“Waduh, aku sudah keduluan Bu Melati, nih. Ini potongan tahu yang ke berapa, ya?” Tanya bu Mawar sambil menepuk pundak bu Melati dari belakang. Bu Mawar menaikkan satu oktaf volume suaranya seolah sengaja agar seisi ruangan mendengar.
“Sayang sekali, ini tahu yang kelima. Semua teman sudah hafal, kok, aku paling gemar maem tahu goreng,” jawab bu Melati berbohong karena tangan memegang tahu pertama dan persis di gigitan pertama pula saat bu Mawar masuk ruangan.
Teman-teman satu ruangan sempat sedikit kaget atas jawaban skak bu Melati. Sambil tersenyum kecut bu Mawar duduk di kursinya seperti biasa. Ada rasa puas yang tak mampu sembunyi bersama rasa masygul tak menyangka dapat reaksi cepat atas pertanyaannya yang terkesan sepele.
Hampir setiap hari bu Melati mendapat perundungan sehubungan dengan tubuhnya yang sedikit lebih sintal ketimbang teman-temannya satu sekolah. Namun, dia tidak pernah merasa terkejut atau pun tersinggung setiap ada rekan sesama guru di sebuah SDIT tempat ia mengabdi, melakukan bullying terhadapnya. Dari yang menyinggung masalah BB hingga selalu menegur negatif ketika menjumpai bu Melati sedang menikmati sarapan pagi di kantin sekolah maupun bawa bekal dari rumah.
Hari naas bagi bu Melati atau bisa jadi hari yang sangat membosankan lantaran itu ucapan perundungan dari bu Mawar entah yang sudah ke berapa kali dan pagi itu terpaksa ia jawab. Tidak seperti hari-hari yang lalu, bu Melati masih mampu menahan diri untuk tidak menjawab sepatah kata pun. Bahkan saat rekannya itu melontarkan kata-kata yang jauh lebih pedas beberapa pekan lalu, ia masih bisa menguasai diri.
“Pantesan subur makmur, hawong tidak mikirin anak sekolah, tidak direpoti rengekan anak-anak,” masih dari bibir yang sama dan anehnya bu Melati tak marah. Hanya melenggang pelan bak penari meninggalkan ruangan dengan anggunnya.
Dari sisi jam terbang di sekolah tersebut, bu Mawar belumlah apa-apa dibanding bu Melati. Lebih tepatnya bu Melati adalah gurunya, tetapi “keberaniannya” melontarkan perundungan seolah sudah “gawan bayi” dari sononya. Oleh karena itu bu Melati tak pernah menanggapi. Baginya hanya buang-buang energi.
Dia sudah mempersiapkan jauh-jauh hari atas segala bullying atau perundungan. Semua ia hadapi secara dewasa dan fokus pada kelebihan yang telah Allah berikan selama ini. Baginya, badan subur tak mengapa asal sehat jiwa dan raga. Walau tidak langsing tetapi masih bisa membawakan tari-tarian klasik dengan sangat memukau sesuai tingkat keilmuan dan pengalamannya. Juga menjadi langganan juara fashion show khusus ibu-ibu berbadan subur.
Dia menyadari sepenuh hati, keadaan diri yang di mata sebagian orang disebut sebagai “kekurangan”, ia berusaha menutupinya dengan menonjolkan sejumlah “kelebihan”. Bukan bermaksud sombong, tetapi untuk penyemangat diri bahwa tak guna terlalu berpikir tentang kekurangan dan kekurangan. Mensyukuri kelebihan yang ada diyakini akan mampu menciptakan sensasi bahagia melebihi kebahagiaan yang dimiliki orang lain.
Sejak dahulu sebenarnya bullying atau perundungan sudah ada. Dari kalimat ringan yang menyerempet hingga yang jelas-jelas menyakiti. Bahkan saat saya masih duduk di bangku SD ada teman yang sering menjadi bulan-bulanan oleh teman sendiri dan itu berlangsung cukup lama. Saya yakin walau sedikit akan tetap ada semacam kenangan yang tidak mengenakkan di masa kecil temanku. Belakangan baru kami sadari kenangan tidak mengenakkan di masa kecil itu justru menjadi cambuk dalam menggapai keberhasilan hidup.
Perundungan yang akhir-akhir marak terjadi lebih sering menyangkut body shaming atau celaan fisik. Meskipun tidak semua celaan menimbulkan luka batin bagi korban, tetapi perundungan tetaplah perundungan. Jika ternyata korban bullying tidak kenapa-kenapa, bukan berarti lantas kita bebas melakukan perundungan semau kita. Boleh jadi, korban sudah terbiasa sehingga bagi orang lain sangat menyakitkan tetapi baginya tidak.
Di mana saja, kapan saja dan di situasi apa saja, perundungan selalu ada. Penting bagi kita untuk tidak terlalu menanggapinya dengan pikiran negatif apalagi membalas dengan perundungan yang sama. Jika terjadi body shaming lantaran postur kita yang subur atau sebaliknya, kita berusaha untuk berbesar hati. Akan jauh lebih keren bila kita balas dengan menunjukkan hal-hal positif yang belum tentu dimiliki pelaku bullying itu sendiri. Misalnya, kita berbakat di bidang olahraga, seni, kepramukaan, kuliner, dan lain-lain, kita maksimalkan potensi yang ada. Bila perlu, kita kuasai berbagai kegiatan positif dengan prestasi yang mumpuni.
Manusia adalah mahluk Allah yang tercipta paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain. Ketika orang lain menemukan kekurangan yang ada pada diri kita, sesungguhnya kita pun mampu menemukan kekurangan-kekurangan dalam diri orang lain. Semua itu bersifat kodrati. Tidak selayaknya kekurangsempurnaan yang ada menjadi penghalang atau penghambat dalam sebuah hubungan antar sesama apalagi sebagai bahan perundungan.
Bila suatu saat terbesit di hati ingin melakukan perundungan terhadap orang lain, mungkin perlu bertanya pada diri sendiri. Apakah hati nurani kita rela menerima perundungan yang mereka lakukan untuk kita? Jika hal ini tak ingin menimpa diri, tentu untuk melakukan bullying terhadap orang lain, kita harus berpikir dulu seribu kali. Lebih baik kita melatih diri sendiri agar memiliki mental dan fisik yang kuat, tahan banting dalam menghadapi setiap bullying.
Tinggalkan Balasan