Tugasku Telah Usai

Tugasku Telah Usai
Sumber Foto : Pixabay

Tugasku Telah Usai. Malam ini, hujan deras kembali turun, seperti hari-hari sebelumnya. Udara dingin menusuk kulit, sementara angin membawa butir-butir air yang menyapu wajahku yang telah dipenuhi kerutan usia. Di genggamanku ada sebuah payung tua. Pegangan kayunya sudah rapuh, dan kainnya penuh jahitan tambal sulam. Namun, payung ini menyimpan banyak kenangan, sama seperti aku.

Ketika hujan pertama kali menghampiri hidupmu, akulah yang menjadi payung untuk melindungimu. Aku membentangkan diri selebar mungkin, memastikan setiap tetesan air jatuh di atas tubuhku, bukan di kepalamu. Aku menyaksikanmu bertumbuh, berjuang melangkah di tengah badai, dan sesekali, hujan terasa begitu deras hingga membuatmu hampir menyerah. Tapi aku selalu hadir, menjadi pelindungmu, tempatmu berlindung dari derasnya cobaan.

Seiring waktu berjalan, hujan datang dan pergi. Aku tetap berada di sisimu. Kau mulai memahami bahwa hidup bukan hanya soal menunggu hujan reda, tetapi juga belajar menari di tengah rintiknya. Aku bangga melihatmu menjadi sosok yang lebih kuat dan tangguh. Namun, aku juga tahu ada kalanya hujan itu terlalu berat untukmu hadapi sendiri. Pada saat-saat itu, aku selalu siap menjadi payungmu lagi.

Tetapi malam ini berbeda. Aku melihatmu berdiri di bawah langit yang masih kelabu. Namun, kali ini, tidak ada ketakutan di matamu. Sebaliknya, ada cahaya baru seperti seseorang yang baru saja melihat tanda-tanda pelangi di ujung cakrawala.
“Hujan sudah mulai mereda,” aku berkata pelan, meskipun tidak yakin kau mendengarnya.

Kau menoleh padaku, menyunggingkan senyum kecil yang penuh makna. “Aku tahu,” jawabmu, seolah-olah berbicara lebih kepada dirimu sendiri daripada kepadaku.

Aku ingin tetap menahanmu, ingin terus menjadi payung yang melindungimu dari segala hujan. Namun, aku sadar, ini bukan lagi tugasku. Aku tahu inilah saatnya bagimu untuk melangkah sendiri.

“Pergilah,” aku berkata akhirnya, suaraku sedikit gemetar. “Kejar pelangimu. Hujan ini tak lagi menjadi ancaman bagimu.”
Kau menatapku sebentar, tampak ragu, namun akhirnya mengangguk. Dengan hati-hati, kau melipat payungku dan menyerahkannya kembali padaku.

“Terima kasih,” katamu sebelum melangkah pergi. Langkahmu mantap, penuh keyakinan.

Aku berdiri di sana, menggenggam payung tua ini, menyaksikanmu semakin menjauh. Ada rasa kehilangan yang tak dapat kupungkiri, tetapi juga kebanggaan yang memenuhi hatiku.

Tugasku telah selesai. Aku hanyalah sebuah payung tua yang pernah melindungimu di tengah badai. Kini, hujan telah berhenti, dan kau tak lagi memerlukanku. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti, kau akan menemukan pelangimu, karena kau adalah seseorang yang cukup berani untuk mencarinya.

Di bawah langit yang mulai cerah, aku tersenyum, merasa lega. Terkadang, cinta adalah tentang mengetahui kapan harus melepaskan, membiarkan mereka yang kita lindungi melangkah sendiri.

Aku tetap berdiri di tempat yang sama, memperhatikan langkah-langkahmu yang perlahan menjauh. Di setiap langkah itu, aku melihat perjalanan hidupmu, perjuangan yang telah kau lalui, dan impianmu yang satu per satu mulai menjadi nyata. Rasanya baru kemarin kau memulai semuanya, penuh keraguan dan ketakutan. Namun kini, kau telah berubah menjadi sosok yang berbeda, lebih tangguh, lebih percaya diri, dan dipenuhi harapan.

Hujan yang dulu tampak begitu menakutkan kini hanyalah rintik-rintik kecil yang tak lagi mampu menghentikan langkahmu. Kau tak lagi memerlukan perlindungan dari payung tua ini, dan aku menerimanya dengan lapang dada. Tugasku memang bukan untuk terus berada di sisimu, melainkan memastikan bahwa kau cukup kuat untuk berjalan sendiri.

Aku memandangi payung di tanganku, benda sederhana yang sarat dengan kenangan. Setiap lipatan kainnya mengingatkanku pada badai-badai yang pernah kita hadapi bersama. Ada malam-malam yang begitu gelap hingga pagi seolah takkan pernah datang. Ada hari-hari di mana hujan begitu deras hingga aku sempat ragu apakah kau mampu bertahan. Namun, kau selalu membuktikan bahwa dirimu lebih kuat dari yang kukira.

Kini, aku hanya bisa berharap kau menemukan pelangimu, simbol harapan dan keindahan yang selalu muncul setelah badai berlalu. Pelangi itu bukan hanya tentang kesuksesan, tetapi juga tentang kedamaian yang kau temukan dalam dirimu sendiri. Meski aku tak lagi di sana untuk menyaksikannya, aku yakin kau akan menemukannya.

Angin malam menyapu wajahku, membawa rasa dingin yang entah bagaimana justru terasa menenangkan. Di kejauhan, aku melihatmu berhenti sejenak, menoleh, dan melambaikan tangan. Isyarat sederhana itu seolah berkata, “Aku akan baik-baik saja.” Aku membalas lambaian itu, meskipun aku tahu kau mungkin tak lagi melihatku.

Malam semakin larut, dan hujan benar-benar telah berhenti. Langit yang sebelumnya kelabu perlahan berubah, dan bintang-bintang mulai bermunculan di ufuk timur. Saat itu, aku menyadari bahwa inilah saatnya bagiku untuk pergi. Tugasku sebagai pelindungmu telah usai, dan kini aku harus melanjutkan langkahku sendiri.

Setelah sekian lama menjadi tempat berlindungmu, kini aku harus belajar melepaskan. Meski terasa berat, ada kebahagiaan tersendiri dalam melihatmu melangkah mandiri. Karena cinta sejati bukanlah soal selalu berada di samping orang yang kita kasihi, melainkan memberi mereka kebebasan untuk menemukan jalan mereka sendiri.
Di bawah langit malam yang semakin cerah, aku melangkah pelan, membawa payung tua ini sebagai pengingat kisah kita.