“Yudha, kamu kenapa terlambat lagi?” tegur satpam melihat yudha yang berlari terengah-engah menghampiri pagar sekolah yang sudah tertutup. “Iya pak saya kesiangan.” “kamu mah kesiangan melulu, nggak bosen dihukum ya?” Balas pak satpam tanpa membuka pintu pagar.
Setelah menulis nama di buku point keterlambatan, Yudha berlari ke kelas 9C. “Kamu terlambat lagi yud?” tanya Budiman teman sebangku Yudha. “Iya nih, dah ah dari satpam sampe kamu juga nanya mulu,” “sudah tahu saya pasti terlambat terus.” Yudha berkicau sambil membereskan tasnya.
Setelah presensi kelas Bu Murti berkata, “Hari ini saya mau buat kesepakatan!” semua siswa diam. “Ada banyak hal mengingat reputasi kalian di kelas VIII yang sangat istimewa,” bu Murti diam sejenak. “Jika saya wali kelas 9C, apakah kalian akan mengikuti arahan saya?” sambil memandangi seluruh siswa, bu Murti melanjutkan “Kalau kalian tidak setuju saya akan mundur dan menyerahkan pada wakil kesiswaan.” “Jangan bu …kita akan mengikuti semua bimbingan bu Murti kok.” Ratna bersuara.” “ya bu dari pada walas kita wakasek kesiswaan….ihh ngeri.” Lanjut Aris.
Wakil bidang kesiswaan adalah seorang guru yang sangat tegas, jika sudah berkaitan dengan peraturan sekolah. Siapapun yang melanggar peraturan akan mendapatkan konsekwensi yang sesuai prosedur sekolah. Inilah terkadang membuat siswa beranggapan beliau adalah guru yang killer dan sangat ditakuti.
“Baik, jadi kalian semua deal dengan saya?” tanya bu Murti. “ iya bu” jawab mereka. “ Saya akan umumkan kepengurusan kelas 9C,” sambil berkeliling kelas bu Murti tersenyum, .
“Untuk ketua kelas 9C…Yudha Cakrabuana.” Suara bu Murti yang lembut tapi sepertinya melesat membelah langit ke-tujuh, membuat terkejut seluruh isi ruangan. Terlebih Yudha, “kok saya bu, saya kan…?” yang lainpun protes karena mereka tahu kredibilitas Yudha. “Bu, mengapa nggak Ahmad aja, Ahmad kan biasa menjadi ketua kelas bu,” pinta Ratna. “Ya Ahmad aja bu.” Jerit siswa yang lainnya membuat kelas 9C gaduh. “Hmmm…Maaf ya Ahmad, kamu sudah pernah menjadi ketua ketika bersama ibu di kelas VII, Ibu sudah tahu kamu terbaik, walaupun tidak menjabat ketua lagi, ibu minta nanti Ahmad membantu Yudha dalam menjalankan tugas ya, ok!” pinta bu Murti pada Ahmad. “baik bu .” jawab Ahmad.
“Jadi gimana bu, kok saya,” “laa saya kan sering terlambat masuk sekolah, rangking no 1 dari bawah dan lain lain lah bu…pokoknya nggak pantes deh bu.” Yudha berusaha menolak. “ Iya bu, nanti gimana kelas kita kalau ketuanya Yudha?” tanya Budiman membantu yudha agar penolakannya diterima. “Bu, kelas kita hancur kalau dipimpin Yudha!” Ratna nyeletuk kasar. Bu Murti diam dan tersenyum mendengarkan pernyataan keberatan dari siswanya ketika Yudha dicalonkan jadi ketua kelas. Kelas-pun mulai riuh.
Bu Murti menenangkan siswanya. “tadi kita sudah sepakatkan?” bu Murti tersenyum “Siapapun bisa merubah dirinya menjadi lebih baik, jika dia mau berubah, dan saya sudah menetapkan Yudha sebagai ketua kelas.” “ok Yudha?” tanya bu Murti. Yudha diam duduk tak bergeming, menolakpun dirinya tak mampu dengan keputusan bu Murti.
“Baik, selanjutnya…wakil ketua kelas, Ari Adiperkasa.” Kembali kelas riuh, suara siswa yang merasa keberatan karena Ari ‘sebelas duabelas’ dengan Yudha pun tak terbendung. Malasnya Ari itu tingkat dewa. Bu Murti pun faham soal ini. “Bu, ok lah saya jadi ketua kelas, tapi wakilnya jangan Ari dong bu, bisa pusing saya bu.” pinta Yudha sambil memelas. “Yah.. bu Murti, tadi ketua Yudha, sekarang wakil Ari mereka berdua hobinya tidur bu. Ntar kita gimana dong?” sela Tuti. “Saya kan nggak bisa memimpin bu, boleh nggak Budiman aja,” pinta Ari memelas. “Nggak, saya nggak mau gantiin Ari bu!” balas Budiman. Bu Murti senyum melihat anak-anaknya saling lempar kata.
Untuk sekretaris saya minta Ratna. Bendahara Adisti. Dua personil ini tidak mendapat penolakan dari siswa lainnya
”Ada tambahan untuk kepengurusan kali ini, yakni ‘Ketua Nyipet’” sambung bu Murti. “Maksudnya apa bu?” tanya Ratna. Bu Murti tersenyum melihat anak-anaknya bingung, bukan tanpa alasan bu Murti membuat keputusan seperti ini. Salah seorang anak didiknya sangat senang mengambil pulpen teman-temannya yang tergeletak di meja, tanpa rasa bersalah mengumpulkan benda tersebut hingga banyak dan pernah dengan bangga ditunjukkan ke bu Murti. Bu murti ingin mendidik agar anak didiknya ini bisa berubah.
“ Bu, selama ini nggak penah ada ketua nyipet di sekolah bu?” tanya Dimas. Kembali bu Murti tersenyum. “Untuk ketua nyipet saya minta Dimas.” Kelas kembali bergemuruh. “hahaha bener bu, cocok tuh Dimas jadi ketuanya.” Sambut Budiman senang karena tahu kebiasan temannya ini. Dimas diam seolah bingung dengan apa yang terjadi. “Bu maksudnya gimana ya, saya bingung bu?” tanya Dimas. “ketua nyipet tugasnya menjaga keamanan barang yang ada di kelas,” Jelas bu Murti. “Bu, kan ada ketua kelas, tugas dia dong yang mejaga keamanan kelas.” balas Dimas. “Ya, ketua kelas menjaga kelas, tapi ketua nyipet menjaga jangan sampai ada barang di kelas ini yang hilang satupun. Dia bertanggung jawab atas keamanan barang-barang atau alat tulis lainnya. Saya tidak mau mendengar ada yang kehilangan barang.” Jelas bu Murti.. “Kayaknya Dimas nggak bisa lagi ngumpulin pulpen ya,” bisik Ratna pada Tuti “iya resign deh jadi pemulung pulpen,” balas Tuti. “Bu, saya setuju Dimas ketua nyipet….hidup Dimas!!!!” Pekik Budiman “Hidup Dimas… hidup ketua nyipet!!!” sahutan siswa kembali menjadikan kelas riuh. Dimas terdiam
Di kantor guru ternyata tak kalah heboh. “Bu Murti yakin dengan personil kepengurusan kelas 9C?” tanya Pak Ibnu. “Ada masalah dengan mereka pak?” balas bu Murti “bukannya semua anak punya hak untuk berkembang dan belajar memimpin.” Pak Ibnu diam, bingung dengan jalan fikiran bu Murti. “Iya sih bu, apa nanti tidak menyulitkan ibu sendiri, pengurus kelas kan yang akan menjalankan tugas untuk kemajuan kelas?” jelas bu Marta. “Iya bu Marta, kali ini saya mau rock and roll deh dengan kelas 9C.” balas bu Murti sambil tersenyum, walau dalam hatinya juga nggak pasti apa yang akan terjadi dengan kelasnya. Kebijakan bu Murti telah menjadi perbincangan para guru, tapi ini tidaklah mengubah keputusannya.
Tanggung jawab sebagai ketua kelas dan wakil cukup membuat beban bagi Yudha dan Ari yang memang mageran dan kurang disiplin. Seiring waktu mereka terbiasa dengan keadaan, karena tangan dingin dan ketulusan bu Murti telah mengubah mereka. Yudha tidak pernah terlambat lagi ke sekolah Dimas-pun kini tidak pernah lagi memungut pulpen yang tergeletak di meja temannya. Syukur bu Murti karena semua anak didiknya mau dibimbing dengan baik.
Tinggalkan Balasan