Sepasang Manula di balik Jendela

Udara sore terasa adem setelah beberapa jam diguyur hujan cukup deras. Aroma tanah basah masih menguar yang bagi sebagian orang merupakan hal yang biasa. Namun tidak bagi Henny. Suasananya justru mengingatkan dia dengan beberapa momen indah bersama mendiang ibu bapak dan sosok tetangga sebelah yang tak pernah menutup jendela kecuali saat hujan.

Henny masih mengelus-elus mesin jahit jadul di depannya. Mesin merk Singer yang bisa dikata masih mulus itu terlihat lebih bersih dan mengkilat. Tulisan Singer jelas terbaca belum ada sedikitpun yang terkelupas. Keseluruhan body mesin benar-benar bersih dan tampak cantik. Ini menandakan, dulu, si empunya mesin merawatnya dengan sepenuh hati.

Usai dilap dan yakin tak ada debu yang menempel, Henny kembali melamun. Mesin ini harus tetap di tangannya meski dia sendiri ragu apakah kelak dia pakai atau hanya untuk pajangan. Saking mulusnya itu barang hingga ketika temannya main ke rumah, tertarik ingin memilikinya. Bahkan berani menawar dengan harga yang cukup fantastis untuk menambah koleksi barang antik di rumahnya.

Hatinya bimbang antara melepas mesin jahit tersebut ke temannya atau mesin tetap ada di rumah. Bukan harga yang mengganggu pikirannya, tapi dia tidak ingin mengingkari janjinya saat menerima mesin jahit itu. Sambil menghela nafas panjang ia pandang sekali lagi jendela kamar rumah sebelah yang beberapa bulan terakhir ini tutup.

*

Selama puluhan tahun sejak Henny remaja SMP, jendela kamar Henny dan jendela kamar rumah sebelah telah mengukir banyak kisah. Kisah-kisah yang mungkin hanya dia, keluarga dan sepasang manula yang tinggal di rumah sebelah yang tahu. Henny sudah hafal kapan jendela itu ditutup dan kapan dibuka.

Di pemukiman padat penduduk bagian utara kota metropolitan Jakarta, Henny tinggal bersama ibu, bapak dan abangnya. Kurang lebih setengah meter jarak antara tembok rumahnya dengan rumah tetangga. Letak kedua jendela kamar yang agak serong membuat masing-masing jendela masih bisa dibuka.

Di kamar Henny ada sebuah televisi yang sengaja diletakkan dengan posisi strategis agar pak Amad dan bu Suti_penghuni rumah sebelah_bisa numpang nonton dengan leluasa. Bila perlu kadang volumenya sedikit ditambah agar mereka jelas menangkap siarannya terutama acara berita.

Hampir setiap hari selama bertahun-tahun, Henny tak keberatan membuka lebar-lebar jendela kamarnya. Dia juga selalu memilih stasiun TV yang banyak beritanya. Semua ia lakukan dengan rela hati sesuai permintaan pak Amad pada suatu hari. Selain siaran berita, pak Amad sekalian juga gemar nonton komedi. Mereka tertawa berdua dan tampak bahagia. Bila ingin menikmati acara TV yang lain, Henny bisa bergabung dengan ibunya di ruang tengah.

Pak Amad dan bu Suti sudah di rumah sebelah sebelum Henny lahir. Dari cerita ibunya, sedikit banyak Henny tahu siapa pak Amad dan bu Suti. Pak Amad dengan postur tubuh tinggi,  berkulit putih dan bermata biru, sedangkan bu Suti berperawakan mungil sempat membuat Henny kecil penasaran.

“Pak Amad itu berasal dari mana, Bu? Mengapa kulitnya lebih terang dari kita dan kenapa matanya biru?” Suatu saat Henny bertanya pada ibunya.

“Pak Amad sendiri pernah cerita ke ayahmu bahwa dia itu punya darah Belanda,” jawab ibu sambil melanjutkan memasak di dapur yang juga bersebelahan dengan dapur pak Amad.

“Setelah Indonesia merdeka, orang-orang Belanda yang masih ada di negeri kita ini dipulangkan kembali ke negaranya. Sayang sekali saat itu pak Amad tak bisa pulang ke tanah airnya karena beberapa alasan. Di antaranya karena usia. Makanya beberapa adik pak Amad akhirnya kembali ke Belanda,” terang ibu yang membuat Henny manggut-manggut.

Rahmad Januar namanya, tapi orang sekampung lebih suka memanggil pak Amad. Pak Amad sendiri lebih memilih nama Indonesia karena dari awal memang ingin tetap menjadi warga Indonesia. Menikahi bu Suti yang perempuan Jawa membuat pasangan ini sering jadi sorotan. Mulai dari keromantisan mereka sehari-hari hingga kesetiaan bu Suti sebagai pendamping yang setiap hari selalu menyunggingkan senyum.

Sehari-harinya bu Suti menerima jahitan pakaian wanita spesialis kebaya dan pak Amad biasanya membantu pasang kancing. Namun karena zaman makin maju, busana jenis kebaya akhirnya bergeser ke model busana yang lebih simpel dan praktis. Ada gamis, abaya, tunik dan lain sebagainya. Pelan-pelan para pelanggan akhirnya beralih ke penjahit lain atau beli yang sudah jadi. Seiring bertambahnya usia, aktivitas menjahit pun terhenti. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, secara berkala para ponakan bu Suti datang bergantian. Baik yang tinggal di Semarang, Solo maupun yang ada di Jakarta.

Sebagai pasutri yang tak dikaruniai keturunan, kegiatan apa saja mereka kerjakan berdua hingga usia menjemput senja. Bila bu Suti menjahit, pak Amad menunggui di sampingnya sambil terkantuk-kantuk tak tega meninggalkan istri untuk tidur lebih dahulu. Demikian juga ketika waktunya memasak dan kurang salah satu bahan, pak Amad pergi membeli di warung dan sebagainya.

Hampir tiap hari pasutri senja ini numpang nonton televisi yang sengaja dihadapkan Henny ke arah jendela pak Amad. Seharian hingga malam TV selalu menyala. Bahkan ketika Henny berangkat kerja, dia tak sampai hati untuk mematikan TV bila dilihatnya masih ada sepasang manula yang tengah menikmati acara demi acara dari televisinya. Henny hanya akan mematikan TV dan menutup jendela kamar jika dilihatnya jendela sebelah tertutup.

*

Henny masih memandang jendela kamar rumah sebelah yang nyata-nyata tutup. Seolah ada yang ingin ia katakan selain ucapan terima kasih telah diberi hadiah mesin jahit singer antik yang masih bagus. Ada sedikit rasa galau menyelimuti batinnya sehubungan rencana bulan depan. Ya, Henny akan melangsungkan pernikahan dengan pria pilihan hatinya dari kota Bandung. Ibu bapak kini tiada, sedangkan abangnya sudah berkeluarga dan tinggal di Jogja.

Jendela itu masih tertutup rapat dan mungkin akan terus tertutup hingga waktu tertentu. Tiga bulan lalu pak Amad dan bu Suti diboyong keponakannya ke Semarang. Bu Suti yang sudah mulai sakit-sakitan membuat sepasang manula ini manut saja ketika dibawa setelah rumahnya dibeli ponakan lain yang di Jakarta. Di Semarang kehidupan hari-hari tua mereka diharapkan lebih terjamin dalam pengawasan kerabat yang menyayanginya.

Mesin jahit merk Singer kini berada di tangan Henny hadiah dari bu Suti. Selain sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan budi Henny, bu Suti sempat memohon agar mesin jahit tersebut dijadikan kenangan termanis darinya untuk Henny. Sembari mengangguk pasti Henny tak kuasa menahan air mata haru yang mengalir di pipi. Dipeluknya tubuh mungil renta bu Suti dengan penuh kasih ketika pamit ke Semarang.

Meskipun masih sebulan hari bahagia itu digelar, bagi Henny waktu terasa berputar amat cepat. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap merawat mesin jahit Singer itu entah kelak dipakai atau tidak. Dia yakin suatu hari nanti sang suami tak keberatan andai dia menggunakan mesin jahit tersebut atau hanya sebagai pajangan barang antik. Dia akan cerita pada suami tentang sosok manula romantis yang selalu berada di balik jendela.

 

Baca juga:

Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!