Dilema Manipulasi Nilai bagi Guru

Dilema Manipulasi Nilai bagi Guru
Sumber: Pexels

Bagi mereka yang sudah mengikhlaskan diri menjadi guru, pasti sudah hapal dengan situasi menjelang kenaikkan kelas dan kelulusan. Perang batin level dewa, pasti terjadi pada saat ini. Keinginan untuk membantu siswa dengan mempertahankan idealisme, menjadi pergulatan abadi. Bagi orang-orang yang saat ini sudah menginjak usia 50-an tahun, pasti merasa heran dengan profil nilai siswa saat ini. Deretan nilai-nilai tinggi, berderet rapi seolah berada di sebuah etalase. Menampilkan kilau cerah, menjanjikan keindahan.

Demikian pula dengan IPK yang dicapai mahasiswa saat ini. Jangan harap menemukan IPK 2,0 pada diri seorang mahasiswa. Sebodoh-bodohnya mereka, angka 3 pasti ada di dekapan mereka. Deretan IPK mulai dari 3,0 hingga 4,0, menjadi pemandangan biasa. Seakan tidak ada istimewanya. Pemandangan semacam ini tidak mungkin ada 30 hingga 40 tahun lalu. Di kalangan siswa SD hingga SMA, angka 6 atau 60 menjadi gambaran biasa. Sedangkan bagi siswa dengan kemampuan akademis rendah, dapat dipastikan ada angka merah pada setiap lembar rapor yang mereka miliki.

Saat itu rentangan nilai yang tercantum di rapor begitu bervariasi. Mulai dari angka 5 atau 50 yang identik dengan warna merah alias tidak tuntas, hingga angka tertinggi. Akibatnya peta kemampuan akademis siswa dalam suatu kelas, tergambar dengan jelas. Mana anak yang pintar, mana yang bodoh menempati posisi masing-masing. Demikian  pula di kalangan mahasiswa. Bagi mereka yang ada pada posisi biasa-biasa saja, jangan harap bertemu dengan IPK 3. Mereka harus puas dengan kisaran IPK dari 2,0 hingga 3,0. Seorang mahasiswa yang mampu melampaui angka 3,0 termasuk kategori mahasiswa luar biasa.

Obral Nilai

Situasi yang berbeda dengan apa yang terjadi saat ini, menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Tebaran nilai atau IPK yang begitu tinggi, adakah merupakan gambaran peningkatan kemampuan akademik siswa atau mahasiswa saat ini. Dalam artian sumber daya manusia Indonesia saat ini berada pada high level.

Lihat saja saat seorang mahasiswa ‘hanya’ mampu meraih IPK 3, dapat dipastikan akan kesulitan dalam melangkah. Permasalahannya, saat mereka harus bersaing secara administratif, otomatis mereka sudah kalah duluan. Dalam proses seleksi administratif ini, pihak penguji tutup mata terhadap skill lain yang dimiliki calon. Seleksi awal ini otomatis meminggirkan mereka. Pengamatan atas skill baru dilakukan setelah proses seleksi administrasi selesai. Dengan demikian dapat dipastikan tamat bagi mereka yang mempunyai IPK di bawah 3,0. Skill mereka yang mungkin lebih unggul dibandingkan pesaing lain, tidak terlihat oleh para penguji.

Demikian pula dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi dengan berdasarkan nilai rapor calon mahasiswa. Diakui atau tidak, ukuran seseorang calon mahasiswa dapat diterima semata-mata dari perolehan nilai rapor mereka selama 5 semester. Dengan merunut prestasi anak sejak kelas X hingga XII, maka perguruan tinggi menganggap anak tersebut layak untuk diterima. Dengan pertimbangan ini maka tidak usah heran jika ada sekolah-sekolah yang langganan memasukkan siswanya ke perguruan tinggi favorit. Selain rekam jejak para lulusannya sangat bagus, akreditasi sekolah juga menentukan.

Dongkrak Nilai

Fenomena semacam ini pada akhirnya mendorong setiap perguruan tinggi maupun sekolah-sekolah untuk melakukan proses ‘pendongkrakan’ nilai. Bahkan di beberapa sekolah bagus, langkah ini telah dilakukan sejak awal siswa masuk di sekolah tersebut. Tentu saja pemberian pendampingan pada siswa berpotensi tidak dilakukan pada setiap siswa. Namun berkaitan menjaga nama sekolah di mata perguruan tinggi, beberapa sekolah melakukan manipulasi nilai pada seluruh siswa. Sehingga secara rata-rata pencapaian nilai para siswanya berada pada level yang bagus.

Alasan yang diberikan perguruan tinggi dan sekolah pada umumnya sama. Langkah tersebut dikatakan sebagai bentuk pemberian modal bagi para lulusan agar mampu bersaing di luaran. Hal ini didasarkan pada jor-joran nilai yang terjadi di luar. Manakala seorang lulusan hanya memiliki nilai standar, dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam bersaing. Bukan  tidak mungkin mereka akan kalah sebelum bertanding.

Guru Berada di Pihak Serba Salah

Ketika proses ‘pengatrolan’ nilai harus dilakukan, maka gurulah yang menjadi aktor utama semua itu. Dengan mengatasnamakan membantu anak, guru harus bisa membekali mereka dengan nilai-nilai yang kompetitif. Di bagian inilah sesungguhnya perang besar tengah terjadi. Manakala siswa yang dibantu pada kondisi yang baik, tentu tidak salah. Namun ketika proses itu berjalan secara membabi buta, gurulah yang paling merasakan rasa sakit itu.

Dapat dibayangkan, seorang anak mendapat nilai matematika 8. Namun ketika pihak tertentu mencoba menguji anak tersebut, terungkap ternyata angka yang tercantum di rapor tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ibarat makan buah simalakama. Tidak memberi bantuan pada  siswa, berarti membiarkan mereka kalah sebelum bertanding. Di sisi lain, pemberian nilai yang tidak sesuai dengan kepasitas yang dimiliki siswa, berarti sebuah pembohongan publik. Akhirnya dengan diniatkan membantu masa depan anak, langkah pengatrolan nilai pun dilakukan. Harapan yang ada pada para guru, semoga para murid tersebut mampu menyejajarkan nilai yang diterima dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki.

 

Baca juga:

Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!