diijinkan duduk di sebelah pengemudi yang suhu ruangan pada awalnya tak terlalu dingin. Ternyata di ruang tersebut semakin malam semakin dingin juga meski sudah memakai jaket dan disediakan selimut.

Saking dinginnya ruangan, gigiku sampai gemeretak berbunyi menahan hawa yang menusuk tulang. Aku tak terlalu menghiraukannya, karena hal tersebut tak sebanding dengan apa yang kuperoleh malam itu. Ada sesuatu di luar dugaan yang membuat aku jatuh simpati dan tidak sependapat jika sosok pengemudi bis malam sering dilabeli sebagai sopir yang ugal-ugalan.

Di awal perjalanan, pengemudi pertama sempat bercerita panjang lebar tentang keluarga, anak istri dan seorang ibu yang sehari-hari hidup dalam tanggung jawabnya. Dari sini aku sudah mulai tertarik dengan cerita-ceritanya. Tanpa mengurangi rasa hormatku pada profesi pengemudi, aku pun antusias mendengarkan deretan cerita selanjutnya yang sesekali kuselipi dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.

Bagi dia, ibu adalah segalanya. Kala dia menyebut ibu, ada semacam angin sejuk nan lembut yang berembus dan guyuran air dingin pegunungan yang membasuh jiwa ragaku. Suhu dingin di ruangan ber-AC malam itu tiba-tiba serasa berubah ke suhu normal dan hanya dalam dadaku yang masih terasa dingin merembes ke bola mataku hingga membasah pelan. Terharu.

Kesimpulan sederhana yang aku tangkap, apa pun yang ibunya inginkan sebisa mungkin ia penuhi hingga titik batas kemampuan yang ada. Malam itu diperlihatkan padaku sebuah foto lemari minimalis di galeri handphone sebagai permintaan ibunya yang akan segera dia beli.

“Jangankan sebuah lemari, Bu, andai ibuku minta yang lebih mahal pun akan aku usahakan semampuku, karena dia adalah pintu surgaku dan satu-satunya yang menyayangiku tanpa batas,” kata Mas pengemudi pertama kepadaku dan aku mengangguk pelan tanpa ia tahu.

Jam menunjukkan hampir tengah malam dan pergantian pengemudi sudah berlangsung usai para penumpang menikmati jatah makan malam. Musik rancak semi disko yang biasa disebut remix masih terdengar dengan volume sedang di sebelah pengemudi. Jujur aku ikut menikmati sehingga tak membuatku mengantuk meski dua orang di sebelahku sudah berkelana di alam mimpi.

Sungguh pengalaman mendebarkan dan tak terlupakan. Sesekali sang sopir terpaksa “ngeplek” dan “ngepot” demi menghindari benturan dengan kendaraan besar lain misalnya truk tronton, sesama bis malam dan kadang juga mobil pribadi. Dengan kecepatan tinggi kepiawaian sang sopir benar-benar diuji.

Mataku masih bening tanpa ada rasa kantuk yang menyerang. Sembari menikmati alunan musik yang masih diputar aku menyadari bahwa alunan musik rancak mampu mempengaruhi pendengarnya untuk tidak mudah tertidur. Hanya saja saat aku menoleh ke belakang melalui kaca pembatas, semua penumpang sudah mendengkur di balik selimut yang disediakan pihak armada.

Alunan musik di ruang kemudi ternyata berbeda dengan yang di ruang penumpang. Hanya kudengar sesekali ketika sang kernet membuka pintu sekat antara penumpang dan pengemudi. Tidak ada alunan musik lagi di ruang penumpang usai makan malam sehingga mereka bisa tidur nyenyak dalam perjalanan.

Setali tiga uang dengan Mas pengemudi ke dua, duduk di dekatnya  membuatku benar-benar tak mampu memejamkan mata. Selain karena musik remix yang masih terdengar, aku tergoda ingin mendengar sekelumit cerita dari Mas pengemudi ke dua yang menurutku sama ramah dan santunnya dengan Mas pengemudi pertama.

“Menjadi sopir bis malam memang bukan cita-citaku, Bu. Bermodalkan ijazah STM jurusan Otomotif membuat aku harus segera mencari pekerjaan demi ibu dan sekolah saudariku satu-satunya.” Sambil menggerakkan persneling entah ke gigi berapa dia mulai bercerita dan aku sudah siap siaga sepenuh jiwa untuk mendengarkan cerita berikutnya.

Dia baru menikah tujuh bulan lalu dan kini calon bayi tiga bulan sudah ada di rahim istrinya. Dari cara bicara dan sikapnya ketika mempersilakan aku untuk tidur, aku tahu dia pria yang cukup santun memperlakukan mahluk Allah yang bernama perempuan.

Entah kebetulan atau tidak, perjalanan malam hari yang sebenarnya di luar rencana itu telah menambah catatan penting yang tidak hanya kusimpan.  Namun harus aku tanamkan pada diri dan keluargaku untuk memahami sekaligus menghargai profesi orang lain. Dugaan-dugaan negatif atas pekerjaan seseorang tidak selamanya benar. Profesi pengemudi bis malam yang sering dikatakan ugal-ugalan juga tidak selalu tepat, meskipun tak bisa diingkari ada satu dua yang demikian.

Sebagai seorang ibu yang hidup dalam kesederhanaan dan ekonomi keluarga yang pas-pasan, pernyataan dua pengemudi tersebut sangat menyentuhku secara pribadi. Dua-duanya mengagungkan sosok seorang perempuan, ibu. Ada misi mulia yang diemban di saat sebagian insan dalam puncak buaian mimpi. Kerja kerasnya ia fokuskan demi perempuan-perempuan yang dicintai dan dihormati. Mereka sangat yakin,  dibalik peluh keringatnya mengais rejeki selalu ada ridho ibu dan doa-doa isteri yang menyertai.

 

Sumber gambar : https://id.wikihow.com/Pergi-ke-Tagaytay