Menjadi orang tua yang sebenarnya bukan hanya merawat anak saat mereka masih bayi. Tantangan menjadi orang tua yang sesungguhnya, adalah pada peralihan masa anak-anak menuju remaja, bahkan hingga mereka dewasa. Masa yang kita kenal dengan istilah “pra-remaja” dan “remaja” adalah anak- anak mulai mengalami rangkaian proses perubahan fisik dan psikologis. Pra-remaja pada anak, dimulai sejak anak berusia antara 10 sampai dengan 14 tahun. Pada usia-usia ini merupakan peralihan dari masa anak- anak menuju tahapan sebelum remaja dan dewasa. Pubertas adalah periode anak mengalami perkembangan hormon dan organ-organ reproduksinya.
Melansir dari parenting.co.id menurut Diane Bloomfield, M.D., dokter anak di Children’s Hospital, Montefiore NY, AS, Masa pubertas anak antara rentang usia sekitar kelas 5 SD atau 10-11 (atau bahkan mungkin saja sudah terjadi saat anak berada di kelas 3 atau 4 SD). Anak tidak hanya mengalami perubahan fisik dan psikologis saja, tetapi juga mulai tertarik pada lawan jenis di lingkungan mereka. Menyukai lawan jenis atau “jatuh cinta” adalah bagian dari masa prapubertas, dan termasuk dalam perkembangan mental anak. Akan tetapi tetap saja menghadapi masa puber pada anak bagian adalah fase yang paling menantang sebagai orang tua. Kita berpikir, terlalu dini bagi anak untuk jatuh cinta, menyukai, apalagi sampai “berpacaran” di usia tersebut.
Meskipun faktanya fenomena pacaran menjadi salah satu cara menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan beberapa anak remaja. Orang tua perlu memahami bahwa jatuh cinta, adalah bagian dari proses tumbuh kembang anak. Pentingnya para orang tua mengetahui, apa sih jatuh cinta? Meskipun orang tua adalah manusia dewasa, dan mungkin sudah bolak-balik jatuh bangun soal cinta. Namun andai itu terjadi pada anak-anak kita, apakah kita dapat menyikapinya dengan logika dan sabar?
Tanpa perlu menghardik mereka, menghakimi, melarang keras, memberikan hukuman anak saat sedang menyukai seseorang, atau berpacaran. Terlebih jika si anak berpacaran di usianya yang masih duduk di bangku sekolah. Melansir dari lifestyle.kompas.com, jatuh cinta merupakan situasi paling emosional dan hasrat yang sangat kuat, hingga sulit untuk menjelaskannya. Penjelasan paling ilmiah adalah, karena adanya empat unsur biologis dalam bentuk zat kimia di saraf tubuh, yaitu oksitosin, dopamine, serotonin, dan beta-endorphin. Keempat zat ini mendukung dan menimbulkan rasa ketertarikan, hingga menimbulkan rasa cinta pada anak, atau manusia dewasa seperti diri kita.
Nah, serotonin adalah zat kimia yang bekerja di area limbik otak bawah sadar manusia. Serotonin mengatur perihal nafsu ketertarikan pada lawan jenis, kemudian menjadi sensasi yang murni naluri tanpa kita sadari. Serotonin bertugas melepaskan unsur cinta yang obsesif, di masa awal saat sedang menyukai seseorang. Memahami proses jatuh cinta secara logika, dan ilmiah, akan lebih membantu para orang tua saat mengetahui anak menyukai lawan jenis. Meskipun ini adalah hal yang normal, namun kehadiran orang tua di masa-masa pubertas menjadi sangat penting. Orang tua berperan sebagai tuas kontrol perasaan tersebut, sehingga membantu anak mengelolanya dengan wajar.
Biasanya orang tua mengkhawatirkan dampak buruknya, terutama pada masa awal mengalami jatuh cinta. Mulai dari kesulitan untuk berkonsentrasi, apalagi jika anak masih dalam tahap mengenyam pendidikan. Bukan hanya pada anak saja, faktanya jatuh cinta juga dapat membuat orang dewasa pun tidak fokus pada pekerjaannya. Kita sepakat, bahwa jatuh cinta, atau mencintai tidak selamanya mulus, apalagi kalau seperti kisah cintanya Romeo dan Juliet. Jatuh cinta tentu bisa saja berakhir dengan patah hati, sementara patah hati dampaknya tidak main-main.
Cinta memiliki dampak yang baik bagi manusia, namun juga berpotensi memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut meliputi, menimbulkan rasa sedih, kecemasan, meningkatkan stres, depresi, obsesi, kecemburuan, dan posesif. Dampak negatif lain seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual, kehamilan dini, menurunkan konsentrasi, bahkan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang rapuh. Bisa kita bayangkan, jika semua hal negatif itu terjadi pada anak kita yang masih remaja muda belia? Maka kehadiran kedua orang tua setidaknya dapat menjadi bejana yang mampu menampung emosi-emosi negatif, sekaligus penyembuh agar anak tidak tenggelam terbawa arus pada situasi up and down semacam ini.
Meski terdengar sulit, setidaknya orang tua berusaha selalu membimbing anak untuk mengelola emosinya, karena mereka belum mampu menangani emosi jatuh cinta secara nalar dan logika. Berdasarkan usia dan aspek psikologis anak yang masih belum sempurna, maka pacaran di usia remaja memang tidak baik. Memainkan peran tidak cuma sebagai orang tua, melainkan orang tua rasa teman, dengan cara dapat mendengarkan apa pun keluh kesah sang anak tanpa memarahi apalagi menghakimi mereka. Sebagai ibu dari satu anak perempuan, saya sendiri pun masih terus belajar mengambil alih posisi sebagai “bestie.” Ini merupakan langkah awal saya menjadi pendengar setianya, mengetahui siapa saja orang-orang yang berada di dekatnya, dan apakah anak sedang menyukai seseorang di lingkungannya?
Menjadi orang tua yang bersedia mendengarkan anak bercerita tentang keseharian mereka, atau bisa dengan berbagi pengalaman masa remaja ayah dan ibunya. Mengajari anak tentang bagaimana mengelola perasaannya, sehingga tidak lepas kendali. Beberapa hal lain, yaitu dengan melibatkan anak dalam kegiatan positif di luar kegiatan belajar di sekolah, dan terus mengingatkan untuk tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama kepada lawan jenis yang bukan muhrimnya. Agar anak tidak terlalu larut dalam perasaan jatuh cinta atau memikirkan si pacar, jangan lupa untuk menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dengan guru dan lingkungan sekitar supaya terjadi keterbukaan antara anak dan orang tua.
Baca juga:
- PR Bersama yang Kerap Dilupakan: Mewujudkan Remaja Sehat
- Sepasang Manula di balik Jendela
- Flexing Yang Menghancurkan
Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!
2 Comments