Cerpen : Setegar Batu Karang

Setegar Batu Karang

Oleh : Lies Lestari

 

Gerimis turun dengan lembutnya. Bau rumput basah tercium, membuat udara yang terhirup terasa segar. Lisa duduk tercenung, wajahnya memendam sesuatu yang rasanya sulit untuk ia tumpahkan. Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai, hidung mancung terlihat merah setelah berkali-kali ia seka dengan berlembar-lembar tissue. Matanya yang bulat besar, sembab oleh air mata.

‘Apa yang harus aku lakukan?’gumamnya lirih. Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaannya, sekelilingnya hanya sekotak kamar kecil yang hanya diisi oleh lemari dan kasur tanpa dipan. Ingatannya kembali kepada kejadian kemarin, yang membuatnya merasa seolah, semuanya telah berakhir. Mata pencaharian yang ia handalkan untuk dapat menghidupi ibu dan adiknya, telah hilang.

 

“Lisa… saya tunggu kamu di lobby, kita akan makan bersama” pak Dedi atasannya  berkata sambil melangkahkan kakinya menuju keluar ruangan.

“Baik pak..saya beres-beres dulu” jawab Lisa dengan lunglai.

 

Rasanya ia butuh selembar selimut yang bisa membuat dirinya menghilang, khayalnya. Ia tidak ingin terbangun isu negatif antara dirinya dengan pak Dedi. Pak Dedi adalah seorang pria yang usianya hampir setengah abad. Perawakannya yang tinggi dan atletis, serta memiliki wajah yang menarik meskipun sudah beberapa uban muncul dikepalanya. Banyak wanita bertekuk lutut melihat penampilan dan jabatannya.

Sesampainya di sebuah restoran, mereka memilih sebuah meja dekat dengan pemandangan rumput yang terhampar dan dilengkapi dengan sebuah kolam ikan. Sehingga terdengar gemericik air yang bersirkulasi.

 

“Lisa..kamu jangan terlalu memforsir diri untuk kerja” pak Dedi membuka percakapan, bertujuan agar Lisa tidak terlihat kaku.

“Iya pak, gak apa-apa, itu sudah jadi tanggung jawab saya” Lisa berkata sambil asyik memainkan serbet makannya, tanpa mau melihat wajah pak Dedi.

 

Sementara pak Dedi terus asyik memandang wajah Lisa yang cantik tetapi tidak peduli dengan sikap atasannya.

Lisa merasa jengah dengan tatapan pak Dedi, kemudian Lisa mengangkat wajahnya, dan lurus memandang atasannya dengan tajam.

 

“Maaf pak Dedi.. pada perjanjian kerja yang saya tanda tangani, tidak tercantum hal-hal diluar pekerjaan saya” Lisa memberanikan diri untuk memberikan serangan awal.

“Maksud kamu apa Lisa ?” pak Dedi sedikit bingung dengan pernyataan Lisa yang tiba-tiba.

“Saya tidak ingin ada hal-hal yang bersifat pribadi masuk dalam bagian pekerjaan saya. Saya hanya seorang karyawan yang mengabdikan diri  untuk pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya” serangan berikutnya dilemparkan oleh Lisa dengan sedikit nada bergetar.

“Kamu sudah berpikir sebelum bicara?” tanya pak Dedi sambil mengernyitkan kedua alisnya

“Sudah pak,  saya sudah pikirkan dan pertimbangkan dari beberapa hari lalu” jawab Lisa dengan dingin.

“Baik saya akan dengarkan” tangan pak Dedi bersedekap dan memasang wajah yang terlihat angkuh.

“Saya hanya mengingatkan bapak tentang tanggung jawab saya sebagai karyawan bapak. Saya tidak dapat melanggar apa yang telah saya tanda tangani di awal sebagai sebuah perjanjian” tegas Lisa, wajahnya tetap dingin memandang atasannya.

“Bagi saya menemani makan siang dan makan malam bapak berhari-hari, dan bahkan harus mendengarkan semua hal yang bersifat pribadi, adalah tugas yang sangat berat dan tidak sesuai dengan hati nurani saya. Jangan bapak paksa saya untuk melakukannya lagi!” emosi Lisa memuncak.

 

Pak Dedi terpana dengan keberanian Lisa, tetapi egonya tetap ia pertahankan agar ia tidak malu didepan karyawannya. Selama ini belum pernah ia hadapi perlawanan dari wanita-wanita lain, tetapi kali ini telah membuat wajahnya serasa ditampar.

 

“Baiklah.. apa yang kamu inginkan? Kamu tahu tidak, apa resikonya yang akan kamu hadapi nanti?” peluru-peluru mulai di keluarkan oleh pak Dedi.

“Saya sudah tahu resiko apa yang akan saya hadapi pak” jawab Lisa yang sudah mempersiapkan diri, meskipun air matanya sudah mengembang, tetapi ia berharap tidak jatuh didepan seorang laki-laki yang selalu memanfaatkan dirinya karena kekuasaannya.

“Kamu hanya seorang karyawan, saya punya kewenangan penuh.. apapun perintah yang saya keluarkan, wajib karyawan penuhi. Saya tidak pernah memberikan pekerjaan yang berat untuk kamu. Jangan berpura-pura menjadi orang suci, saya bukan seorang anak kecil yang perlu kamu nasehati !” pak Dedi menjawab dengan ketus, berharap Lisa akan ciut hatinya dan meminta maaf.

“Sebelum bapak memberikan saya sebuah konsekuensi dari sikap saya ini, saya mohon ijin untuk mengundurkan diri dari perusahaan yang bapak pimpin, mulai hari ini” Lisa berkata dengan tenang, seolah semua himpitan itu terangkat dari dadanya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan segala hal tentang resiko-resiko kedepan yang akan ia hadapi.

 

Pak Dedi terhenyak, wanita yang ia harapkan sebagai penghibur dirinya diluar  dari rumah tangganya, telah dengan beraninya meninggalkan dirinya hanya untuk mempertahankan prinsip hidupnya.

 

“Silahkan ambil apa yang menjadi pilihan kamu!!” tantang pak Dedi dengan sengitnya.

“Saya tidak akan memberikan surat rekomendasi apapun untuk kamu !!” frekuensi suara pak Dedi mulai naik dua oktaf. Tidak lama kemudian, makanan pesanan mulai datang, tetapi suasana telah berubah, membuat selera makan mereka hilang.

“Baik pak Dedi, saya berterima kasih atas segala perhatian bapak selama ini, saya mohon pamit dan undur diri dari perusahaan bapak, mohon maaf atas segala kesalahan saya selama ini, salam untuk keluarga bapak” Lisa sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan pak Dedi yang masih duduk termangu.

 

Semua kejadian itu berputar kembali di kepala Lisa, ia rebahkan kembali kepalanya yang sakit setelah berjam-jam menangis.

“Tok..tok..tok “ ketukan pintu kamarnya terdengar halus. Ibu merasa curiga karena hampir seharian Lisa tidak keluar kamar. Kemudian Lisa bangkit membuka pintu kamarnya, ibunya sedang berdiri sambil membawa gorengan pisang dan teh manis untuk nya. Untuk kali ini Lisa tersenyum haru dengan perhatian dari sang ibu, yang bisa membuat dirinya merasa nyaman dalam hidupnya.