Menjadikan “Hate Speech” sebagai Pelecut Motivasi

Menjadikan “Hate Speech” sebagai Pelecut Motivasi

Suatu waktu, tiga puluh lima tahun lalu seorang guru sedang mengajar matematika di sebuah esema. Saat sesi tanya jawab, sebutlah Pak Domo sang guru memberi soal bilangan pangkat kepada seorang siswa, namun siswa tersebut tidak bisa menjawab. Setelah dilemparkan ke siswa lainnya dan tetap tidak mendapat jawaban benar, akhirnya Pak Domo mengeluarkan kalimat bernada “mengolok” kepada mereka, seketika gelak tawa bergemuruh memenuhi ruang kelas.

Jaman dulu, orang sering mengidentikkan seseorang berkulit gelap, penampilan seadanya, bicara blak-blakan, pekerja kasar dengan sebutan “ras” tertentu. Beberapa tahun berikutnya, setiap orang yang teraniaya, selalu dijauhi oleh kelompok lainnya, dan orang-orang menyebut kelompok tersebut dengan sebutan bernada sara tersebut. Namun, seiring perkembangan pengetahuan hak asasi manusia, istilah tersebut dengan sendirinya bergeser dan hilang.

Sepakbola menjadi olahraga paling populer di seluruh permukaan bumi, hiruk pikuknya selalu menyedot perhatian manusia penghuni bumi. Perhatian tersebut tidak hanya pada pertandingannya semata, melainkan hingga sepak terjang perwasitan berikut hakim garisnya. Kecaman masyarakat sepakbola terhadap ulah wasit setelah melecehkan hakim garis wanita yang menganulir bola yang keluar lapangan pertandingan. Sikap pelecehan tersebut tentu memunculkan gelombang protes keras bukan saja dari masyarakat Inggris, bahkan masyarakat seluruh dunia.

***

Akhir-akhir ini, saya termasuk rutin menyaksikan persidangan maraton kasus pembunuhan yang melibatkan mantan jenderal dari salah satu institusi penegak hukum. Karena, sidang berlangsung secara live, saya hampir dapat menonton seluruh rangkaian adu bukti adu fakta, hingga pada akhirnya secara kasat mata mulai tampak siapa berkata jujur siapa berbohong. Alih-alih berkata jujur, sandiwara kebohongan terus terucap untuk mempengaruhi sang pemutus.

Linimasa ramai memberitakan persidangan yang sangat menyedot perhatian masyarakat. Meski, saya sendiri sering terkecoh dengan daya tarik judul dan sampul berita, namun kontennya berbeda. Alih-alih, menyampaikan pesan positif, adanya justru pembelokan dari kejadian yang sesungguhnya.

Untuk memudahkan koordinasi antar warga, antar anggota, antar alumni, antar karyawan, kelompok arisan, telah lazim menggunakan sarana WAG atau aplikasi komunitas lainnya. Satu sisi, cara ini sangat membantu anggota untuk mendapatkan informasi secara cepat dan lengkap, namun, sisi lain berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya sering di share ke grup oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka, sikap kita sebaiknya mengabaikan atau menghapus berita-berita semacam itu.

***

Pada tahun 1996, seorang profesor fisika dari New York University dan University College London, bernama Alan Sokal telah melakukan kebohongan publik. Alan Sokal mengirim sebuah artikel ke social text tentang kajian budaya postmodern. Artikel tersebut merupakan eksperimen untuk menguji ketelitian intelektual dan menyelidiki kebudayaan terkenal di Amerika Utara.

Artikel berjudul “Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” ini terbit pada musim semi atau panas. Alan Sokal menyatakan, bahwa gravitasi kuantum merupakan konstruksi sosial dan linguistik. Jurnal tersebut tidak menerapkan penelaahan sejawat dan tidak melibatkan fisikawan untuk memeriksanya, setelah terbit bulan Mei 1996, Sokal mengungkapkan di lingua franca kalau artikelnya bohong.

Kebohongan ini memancing kemarahan publik akademik, kalangan humaniora, serta pengaruh buruk filsafat postmodern terhadap ilmu sosial. Sebagai ganjaran atas kebohongan Alan Sokal, masyarakat mengganti nama belakangnya menjadi Alan Hoax alias Alan pembohong. Demikian, sekilas asal-usul istilah hoax ini disarikan dari Wikipedia.

***

Mencermati seluruh pemaparan diatas, mungkin kalian sependapat bahwa hate speech tidak selalu sama dengan hoax. Bahwa, hate speech atau ujaran kebencian merupakan ucapan atau tulisan yang disampaikan seseorang di muka umum untuk tujuan menyebarkan serta menyulut kebencian sebuah kelompok lain yang berbeda ras, agama, keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan, serta orientasi seksual. Ungkapan “merendahkan” tersebut selalu dikaitkan dengan peristiwa masa lalu yang buruk dan membekas, saat ini, kita bisa mengambil sisi positif setidaknya sebagai motivasi untuk lebih baik di masa mendatang.

Ujaran kebencian juga erat kaitan dengan keadaan komunitas minoritas atau penduduk asli tertentu yang menderita, sementara orang lain tidak mempedulikannya. Namun, ujaran ini berbeda dengan ujaran-ujaran pada umumnya meskipun mengandung kebencian, menyerang secara bertubi-tubi. Perbedaannya, terletak pada niat suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak secara tidak langsung.

Dari berita persidangan, konten palsu, serta berita bohong lainnya, tidak ada kaitan dengan peristiwa masa lalu. Hal ini, dipertegas dengan peristiwa skandal Alan Sokal yang hanya ingin menguji kejernihan serta ketelitian penguji atas sebuah berita ilmiah. Sehingga, secara umum bahwa hoax merupakan proses penyebaran berita yang belum pasti kebenarannya dan bisa berdampak pada diskriminasi, kekerasan, konflik sosial dll dsb.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.