Sebuah Ford biru tua membelah jalanan tandus. Di dalamnya, seorang wanita empat puluh dua tahun sedang menyetir, sementara di sebelahnya, duduk remaja laki-laki menatap malas kepada ladang-ladang yang mereka lalui. Jendela mobil terbuka, angin masuk dan menampar-nampar pipi remaja itu.
“Ibu tidak ingin berubah pikiran?” tanya remaja itu setelah melihat orang-orangan sawah yang hampir rebah di tengah ladang tandus yang ditumbuhi padi-padi mengering.
Selama dua jam empat puluh tiga menit berkendara, mereka hanya berpapasan dengan satu pikap tua mengangkut karung-karung jagung dan van hitam yang melaju santai seolah-olah tak ingin cepat sampai. Mereka sendiri berkendara dengan kecepatan sedang. Di antara mereka berdua, tercipta keheningan ganjil dan tak ada salah satunya yang ingin menggenapkan.
“Kukira kita sudah sepakat, John,” jawab sang ibu, tatapannya tetap fokus ke aspal yang diselimuti debu. Debu itu cukup tebal hingga warna hitam aspal menyaru menjadi cokelat seperti selai kacang. “Hanya enam bulan. Setelah itu, lakukan semaumu.”
“Di sini Cuma ada ladang tandus,” ucap John sambil tetap melihat ke luar jendela.
“Dulu tanah ini juga pernah hijau.” Sang ibu menghela napas sejenak, tatapannya tetap fokus ke jalanan. “Tolong kali ini jangan memberontak. Kasihan bibimu sendirian mengelola ladang.”
Angin makin kencang. Debu-debu terbang menabrak kaca depan, sebagian masuk ke jendela samping yang terbuka, hingga membuat mata John kelilipan.
“Tutup jendelanya, John!” pekik ibunya.
John menurut sambil mengucek mata kirinya. “Memangnya ladang tandus begini bisa diharapkan?” Ia mengusap sudut matanya yang basah akibat dicolok debu.
“Karena itulah Bibi Poly butuh bantuanmu.”
“Aku bukan ahli tanah.”
Lagi-lagi ibunya menghela napas. “Kau hanya perlu membantunya di ladang. Dia tidak memintamu menyuburkan ladangnya.”
“Tapi, Bu ….” Rengekan John terputus saat ibunya menyela.
“Menurut, atau Ibu kirim kamu ke rumah Amelia!
John bungkam. Pergi ke rumah Amelia, artinya bunuh diri bagi John.
Dua puluh tiga menit kemudian, sang ibu membelokkan setir ke jalanan tanah yang di kanan-kirinya berdiri ratusan pohon jagung setinggi orang dewasa. Di depan rumah kayu, mobil berhenti. Itu rumah Bibi Poly dan dua ladang jagung berhadapan yang baru saja mereka lewati adalah miliknya. John berpikir, aneh, hanya ladang-ladang bibinya yang bisa ditanami, sementara ladang lainnya seperti tak ada harapan sama sekali.
“Oh, selamat datang, Johnny, keponakanku yang tampan!” Bibi Poly menyambutnya dengan pelukan.
John menyambut sekadarnya, sementara ibunya pun turut berbasa-basi.
“Sepertinya, kau yang paling kaya di sini.” Ibu menaruh koper di kamar yang disiapkan untuk John.
Bibi Poly sibuk menyiapkan makan siang: sup jagung dan roti jagung. Ia terus mengoceh bagaimana ia mengelola tanah rusak itu sendirian hingga berhasil menumbuhkan jagung-jagung tanpa hama.
“Seandainya orang-orang itu lebih berani, mungkin ladang mereka juga akan sesubur ladangku,” tutur Bibi Poly sambil menarik kursi, lalu menyilakan John untuk duduk.
John menurut. “Kata Ibu, dulu tanah ini hijau dan subur. Kenapa sekarang tandus?” tanya John lalu menggigit roti jagungnya.
“Itu panjang ceritanya, John. Waktu itu kau belum lahir. Ibumu bahkan belum bertemu ayahmu.” Bibi Poly tertawa sejenak. “Ayahmu datang ke daerah ini, lalu menawarkan pestisida buatan pabrik. Itulah kali pertama ibumu bertemu ayahmu.”
Ibu John terbatuk. Ia lalu menenggak air dari botol hingga habis setengah. “Apa kau harus menceritakan itu kepadanya?” ucapnya setelah mengatur napas.
“Kenapa? Apa tidak boleh anakmu tahu bagaimana pertemuan orang tuanya?”
John melirik Bibi Poly dan ibunya secara bergantian. Suasana mendadak canggung. Ada hening aneh yang menyusupi kepala John, seperti ada yang berbisik, “Pergi, John! Tanah ini jahat! Tanah ini akan memakanmu!” Namun, ia mengabaikan bisikan-bisikan itu dan menganggapnya hanya halusinasi karena sebenarnya ia tidak ingin tinggal bersama Bibi Poly untuk mengurus ladang.
John tidak punya pilihan lain. Sebenarnya, ia kabur karena menghindari kejaran keluarga Amelia. Gadis itu hamil dan John enggan bertanggung jawab. Ia ingin sembunyi di tempat yang mungkin tak terpikirkan oleh mereka. Sang ibu pun tak ingin John menikah muda. Maka, ia turut membantu John melarikan diri.
“Tak ada gunanya membicarakan orang yang sudah mati,” ucap Ibu John setelah jeda hening enam puluh tiga detik.
“Dia hanya tidak pulang,” timpal Bibi Poly.
“Tidak pulang selama lima belas tahun?” Ibu John berdecih. “Pasti sekarang mayatnya tinggal tulang.”
“Kau yakin dia sudah mati?”
“Ya … orang yang tidak pernah kembali ke keluarganya, berarti sudah mati.”
*
Sejak ibunya pergi, Bibi Poly mengajak John memanen jagung setiap hari. Cuaca terik dan angin kencang menggulung debu tiap menjelang jam dua belas siang. Saat datang, angin itu biasanya bertahan selama sepuluh menit, dan itu cukup membuat seluruh penjuru rumah Bibi Poly diselimuti debu. John pun bertugas mengelap debu-debu itu. Namun, meskipun dilap ratusan kali, debu yang menempel di meja, kursi, dan tempat tidurnya, tak pernah benar-benar bersih karena angin selalu berhasil menyusupi celah-celah papan kayu yang dijadikan dinding.
John lelah. Namun, rasa penasaran mengusik pikirannya. Ladang Bibi Poly menghasilkan puluhan ton jagung sekali panen. Tiap benih yang ditanam kembali, selalu tumbuh subur. Tidak ada hama atau rumput liar, padahal bibinya tidak pernah memakai pestisida. Sedangkan ladang lainnya, tanahnya seperti rusak permanen. Sekeras apa pun usaha pemiliknya untuk mengelola tanah mereka, hasilnya tetap tandus dan kerontang.
Suatu hari, saat makan malam, John bertanya kepada bibinya perihal pertemuan ibu dan ayahnya, serta hubungan mereka dengan pestisida kimia. “Apa yang terjadi setelah pertemuan mereka?”
Bibi Poly menyeruput teh jagungnya, lalu berkata, “Setelah itu, hama yang ada di sini, mati semua.” Bibi Poly meletakkan cangkir, lalu melanjutkan, “Orang-orang senang karena ulat dan belalang yang memakan tanaman mereka mati semua. Rumput-rumput liar juga musnah. Tapi, itu tidak berlangsung lama.”
John menatap bibinya, seolah-olah memintanya terus melanjutkan cerita.
“Ya, memang hama sudah tidak ada. Tapi, lama-lama hasil panen jadi menurun. Kualitas tanaman kami juga menurun. Tanah yang awalnya subur, hijau, dan menghidupi kami, lama-lama berubah kering dan tak bisa ditanami apa pun.”
“Itu karena pestisida buatan ayahku?”
Bibi Poly memberi isyarat ganjil. “Nanti kau tanya sendiri saat bertemu dengannya.”
*
Siang itu, Bibi Poly meminta John memanen jagung sendiri. Bibi Poly sedang sakit, katanya. Maka, pergilah John ke ladang dan masuk di antara jagung-jagung tinggi yang lebat. Ia memetik jagung satu per satu dan memasukkannya ke karung.
Setelah karungnya penuh, John baru sadar bahwa hari sudah sore. Ia hendak kembali ke rumah. Ia pun mencari jalan keluar dari ladang. Namun, setelah berputar-putar mencari, ia tak kunjung menemukan jalan pulang. Padahal, ia ingat betul dari mana ia masuk. Luas ladang itu tak seberapa, mustahil ia bisa tersesat di antara pohon-pohon jagung.
Hari makin gelap. John makin putus asa. Ia berharap Bibi Poly khawatir dan mencarinya di ladang. Namun, sampai bintang-bintang menampakkan diri, bibinya itu tak kunjung datang.
“Siapa pun, tolong! Aku tersesat di sini!” teriak John putus asa. Kerongkongannya kering, tubuhnya terendam peluh, dan tenaganya hampir habis. Ia kelelahan mencari jalan keluar.
John berteriak beberapa kali, sampai akhirnya ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Terbit kegembiraan di hatinya, berharap itu langkah orang yang akan menolongnya. Namun, setelah bermenit-menit menunggu, langkah itu tak pernah sampai ke tempatnya.
“Hai! Siapa pun di sana, aku di sini! Tolong bawa aku keluar dari ladang ini!” John berteriak lagi. Setelahnya, ia mendengar langkah kaki dari arah lain. “Aku di sini!” Ia mendengar langkah kaki dari arah lain lagi. Suara langkah itu makin terdengar banyak dan dari segala penjuru. John gemetar. Ia sadar, ada yang tidak wajar.
“Bibi! Tolong aku!” John berteriak sambil menangis. Tengkuknya terasa menebal dan jantungnya seperti ingin meledak. Ia berlari tak tentu arah. Pohon-pohon jagung di ladang itu seakan-akan berubah menjadi monster yang siap mengunyahnya mentah-mentah.
“Bibi! Bibi Poly!” teriaknya lagi. Tiba-tiba, angin kencang datang, menggoyangkan batang-batang pohon jagung. Daun-daunnya turut melambai seperti tangan-tangan yang siap mencekal dan menguliti setiap inci tubuh John. Tangisannya makin keras. Ia meraung-raung, memohon kepada siapa pun dan apa pun yang ada di ladang itu agar melepaskannya.
Saat tengah berlari, tiba-tiba tubuh John menabrak seseorang. Lewat cahaya rembulan pucat tanggal tujuh belas, John mengenali bahwa di depannya tengah berdiri seorang pria. “Tolong ….” John ingin mengucapkan itu, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya. Ia mencoba mengulangi lagi, tapi tetap saja, kata-kata di kepalanya tak berhasil lolos dari cekatan di tenggorokannya.
Pria itu menatap John. Matanya seperti menahan tangis. Bibirnya pucat dan pakaiannya kotor terkena tanah. John balas menatap pria itu. Namun, makin ditatap, wajah pria itu berubah jadi mengerikan. Darah keluar dari kedua matanya dan bola matanya menghilang, menyisakan rongga mata yang dipenuhi belatung. Pria itu memegang bahu kiri John, lalu mencengkeramnya hingga John kesakitan.
Pria itu melempar John ke atas. John mendarat terempas keras ke tanah tandus. Ia merasakan tulang-tulangnya remuk seperti kaca yang dijatuhkan dari lantai empat. Darah segar naik ke kerongkongan John, lalu termuntahkan lewat mulutnya. Ajaibnya, tanah tandus di bawahnya, mendadak bersinar terang ketika darah John menetes.
Pria itu mendekati John, lalu berjongkok di sampingnya. Ia mengelus kepala John, lalu berkata, “Maafkan aku, Nak.”
Gumpalan darah yang keluar dari mulut John makin banyak. Saat kesadarannya hampir hilang, ia ingat kata-kata Bibi Poly siang itu. “Ayahmu tidak mati. Ia hanya sedang mengganti rugi. Kau tahu, John? Tanah itu bisa berubah kejam kalau kau menyakitinya. Dan ayahmu sudah melakukan itu.”
Di detik-detik terakhir hidupnya, Bibi Poly datang mendekat entah dari mana. Ia bertanya, “Ada kata-kata terakhir?”
John terbatuk beberapa kali. Dengan terbata-bata, ia berkata, “Selamat, kau akan panen besar.”
Bojonegoro, 22 April 2023
Karya: Bora Kamala
Baca juga:
Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!
Tinggalkan Balasan