“Panta rhei kai uden menei”, ujar filsuf Herakleitos, artinya tidak ada yang permanen, dalam hidup ini semuanya akan mengalir. Begitu pula kehidupan manusia yang sewaktu-waktu bergerak dan terus berubah. Perubahan tidak hanya pada lingkungan dan keadaan, namun juga konsep hidup manusia yang turut mendiami dunia beserta isinya. Seiring perubahan hidup manusia dari zaman ke zaman, perubahan itu bisa mengarah ke arah baik atau buruk.
Di tengah perkmbangan era modern dan kemajuan teknologi yang terus bergulir sampai hari ini. Media sosial telah memainkan peran penting dalam membentuk konsep diri manusia dan citra sosial. Orang sering terpengaruh oleh norma sosial yang diperlihatkan dalam media sosial, dan tekanan untuk terlihat sempurna atau bahagia secara konstan. Meskipun, hal itu dapat mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang. Media sosial mempertontonkan trend sosial. Dan, kebiasaan hidup yang mudah sekali menarik perhatian dan mempengaruhi kita.
Padahal dari sekian banyak tren tersebut, belum tentu memberikan manfaat bagi hidup manusia. Namun, justru berdampak besar pada hidup seseorang, karena mencerminkan perubahan budaya, teknologi, dan nilai dalam masyarakat. Kemajuan teknologi, perkembangan jaman turut membawa perubahan dalam penggunaan segala sesuatu termasuk uang. Hedonisme berhasil menghipnotis masyarakat untuk tertarik dan fokus pada kemewahan hidup semata dengan harapan kehadirannya akan lebih diakui masyarakat.
Hedonisme marketing konsep hidup manusia di zaman serba instan
Istilah “Hedonisme” menurut KBBI, menganggap bahwa setiap kesenangan dan kenikmatan dalam bentuk materi adalah tujuan utama dalam hidup seseorang. Hedonis adalah suatu dorongan individu untuk berperilaku berdasarkan hanya dengan prinsip kesenangan (Benthem dalam Faqih, 2003). Menurut Collin Gem, hedonism adalah doktrin yang menyampaikan, bahwa kesenangan merupakan jalan satu-satunya menuju kebahagiaan dan hal yang paling penting di dalam hidup. Hedonisme adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani “Hedone” berarti kesenangan. Pengertian hedonisme secara singkat adalah gaya hidup yang berfokus mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas.
Zaman serba instan seperti pada hari ini, sering kali bermula dari budaya konsumerisme, yaitu ketika individu dihantui oleh dorongan untuk mendapatkan barang dan pengalaman segera. Andil besar media sosial juga turut mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi, berkomunikasi, dan mengonsumsi konten. Tren seperti konten video singkat (misalnya TikTok) dan platform berbagi gambar (misalnya Instagram) yang sering kali memamerkan berbagai gaya hidup sehari-hari. Hedonisme akhirnya dapat menjadi pandangan yang lebih menonjol dalam budaya kita. Karena, mendorong orang untuk mencari kenikmatan instan melalui pembelian dan konsumsi barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan.
Hedonisme kemudian menjadi salah satu cara untuk mempertahankan harga diri, dan lama-kelamaan menjadi marketing konsep hidup untuk mendapatkan sanjungan, dan pengakuan dari lingkungan masyarakat. Orang lantas berpikir, bahwa dengan konsep hidup demikian, adalah marketing paling ampuh untuk mendapatkan banyak teman terutama dari kalangan sosial kelas atas. Padahal di hari ini, semakin banyak orang dari kalangan menengah ke atas justru berusaha untuk bersikap lebih sederhana, agar diterima oleh semua kalangan dan mendapatkan banyak teman.
Konsep hidup hedonisme, kapitalisme global, dan sebuah pengakuan
Sementara itu sebagian masyarakat mempercayai, bahwa dengan konsep hidup hedonis akan menghadirkan sensasi rasa bahagia yang dapat menghindarkan diri dari sejumlah perasaan yang menyakitkan. Dampaknya pada masyarakat, yang terus berlomba-lomba bersikap konsumtif, mulai dari gadget, barang-barang branded, aksesoris maupun outfit, kian mewarnai perilaku masyarakat saat ini. Rasa puas atas kemampuan untuk mendapatkan barang mewah, pada akhirnya cenderung menciptakan rasa sombong dan berbangga diri. Terutama bila dapat membagikannya di akun media sosial pribadi dan mendapatkan beribu-ribu like atau viewers.
Belum lagi normalisasi gaya hidup hedonisme, dengan alasan bahwa hal itu adalah ranah pribadi dan bagian dari pencapaian hidup, sehingga tidak perlu menjadi perdebatan. Merupakan salah satu jalan ninja untuk melepas rasa lelah dari tumpukkan pekerjaan, self reward yang tidak mengganggu kehidupan orang lain. Gempuran hedonisme makin mengganas di hari ini sebagai teknik marketing konsep hidup kekinian para artis-artis papan atas agar terus eksis di kalangan masyarakat. Menjadi fenomena dan tren sosial di kancah pergaulan masyarakat yang kemudian meniru, dan mempraktikkan gaya hidup serba hedonis.
Bergaya hedonis dari ujung kaki hingga kepala seakan sudah suatu kepatutan, tuntutan keadaan, dan keharusan yang menjadi bagian dari hidup seseorang. Akibatnya kian banyak orang berlomba-lomba bekerja keras siang dan malam, agar mampu membiayai semua tuntutan gaya hidup tersebut. Belum lagi maraknya tindak kriminal, akibat dari rasa malu yang menyeruak jika tidak dapat memenuhi gaya hidup serba wah dan mahal. Oleh karena itu korupsi dan pekerjaan haram lainnya pun kian meningkat dan marak. Tanpa sadar manusia telah menjadi penghamba uang. Mereka telah kehilangan rasa empati dan kemanusiaan demi kesenangan sesaat, hampa tidak ada apa-apa di sana.
Membicarakan hedonisme tentu tak terlepas dari pengaruh era globalisasi dan hempasan ombak kapitalisme global. Kemajuan teknologi bercampur aduk dalam globalisasi beramai-ramai membawa masyarakat dalam jaring pukat harimau, dan “bujuk rayu” kapitalisme global. Tatanan yang menawarkan berbagai kemudahan, keindahan, serta pemenuhan kebutuhan manusia yang serba instan. Budaya konsumsi yang sebenarnya merupakan hasil dari kreasi kapitalisme global. Memperdaya masyarakat konsumen untuk berlomba-lomba memenuhi hasrat akan hausnya memiliki benda-benda tertentu untuk mendapatkan pengakuan.
***
Rasanya lumrah bagi manusia, jika menginginkan kesenangan duniawi dan kemapanan secara materi. Itu karena zaman sekarang untuk biaya kesehatan, pendidikan, sandang pangan atau bahkan untuk menunaikan haji dan umrah memang tidak murah. Namun segala sesuatu yang berlebihan tentu saja tidak baik, apalagi jika melakukannya secara impulsif. Oleh karena itu untuk menghentikan hedonisme membutuhkan kesediaan dan kerelaan dari individu itu sendiri, dengan tidak terbuai oleh rayuan teori gaya hidup hedonisme yang menyesatkan. Kembali pada ajaran dan tuntunan agama, yang mengajarkan kepada kita hidup tenang dengan kesederhanaan, bukan berarti kekurangan.
1 Comment