Kisah Ibu Penjual Kopi di Rumah Sakit
Oleh : Agus Siswanto
Secara sepintas tidak ada yang istimewa dengan penampilannya. Seorang perempuan umur sekitar 50-an tahun mengenakan pakaian emak-emak, dihiasi hijab lusuh. Pekerjaan sehari-harinya berjualan aneka makanan dan minuman di depan sebuah rumah sakit. Tempat jualannya pun bukan warung, tapi gerobak.
Saya sendiri sejak awal menganggapnya seperti penjual-penjual lain yang ada di sekitar rumah sakit. Saat saya menunggu orang tua yang sedang periksa ke dokter, iseng nongrong ngopi sambil ngobrol ringan. Tujuannya hanyalah sekedar untuk pengisi waktu saja, tidak ada yang lain.
Saat obrolan kami semakin jauh. Secara perlahan muncul rasa kagum dari diri saya. Rasa itu muncul saat dia mengatakan bahwa kedua anaknya sudah mentas (sudah bekerja). Sekarang dia hanya tinggal dengan suami dan anak bungsu yang masih duduk di bangku SD. Dikatakan pula bahwa uang dari hasil penjualan ini cukup menghidupi mereka sekeluarga.
Dalam hati saya tidak percaya. Namun ketika dia menyebut nominal keuntungan bersih dalam satu hari, saya baru terpana dibuatnya. Dia menyebut angka 200 ribu per hari. Jumlah yang luar biasa untuk ukuran seorang pedagang dengan gerobak. Bayangkan saja, jika uang sejumlah itu dikalikan 30, ketemunya 6 juta. Lebih tinggi dari gaji pokok seorang pegawai negeri golongan IV.
Saat saya tanyakan tentang dagangan yang ada di gerobaknya, dikatakannya bahwa semua dagangan itu titipan orang-orang. Mereka titip kemudian si ibu tadi tinggal mengambil untung sesuai kesepakatan. Lalu jika ada yang tidak laku, akan diambil lagi oleh yang menitipkan dagangan tadi. Sehingga si ibu tadi tidak menanggung resiko sama sekali. Saya berdecak kagum.
Selain itu, dia juga menjual kopi dan lain-lain. Untuk urusan satu ini, dia hanya bermodalkan air panas. Kopi, susu, wedang jahe yang digunakan adalah sachet-an. Dia tinggal beli di warung. Begitu ada orang membutuhkan, cukup tuang ke dalam gelas yang tersedia, siap diminum. Urusan mau ambil untung berapa, tinggal maunya dia saja.
Berkaca dari dua hal ini, saya jadi percaya. Dari jam 10 pagi dia mulai berjualan hingga jam 9 malam, pasti puluhan orang yang mampir ke gerobaknya. Apalagi lokasinya di depan sebuah rumah sakit yang relatif besar. Di tempat ini, banyak orang-orang yang milih ngopi dibandingkan bengong di selasar rumah sakit. Jadi angka 200 ribu yang dikatakannya masuk akal juga.
Obrolan kami terus berlanjut. Kali ini tentang kedua anaknya yang sudah mentas. Anak kedua katanya bekerja di sebuah koperasi simpan pinjam di kota ini. Gajinya lumayan, UMR Kota Magelang sekitar 2 juta rupiah per bulan. Namun di rumah juga punya pekerjaan sampingan berupa bisnis kecil-kecilan. Jadi tidak membebani orang tua lagi.
Ketika sampai pada anak sulungnya, keterkejutan saya mencapai titik puncak. Pasalnya dia mengatakan anak sulungnya tinggal di Jerman. Saat pertama mendengar kata Jerman ke luar dari mulutnya, saya ragu. Saya katakan Jerman, jejer kauman, ya. (sebelah kampung Kauman, ya). Dia menggeleng. Dikatakannya anaknya memang tinggal di Jerman, karena dia menikah dengan perempuan Jerman.
Mendengar jawaban ini, saya terperangah. Ditambahkan lagi, dahulu anaknya kerja di sebuah kapal pesiar. Setelah itu entah bagaimana ceritanya, berjodoh dengan perempuan Jerman dan mereka menikah. Setelah menikah, kemudian bekerja di Jerman. Untuk meyakinkan saya, dikeluarkannya sebuah foto dia dengan anak dan menantunya.
Dari obrolan yang semula saya lakukan secara iseng, diam-diam saya merasa malu sendiri. Sebagai seorang guru yang juga pegawai negeri, saya merasa bahwa pendapatan saya jauh di atas ibu-ibu tadi. Secara apa pun, tidak mungkin dia bisa menyamai saya. Namun kenyataannya, dari apa yang disampaikan gaji saya sedikit lebih rendah dibanding ibu penjual itu. Padahal saya menjadi guru sudah hampir 30 tahun.
Ketika iseng saya tanyakan, mengapa tidak diam saja di rumah. Enggak usah jualan semacam ini. Jawaban yang disampaikan membuat saya kembali terperangah. Dia tidak ingin menjadi beban anak-anaknya selagi masih mampu. Selagi dia masih mampu, akan ditekuninya pekerjaan ini.
Lembah Tidar, 30 Januari 2023
Baca juga :
- Perempuan Bergaun Ungu (1)
- Disiksa Rindu
- Cerpen : Setegar Batu Karang
- Tentang Si Gadis Dari Kutub Utara
Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi menarik lainnya.
1 Comment