Dampak Pemberlakuan Pendidikan Gratis

Dampak Pemberlakuan Pendidikan Gratis
Dampak Pemberlakuan Pendidikan Gratis

Diantara beberapa provinsi yang ada, Jawa Tengah merupakan provinsi yang menerapkan pendidikan gratis di semua jenjang. Sekolah-sekolah negeri di provinsi ini mulai dari SD hingga SMA, dilarang melakukan pungutan pada murid. Tujuannya jelas, yaitu meningkatkan wajib belajar 12 tahun, penghapusan berbagai pungutan serta kesempatan belajar sesuai jenjangnya.

Dalam pelaksanaannya terdapat dua metode. Berdasarkan keputusan pemerintah pusat, pemda tingkat II hanya mempunyai kewenangan mengatur jenjang SD dan SMP. Sementara itu untuk jenjang SLB, SMA dan SMK, menjadi wewenang provinsi. Wewenang itu termasuk dalam masalah keuangan. Sehingga sekolah-sekolah tersebut dalam urusan pengawasan ada di tangan provinsi.

Berbekal kewenangan tersebut, maka provinsi dengan keras melarang setiap sekolah menarik pungutan dari murid dengan alasan apapun. Semua kebutuhan sekolah, menjadi tanggungan provinsi. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan pendukung kegiatan Pendidikan, sekolah tinggal mengajukan proposal ke provinsi. Hal ini jauh berbeda saat SMA dan SMK masih berada di tangan Pemda Tingkat II. Pada saat itu, sekolah masih mempunyai keleluasan dalam menarik pungutan sepanjang Komite Sekolah menyetujui.

Dampak dari semua itu, sekolah selalu dengan cepat mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Mereka tidak lagi harus menunggu dana dari provinsi. Pada perkembangan lebih lanjut, kegiatan pembelajaran dan non pembelajaran berjalan dengan lancar karena ketersediaan dana.

Operasional Sekolah Negeri Terganggu

Larangan pada sekolah-sekolah negeri menarik pungutan dari masyarakat, pada perkembangan berikutnya berdampak kurang baik bagi sekolah. Hal ini disebabkan sering tidak lancarnya dana turun akibat birokrasi yang rumit. Akibatnya ketika sekolah membutuhkan dana cepat untuk sebuah kegiatan terganggu. Dampak yang lebih parah, kegiatan tidak berjalan lancar. Dampak lebih jauh, sekolah memilih langkah aman dengan meminimalisir kegiatan.

Kejadian semacam ini jelas tidak sehat bagi sebuah sekolah. Bagaimanapun juga sebuah kegiatan akan berjalan lancar, perlu dukungan dana yang memadai. Tidak ada dana, tidak ada kegiatan. Hal berbeda terjadi di sekolah-sekolah swasta bonafid. Keleluasan mereka menggali dana dari masyarakat ditambah dengan kesadaran para orang tua, membuat mereka lebih maju. Bahkan di beberapa tempat, sekolah-sekolah negeri favorit kini makin tercecer dari sekolah swasta dalam urusan prestasi.

Maka tidak salah jika kita mengambil idiom Jawa yang mengatakan jer basuki mawa bea. Artinya, kalau ingin sukses perlu dukungan biaya. Analogi paling sederhana. Saat ini hanya untuk kencing di WC umum saja harus keluar sejumlah uang. Mosok untuk sebuah proses investasi masa depan anak berupa pendidikan harus gratis.

Kurangnya Tanggung Jawab Murid dan Orang Tua

Sorotan yang tidak kalah menarik adalah pada sisi orang tua dan murid itu sendiri. Seharusnya, dengan adanya peniadaan pungutan sekolah, orang tua maupun murid harus lebih antusias dalam belajar. Mereka memanfaatkan sikap “baik hati” pemerintah, dengan belajar semaksimal mungkin. Jika selama ini biaya yang selalu menjad alasan, kini tidak lagi. Bahkan sebagian murid juga menikmati berbagai bea siswa.

Ramuan sekolah gratis dan bea siswa ini, seharusnya mujarab dan manjur. Orang tua akan memotivasi sang anak, sedangkan anak akan berusaha memanfaatkan semua ini semaksimal mungkin. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Begitu banyak orang tua yang tidak memperhatikan perkembangan belajar anak-anaknya. Bahkan untuk mengambil rapor atau ijazah, tidak mereka lakukan.

Mereka baru akan berteriak lantang, saat sang anak kena masalah. Dengan menonjolkan emosinya, mereka melakukan protes. Bahkan tidak jarang membawa kasus ini ke mana-mana. Akhirnya sekolahlah yang terpojok. Lain halnya di sekolah-sekolah swasta bonafid. Orang tua sangat intens dalam mengikuti progress anak di sekolah. Ketika ada penurunan pada prestasi anak, mereka akan segera bergerak. Nah, di sinilah perbedaannya. Pendidikan gratis yang bertujuan memberi kesempatan luas pada anak untuk menempuh pendidikan, justru menjadi sebaliknya.

Solusi

Sebenarnya beberapa kejadian di atas tidak akan terjadi jika kembali pada aturan semula. Aturan itu berupa mengijinkan sekolah menarik pungutan dari murid. Selain bisa memberikan “kesehatan” keuangan bagi sekolah, juga lebih meringankan beban provinsi. Lalu bagaimana dengan murid yang tidak mampu?

Sistim lama membagi murid dalam beberapa kategori. Kategori yang mendasarkan pada tingkat ekonomi orang tua untuk menentukan berapa besar pungutan yang akan dibebankan. Logikanya, semakin orang tuanya mampu, semakin tinggi pungutannya, sebaliknya jika orang tuanya tidak mampu akan bebas. Konsep yang dikenal dengan subsidi silang ini relatif paling fair, pungutan bagi yang mampu akan mensubsidi murid yang tidak mampu.

 

Baca juga:

Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!