Bukan Bengkel Biasa

Bukan Bengkel Biasa
Sumber Foto : Pinterest

Bukan Bengkel Biasa

Bengkel rupa-rupanya tidak selalu memperbaiki yang rusak, agar dapat berfungsi kembali seperti sedia kala. Tapi, bengkel ternyata juga dapat merusak ingatan seorang anak manusia, dapat mempreteli rasa percaya diri pelanggan kecil seperti Qina. Itu karena tak semua pemilik bengkel adalah manusia, seperti sebuah bengkel yang akan diceritakan berikut ini.

***

“Pak Aleng, ban sepeda saya kempes, tolong pompa Pak.” Ucap Qina. Disandarkannya sepeda mini berwarna merah hadiah ulang tahun dari Bapak, dengan sabar Qina menunggu Pak Aleng memompa ban sepedanya. Pak Aleng adalah lelaki paruh baya, sedikit lebih tua dari usia Bapak. Ia membuka bengkel tepat di depan gang rumah Qina. Seharusnya Qina senang, karena itu artinya Qina tak harus mendorong sepedanya jauh-jauh ke bengkel dekat ujung perempatan jalan raya sana. Selain panas, tubuh kecil Qina tidak kuat mendorong sepeda sejauh itu.

“Eh, bapakmu main perempuan ya Qin? Tukang kawin bapakmu itu, tau gak kamu? Coba tanya saja ibumu!”

Ujar Pak Aleng, wajahnya menengadah menatap raut wajah Qina, sambil ia memutar ban roda sepeda Qina. Qina masih duduk di bangku kelas 1 SD saat itu, meski demikian kalbunya berusaha memahami kata-kata Pak Aleng. Lebih tepatnya cemooh untuk mempermalukannya di hadapan para bapak-bapak yang sedang duduk menunggui kendaraan mereka selesai diperbaiki di bengkel Pak Aleng. Qina hanya diam dengan wajah tertunduk, suara tawa terbahak-bahak Pak Aleng diikuti beberapa laki-laki seusia bapak membuat Qina kikuk.

Sela-sela pinggiran kuku-kuku kotor Pak Aleng yang berbau bensin dan oli menusuk hidung, meraih kasar uang logam 50 sen milik Qina. Qina mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa. Bulir keringat membasahi dahi dan wajah Qina. Semenjak itu, Qina selalu ketakutan jika ban sepedanya kempes. Tapi ia tidak punya pilihan, karena bengkel di ujung jalan raya sana sudah tutup, pemiliknya meninggal dunia sebulan yang lalu. Andai saja masih buka, tentu Qina lebih memilih terseok-seok mendorong sepedanya, daripada harus mendengar celotehan Pak Aleng.

Seperti pada hari ini, tak ada cara selain membawa sepedanya ke bengkel Pak Aleng. Qina mengeluarkan sepeda dari garasi dengan malas, hatinya cemas, tapi ibu sudah memberikan uang padanya.

“Tunggu apa lagi? Sana bawa sepedamu Qin, bannya sudah kempes, kenapa tak segera kau bawa ke bengkel Pak Aleng?”

Qina hanya terpaku, lantas ia memberanikan diri bercerita. Qina menarik nafas, jantungnya berdegup kencang seperti sedang marathon, suaranya tercekat enggan keluar dari tenggorok. Qina menceritakan walau dengan terbata-bata.

“Bu, apa boleh kali ini Ibu saja yang membawa sepeda Qina ke sana?

“Loh, kenapa? Bengkelnya kan dekat, ada-ada saja!”

“Tapi Bu, Pak Aleng selalu bikin Qina malu di depan bapak-bapak yang ada di situ. Kata Pak Aleng, “Bapakmu itu tukang kawin, suka main perempuan.” Apa benar Bu?”

Ia nyaris tersedu, sekuat tenaga Qina menahan air matanya. Qina tidak mau menangis di hadapan Ibu.

“Ah…. Sudah jangan didengarkan, kalau ban sepedamu kempes, bagaimana mau lancar naik sepedanya? Nanti sepedamu juga cepat rusak.”

Lagi-lagi Ibu menitipkan kecewa di hati Qina, curahan hatinya terdengar bagai angin lalu bagi Ibu. Sambil memutar ban sepedanya, Pak Aleng tersenyum menyeringai, Qina bak santapan empuk di matanya. Apakah dunia orang dewasa seberat dan sejahat itu? Sampai harus mengorbankan perasaan anak-anak seperti Qina. Qina menjadi bulan-bulanan laki-laki tua bangka seperti Pak Aleng. Siang itu cukup banyak langganan Pak Aleng, beberapa di antaranya ada yang sudah sering mendengar Pak Aleng kerap mempermalukan Qina di hadapan mereka.

“Bapak sama Ibumu cerai ya? Di mana Bapakmu sekarang? Pasti sudah kawin lagi ya Qin?”

Qina hanya diam, berpura-pura tidak mendengar. Pada saat itu, tiba-tiba terlintas dalam benak Qina ingin meraih sebuah obeng berukuran besar tak jauh tergeletak dekat kaki Qina. Ingin rasanya menancapkan obeng itu ke dalam mulut laki-laki tua bedebah yang sedang memasang pompa ke dalam pentil bicu ban sepedanya.

“Ha ha ha ha hah eehhh eehhh….”

Pak Aleng terbahak-bahak puas. Semua ucapan Pak Aleng seperti panah beracun yang tepat menusuk dada Qina. Kata demi kata berkejaran menyoraki dari belakang, sementara Qina berusaha tetap kuat berjalan sambil menyeret sepedanya. Bengkel hanya berjarak beberapa meter saja seakan berkilo-kilo meter jauhnya dari rumah. Qina menunduk, matanya tertuju pada batu-batu kerikil, dadanya berat penuh sesak dengan rasa malu, jengah, canggung, yang harus ia tanggung.

Biasanya keringat dingin membasahi pori-pori telapak tangan Qina, rasa gugup mendadak menyeruak memenuhi dadanya. Penderitaan Qina bagi orang dewasa yang tidak bermoral seperti Pak Aleng adalah hiburan murah meriah serta mudah. Tawa Pak Aleng tergelak-gelak, tak jarang pula ia terkekeh-kekeh sambil mengusap sudut bibirnya yang penuh liur berbusa menjijikan. Qina berharap ada seseorang akan menolong untuk sekedar membantu memunguti harga dirinya.

Jemari kotor penuh oli hitam berbau busuk meremas hingga lumat harga diri seorang anak perempuan. Mengapa ada saja orang dewasa seperti Pak Aleng di dunia ini, senang menodai mahligai masa kecil yang indah dari seorang anak perempuan seperti Qina? Rasa sakit yang Qina rasakan, lebih sakit daripada jatuh terperosok ke dalam parit berlumpur dan kotor. Lebih pedih dari pedihnya lutut yang koyak menganga berdarah-darah, karena terjungkal di jalanan aspal berbatu atau berlubang saat bersepeda.

Seperti itulah perumpamaan dalam benak anak-anak seperti Qina. Anak yang lemah dan belum sempurna akalnya. Dua tahun sudah Qina menanggung malu seorang diri. Malu itu sudah menelanjangi Qina, sampai ia sendiri tak sanggup bermain sepeda lagi seperti biasanya. Sampai pada suatu hari, Qina harus tinggal bersama kakek dan neneknya. Entah apakah ini berita baik atau buruk, logika Qina merayap dalam gelap, mencari terang, karena Qina kebingungan.

Nalar Qina tersandung-sandung, ia berusaha menyusuri tepian belukar kehidupan yang baru saja akan dimulai. Keindahan masa kecil Qina memang telah hilang, berikut rumah yang nyaman dan tentram, tapi setidaknya tidak ada lagi laki-laki tua biasa disapa Pak Aleng di sana. Pak Aleng dan bengkel berbau tengik itu hilang berserta kedua orang tua Qina. Petang merangkak menuju malam, tinggal Qina duduk melamun sendirian sambil sesekali matanya mencari kerlip cahaya bintang gemintang.