Aku antarkan sajak sajak rinduku sebelum peluh kering di tubuh
Walau tak selembut buluh perindu aku titipkan pada sang bayu sebelum enggan berhembus
Rinduku yang menggelayut diujung dedaunan kalbu tak pernah pupus
Berlalu bahkan kian melagu melantunkan simponi merdu yang mendayu dayu
Walau sajak rinduku hanya ibarat
Hembusan sang bayu di musim salju
Namun bulir bulir rinduku ibarat secawan arak penyejuk bunga harapan di taman hatiku jadi tak pernah layu
Walau sajak rinduku hanya ibarat luapan kisah klasik ilusi merindu bayangan semu
Namun kisah kasih yang dianggap semu ini telah menuntun aku menemukan
Kembali dendang kalbu yang pernah aku gandrungi dulu
Merindu dikeriuh deburan kalbu seperti jejak di tepian pantai yang kerap tersapu ombak cemburu
Kadang membuat aku seperti pengemis dungu
Namun tak pernah aku meragu karena aku hanya pemeran yang telah diatur sutradara
Yang maha tahu dan cemburu pun pupus seketika itu
Dan kali ini sebelum cakrawala senja memerah saga
Aku titipkan sebaris kerinduan dan kesetiaan pada mu
Yang ada di Tatap Mata hatiku
Aku Menulis Pada Sebuah Bait
Secarik kertas dan tinta hitam
Berlenggak-lenggok di kanvas putih
Ada nama tersirat rahasia
Yang selalu menjadi topik utama
Berbisik aku kepada langit
Terbuai sendu dalam hening
Menatap lurus pada harapan kosong
Berharap banyak untuk terisi
Sunyi, sepi aku sendiri
Nyanyian riang jam di dinding
Seolah menyapa dengan hangat
Hatimu sakit, jiwamu tenang
Lantas apa yang semestinya mampu?
Aku hanya mengetahui satu hal
Yang akan kita lukis
Hanya luka
Jiwa Hampa
Hari sudah mendung tanpa jiwa
Engkau laksana intan bersisik dalam telaga
Aku hidup dengan hembusan nafasmu
Seperti udara yang tersimpan di dalam kalbu
Hari sudah mendung tanpa jiwa
Engkau laksana intan bersisik dalam telaga
Aku menghias rupamu dengan denyut nadiku
Ingin membelaimu sukmamu sampai di penghujung hariku
Imaji
Menyulam titian hati memberai hari
Tegak menentang siang hingga hilang dalam pandang
Menatap kuat gurah merah di ufuk barat
Sepoi hembus angin selaksa kibas kipas-kipas asmara
Lena dan menggila
Menghambur dalam secawan anggur
Lena dan menggila
Rengek hasrat meronta bak bayi rindukan belahan jiwa
Di teras berkawan sepi
Secangkir kopi tersaji temani tarian jemari
Menekur diri menatap rona-rona matahari yang luluh dalam peraduan
Sebatang pena menggurat imaji senja
Sepasang Senja di Bola Mata
Kureguk segala gundah dalam hati
Tak kubiarkan gelas-gelas jingga memecahkannya
Pada pendaran petang yang sekian detik akan retak
Sore merengkuh dalam pangkuan gulana
Sesaat sebelum bintang malam datang mengeluh
Pada sayap hitam yang menggulita
Januari berujung seperkian hari lagi
Kisah pun tak henti menutup pada cerita tulisan ini
Yang sendu selalu mengantungi riasan paras kertas
Jejak-jejak pun menjadi pengisi halaman sunyi
Dalam vulome riakan aksara-aksara kecewa
Kutabur kata-kata di penghujung bisu senja
Secarik kalimat menghantarkan kudapan pandangan
Pada lembar pias bola mata berkeringat sedu sedan
Kulayangkan sehelai daun petang mengakhiri pintu kenang
Jarum Jam
Jarum jam masih berdenting
Aku terdiam tak sanggup bergeming
Berdiri ataukah kembali terbaring
Bagaikan kayu yang sudah kering
Jarum jam masih berdenting
Aku masih terdiam berbaring
Meratapi nasib yang demikian menggiring
Menggiringku ke pusatnya, hingga kepala ini pusing
Jarum jam masih berdenting
Aku memberanikan diri untuk berontak
Aku tak mau lagi terdiam berbaring
Karena aku makhluk yang berotak
Baca juga :
- Pers Rilis : Kebutuhan Lahirnya Undang Undang Daerah Kepulauan di Indonesia
- Kehebohan Kelas 9C
- Perempuan Bergaun Ungu (1)
- Ketika Nyawa Tak Lagi Berharga
Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi menarik lainnya.
Tinggalkan Balasan