Virus Ganas dan Predator

Virus Ganas dan Predator

Oleh : Lintang Alit Wetan

 

Dari piknik di kebun binatang lusa, Eli belajar banyak tentang kehidupan binatang. Eli tertarik pada tingkah laku sepasang induk macan dengan 1 anak macan. Kemesraan dan kasih sayang, welas asih ditunjukkan ke mata Eli. Di hadapannya, macan-macan yang habitat hidupnya di hutan belantara itu, yang kesohor buas-ganas. Dibalik kerangkeng-kerangkeng baja yang dibatasi oleh kolam panjang-lebar, dalam berair, macan-macan itu berubah jinak.

Eli dikenal sebagai gadis supranatural. Hal-hal mistis, kasat mata, yang orang awam tidak bisa lihat, Eli bisa lihat. Hal ini tidak datang dalam sekejap mata. Dulu, ketika masih berumur 3 tahun, Eli pernah mengidap penyakit paru-paru basah. Hampir 1 tahun lebih, dibawa berobat oleh ibunya yang bernama Sukilah ke dokter ini, dokter itu. Biaya habis banyak. Di bulan ke-13, sembuh. Tepat di saat sembuh, ada cahaya terang benderang jatuh dari langit, memancar masuk ke tubuh. Seperti keris yang jatuh ke warangkanya. Bersatu di tubuh.

***

“Mari berpindah ke taman bunga di halaman depan rumah, Eli yang kini tak terawat lagi!” Bunga-bunga Mawar dan Melati, tersisih oleh semak perdu. Lalang. Taman itu berubah semak belukar. Rumah pun dibiarkan lapuk. Tidak ada yang mengurus. Dan ambruk. Sukilah pindah mengungsi entah ke mana. Beberapa orang, pernah melihat mereka sedang memunguti makanan-makanan sisa di tempat sampah. Di tempat pembuangan akhir. Sukilah, berpakaian compang-camping, menadahkan tangan kepada orang-orang yang lalu-lalang di pasar. Sukilah mengemis. Hidup sungguh terlunta-lunta. Tidak menangis! Ikhlas menjalani karma dengan sepenuh hati.

“Anjing! Sana! Minggir!” Teriak 2 orang perempuan pengunjung pasar kepada Sukilah. Kasar.  Perempuan-perempuan itu membeli bunga, dibungkus daun pisang. Eli yang berada di samping ibunya, menarik tangan Sukilah. Mengajaknya pergi menjauh dari ke-2 orang perempuan itu.

Dua perempuan itu, bernama Matahari dan Bulan. Ya, nama mirip May dan Mey dipanggil. Di taman bunga yang telah hilang. Taman bunga di halaman rumah yang sering ditelan air bah sungai di dekat halaman samping rumah. Sungai dan halaman rumah ditimbun batu dan tanah. Diratakan! Menjelma bangunan mal, berjejeran dengan kelenteng dan bong Cina.

Seseorang berlagak, pura-pura seperti orang tersayat-sayat pisau sembilu hatinya. Berdesir teriris kesedihan. Kepedihan. Seseorang menulis sepucuk surat pendek kepada pemilik taman bunga, Eli, berbunyi “Akan kukembalikan taman bunga di halaman rumahmu!” Seseorang itu adalah pemilik mal, yang merasa berdosa telah membunuh May dan Mey dengan semprotan pembasmi rerumputan yang diisi dengan cairan berbahaya. Pemilik mal, menyuruh tukang cabut rumput untuk mengeksekusi, membunuh May dan Mey.

***

Seseorang bermain petak umpet bersama teman-teman sepermainan: May dan Mey, di halaman rumah. Di kegelapan malam. May bersembunyi di kerimbunan bunga Melati. Sedangkan Mey jongkok meringkuk sekujur tubuh, mengecil di sekitar bunga Mawar.

“Aduh!” Pekik Mey ketika jari jemarinya berdarah. Ada duri Mawar menusuk ibu jarinya. Duri tertinggal di kulit ibu jarinya. Mulut May mengecup ibu jari, menghisap darah. Terdengar, seseorang berteriak-teriak mencari keberadaan teman-temannya itu.

“May! Mey! Hoplah! Selamat tinggal kegelapan!”

Seseorang menemukan May dengan sekujur tubuh dipenuhi bunga Melati. Tak bernyawa. Apa yang terjadi? Kenapa ini? Seseorang berjalan hilir mudik di halaman rumahnya yang seluas lapangan sepakbola. Halaman yang berganti kebun bunga. Taman bunga. Seseorang mencari temannya yang lain, Mey.

“Ha!” Mey tergeletak, mati. Bunga-bunga Mawar, duri-duri Mawar menutup badan Mey. Dua karib itu, terbujur kaku di halaman rumah. Tubuh keduanya semerbak wangi bunga. Diingat-ingat untuk kedua karibnya. May suka makan bakso, sambil bercerita tak henti. Mey gemar minum kopi. Cuma minum segelas kopi! Tapi, satu gelas kopi itu habis diminumnya, bila seharian Mey mendongeng bagai celoteh nenek lampir tentang pungguk merindukan bulan.

Satu siang, di saat peristiwa May dan Mey di kegelapan malam di halaman rumah. Masih hangat-hangatnya. Seluruh warga desa membicarakan hal ini. Bahkan, penghuni rumah di pinggir desa, menambah-nambahi kejadian ini.

“May dan Mey, terbunuh bukan hanya disebabkan bunga-bunga di halaman rumah itu beracun. Itu karena mereka dibawa lampor, dibawa naik pohon beringin. Kemudian, mereka dijatuhkan oleh lampor dari atas pohon!”

Mereka terbujur kaku di taman bunga. Tidak ada yang tahu, apa yang sesungguhnya terjadi. Siapa yang mengerti? Ya, cuma seseorang yang paham. Belum terkuak, misteri pembunuhan 2 sahabat. Seorang ibu, Sukilah melihat satu gelagat aneh yang ia rasakan. Sukilah melihat seseorang, ingin disajikan hidangan bakso dan minuman kopi.

Bakso dan minuman kopi adalah kesukaan May dan Mey. Sahabat. Apakah roh May dan Mey, masuk ke tubuh? Bergegas Sukilah menyiapkan bakso dan minuman kopi. Begitulah. Didampingi Sukilah, bakso dimakan dengan lahap, sambil bercerita ke sana kemari. Tak kunjung berhenti. Seperti May. Seseorang pun meminum kopi. Segelas kopi dihabiskannya, setelah bercerita ini itu seharian penuh. Mirip Mey.

Kenyang. Seseorang yang kerasukan roh May dan Mey, berguling-guling di halaman rumah. Di taman bunga. Dari mulutnya, menyembur bakso dan minuman kopi yang belum berapa lama mengisi perutnya. Muntah. Air liur menetes mengenai bunga-bunga Mawar dan Melati. “Hai! Apa kabar Mey?” Seseorang mengecup setiap kelopak Mawar dan kuntum Melati di taman, lalu memetik bunga Mawar dan Melati. Diiringi tarian. Berputar-putar. Tari Merak. “Ibu, putaran tarianku ganas kan?” Seganas virus-virus itu merenggut nyawa, May dan Mey, gumamnya keceplosan. Sambil membanding-bandingkan dengan seganas-ganas gerombolan predator yang berubah jinak di balik kerangkeng-kerangkeng baja di kebun binatang.

Kedu, 2022

 

Tentang Penulis :

Lintang Alit Wetan adalah nama pena dari Agustinus Andoyo Sulyantoro. Sering menulis dengan memakai nama samaran Lintang Alit Wetan, lahir di Purbalingga, 13 Mei. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (UNY), tahun 1997 ini menulis fiksi dan non-fiksi yang diterbitkan media massa baik cetak, elektronik maupun online, lokal dan nasional serta ratusan buku kumpulan bersama, sejak tahun 1990-an di Yogyakarta. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit Lingkar Mata di Pintu Gerbang (2015), kumpulan esai Banyumas dalam Prosa Nonfiksi (2016), kumpulan cerpen tunggal Sebatang Kara (2022).

Menyunting buku antologi puisi Perjamuan Cinta (2015), Para Penuai Makna (2020), kumpulan bersama berseri: sajak dan cerpen Tuan Tanah Kamandaka (2021), Bunga-bunga Kamboja Berguguran di Pesta (2022), Sepasang Peluru di Dada Kakek (2022). Penampil di Ubud Writers & Readers Festival, Bali (2021). Cerpennya Seseorang dan Langkah Misterius Itu, masuk nomine Anugerah Sastra LITERA, 2021. Cerpennya Tuyul Pikmars (Piknik ke Mars) Naik UFO menjadi cerpen pilihan Mbludus.com (2021).

Sekarang dia bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara Provinsi di Provinsi Jateng. Domisili: Bendungan RT 02/RW 02 No. 48, Desa Simbarejo, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jateng. Kode Pos : 56361. No. WA: 0889-8302-8283

Email: [email protected]. Fb: Agustinus Andoyo Sulyantoro Andoyo. Blog: Agustinus Sulyantoro ([email protected]).

 

Baca juga :

Ikuti lini masa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi selanjutnya.