Sensasi “Matur Tampiasih” di Kampung Sasak Sade Lombok

Sensasi “Matur Tampiasih” di Kampung Sasak Sade Lombok

Sebagai pendatang baru, kami tidak ingin menunda mengetahui lokasi wisata kultural di daerah tersebut. Hari itu pukul 9 Wita saya dan keluarga berangkat dari Ampenan Mataram menuju ke Kampung Sasak “Sade” di Lombok Tengah. Kami tempuh perjalanan menggunakan mobil melalui 5 kecamatan, Labuapi, Kuripan, Jonggat, Praya Barat, dan Pijut.

Meski berjarak tempuh 45 Km, namun karena sebagian besar jalan by pass beraspal dan sebagian kecil aspal satu jalur, jarak tersebut berhasil dirampungkan hanya dalam waktu 49 menit 53 detik telah sampai di di Rembitan Lombok Tengah. Setelah parkir kendaraan, beberapa orang bersarung batik berkemeja rapi, mengenakan semacam udeng di kepala mendekati kami. Kemudian mereka berembuk, akhirnya satu dari mereka mendekat dan mengenalkan diri ke kami.

“Matur Tampiasih,” ungkapan terima kasih keluar dari mulut Amak Bayu sembari memulai perkenalan. Amak adalah panggilan seorang laki-laki Suku Sasak yang kemudian mengenalkan diri sebagai tour guide kami. Setiba di lokasi kami diajak beristirahat sesaat di sebuah bruga sekenam (bangunan enam tiang) untuk mendengarkan penjelasan singkat tentang asal-usul suku sasak.

Beberapa saat kemudian, kami mulai berjalan menyusuri lorong sempit diantara rumah-rumah suku sasak tertua, terdiri satu rumpun keluarga berjumlah 150 KK dengan 700 orang warga. Perkawinan serumpun pria dan wanita terpelihara lama hingga saat ini, dengan mata pencaharian utama petani serta kerajinan kain tenun sasak. Wanita sasak yang telah memasuki akil balik “wajib” bisa memintal kain berbahan kapas lokal sebelum memasuki mahligai perkawinan.

Kemahiran memintal kain sangat dibutuhkan guna membantu ekonomi keluarga yang hanya mengalami satu kali panen karena minimnya hujan untuk pengairan sawah mereka. Sumur ada namun terbatas, maka pemanfaatannya hanya untuk mandi dan masak seluruh warga kampung sasak. Kampung sasak dipimpin oleh seorang kepala suku tanpa pemilihan dan turun-temurun.

Rumah adat suku sasak beratap daun sirap, berlantai tanah liat tapi tampak mengkilap meski dipel dengan kotoran kerbau seminggu sekali. Saking sempitnya pintu rumah adat, kami masuk satu-persatu dengan sedikit menundukkan kepala, setelah didalam terdapat ruangan cukup luas dengan lantai halus menyerupai keramik. Diatasnya, terdapat satu ruangan lagi berisi perkakas dapur dan persalinan.

Setelah merasa cukup mengamati suasana dalam rumah adat, kami memutuskan keluar tetap dipandu Amak Bayu. Di lorong belakang rumah adat tampak berdiri kokoh pohon nangka tua yang biasa digunakan pasangan muda-mudi sasak memadu kasih. Meski, pohon tersebut sudah mati tapi tetap menancap di bumi. Kata Amak Bayu, pohon tersebut akan dicabut dan ditanam bibit pohon nangka baru.

Lokasi terakhir yang kami kunjungi bernama menara pantau kampung sasak. Bangunan tersebut berbentuk seperti panggung dengan beberapa anak tangga menjulang keatas. Sesuai perannya sebagai pemantau keamanan kampung, bangunan paling tinggi dibanding rumah adat maupun Balai Tani.

Balai Tani merupakan tempat menyimpan hasil panen padi dari 4 sd 5 keluarga yang dikelola secara swadaya oleh mereka. Ketersediaan padi harus cukup untuk satu tahun hingga musim panen berikutnya. Penghasilan harian keluarga diperoleh dari hasil penjualan kain tenun yang dibuat oleh istri dibantu anak-anak perempuannya.

Setelah cukup puas healing-healing mengitari detil bagian Kampung Sasak Sade, kami pun berpamitan kepada Amak Bayu, sembari berucap, “Matur tampiasih” (terima kasih), dan dijawab olehnya, “Pade-pade” (sama-sama).

Wahyu Agung Prihartanto, D’Traveller.

 

Baca juga :

  1. Menjadikan “Hate Speech” sebagai Pelecut Motivasi
  2. Kisah Ibu Penjual Kopi di Rumah Sakit
  3. Seollal: Perayaan Imlek yang Berbeda Tradisi di Korea Selatan
  4. Terbuat dari Talas, Hidangan dan Camilan Khas Kota Pontianak Jadi Semakin Unik dan Istimewa

Yuk ikuti terus lini masa CAPTAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi lengkap lainnya.