Mengemban tugas sebagai ibu, adalah seputar tentang bagaimana tanggung jawab terhadap anak-anak mereka. Semua ibu terus belajar menjalankan peran sebaik mungkin, meskipun beberapa diantaranya terus berjuang melepaskan hidupnya dari genggaman PTSD (post-traumatic stress disorder). Gangguan pasca trauma seorang ibu sangat beragam, seorang penyintas memiliki pengalaman traumatik yang unik agar tetap eksis. Salah satu kisah seorang ibu penyintas PTSD seperti berikut ini.
Dahulu ibu adalah anak perempuan dalam keluarga, walaupun tak semua anak perempuan beruntung dalam sebuah keluarga yang harmonis. Sebagian masyarakat belum memahami, bahwa anak perempuan sangat rentan mengalami PTSD seperti pada anak laki-laki. PTSD adalah gangguan kronik pada mental yang terjadi setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual, kecelakaan, bullying, dan bencana alam.
Trauma masa kecil akibat peristiwa di masa kecil dapat terus terbawa hingga anak perempuan dewasa, bahkan hingga tua. Melansir clsd.psikolgi.ugm.ac.id, trauma masa kecil yang tidak teratasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan PTSD. Menurut Kim et al (2017), kondisi yang memicu stres dan menyebabkan PTSD, karena adanya situasi tegang dan khawatir berlebihan. Salah satu dari sekian banyak pengalaman yang sangat traumatis adalah perceraian atau bullying.
Ketegangan atau kewaspadaan ini bisa saja akibat dari situasi perpisahan orang tua, perundungan fisik terus menerus di sekolah atau tempat kerja. Kondisi ini tentu membuatnya seperti sedang berada di medan perang, sehingga secara otomatis otak dan tubuh terus berada pada “survival mode.” Anak-anak perempuan yang mengalami bullying saat mereka kecil, hingga menjelang dewasa faktanya lebih rentan terhadap gangguan stress pasca trauma yang sangat tinggi. Pengalaman traumatis di masa kecil si ibu akan berdampak negatif. Pengabaian pada situasi ini akan berakhir pada PTSD yang berdampak buruk pada otak sebagai pusat kendali tubuh.
Gejala PTSD dapat berupa kilas balik, mimpi buruk yang berulang, sulit tidur, mudah gelisah, selalu bertindak waspada, dan reaksi yang intens terhadap situasi memicu kenangan traumatis. Faktanya tidak semua korban bullying akan mengalami PTSD, namun beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah seberapa sering, dan seberapa intens mereka mengalami bullying tersebut. Seberapa cepat mereka menerima dukungan atau bantuan setelah mengalami bullying. Melansir dari merdeka.com, ketegangan dan PTSD memberikan efek yang sangat mengerikan pada otak. PTSD bahkan mampu mengubah volume otak sekaligus menyebabkan peradangan serta kerusakan jaringan otak yang cukup serius.
PTSD menimbulkan banyak kesulitan dalam keseharian seseorang, terutama bagi seorang ibu. Oleh karena itu, ibu dengan gangguan stress pasca trauma akibat dari pengalaman traumatis masa lalu, hidup dalam ketakutan yang konstan. Selalu mengalami mimpi buruk, serangan panik, dan kilas balik pengalaman traumatisnya. Akibatnya tentu saja ibu sering kali merasa tidak nyaman bila berada pada situasi atau tempat yang menyerupai peristiwa traumatis.
Ibu akan menghindari topik atau aktivitas tertentu yang terkait dengan peristiwa tersebut. Pada momen tertentu, ibu mudah merasa tegang akibat peningkatan arousal, mudah marah, dan kesulitan dalam memusatkan perhatian. Mengatasi PTSD dalam kehidupan sehari-hari bagi ibu penyintas PTSD bukanlah suatu proses yang sebentar dan mudah, ibu harus mampu mengendalikan suasana hati, ketakutan dan cemas berlebihan yang datang tiba-tiba, hingga mengendalikan kegugupan. Gangguan fisik, seperti sakit kepala, nyeri perut dan sakit pada otot, juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik lainnya. Antara lain seperti kematian sel-sel otak, penyusutan pada otak, dan penurunan fungsi neurotransmiter.
Ketegangan yang berkepanjangan berdampak pada kemampuan otak untuk dapat berubah seiring bertambahnya usia, menurunnya daya ingat, dan kemampuan belajar, disertai melemahnya daya penglihatan. Kesulitan berinteraksi dalam hubungan sosial, pertemanan dan kualitas hidup penyintas yang terus menurun seiring waktu. Ibu penyintas PTSD sering kali merasa gagal, tidak berharga, putus asa menjadi perempuan, dan kehilangan minat pada aktifitas yang ia sukai. Si ibu pun sulit merasa bahagia, dan sering tidak puas atas apa yang sudah berhasil ia capai. Sebagai penyintas PTSD, tantangan hidup bukan hanya tentang bagaimana merawat dan mengurus keluarganya saja, namun mengendalikan dirinya sendiri.
Ibu penyintas PTSD di mana pun berada, sangat dianjurkan untuk mencari bantuan dan dukungan agar dapat hidup lebih sehat dalam jangka panjang. Ibu dapat mencari dan meminta bantuan dari orang terdekat mereka, atau berkonsultasi pada seorang profesional yaitu psikiater atau psikolog. Meski pada hari ini stigma seputar kesehatan mental masih menjadi hambatan utama bagi banyak penyintas gangguan mental agar segera mendapatkan pertolongan. Sama seperti penyakit fisik lainnya, pada gangguan mental juga membutuhkan pertolongan, baik berupa medis dan dukungan psikologis.
Salah satu pengobatan selain dengan mengkonsumsi antidepresan, adalah terapi kognitif, dan terapi berkelompok, sehingga penyintas PTSD dapat saling terhubung dan tidak merasa berjuang sendirian. Mengenalkan istilah “mindfulness” agar ibu dapat menjalani hidup lebih damai dan mengurangi tekanan stress, sehingga ibu penyintas PTSD, tetap dapat merawat anak-anaknya untuk bertumbuh secara sehat baik fisik dan psikologis, menyertai kecerdasan mental dan spiritual yang baik. Kita semua berharap masa yang akan datang, ibu dengan PTSD tetap dapat memiliki kualitas hidup yang sama dan mampu menjalankan tugasnya seperti ibu yang penuh cinta dan sehat selamanya.
Baca juga:
- Sekelompok Pemuda di Persimpangan Jalan
- Perempuan itu bernama Ibu
- Perempuan Alpha Perempuan yang Tak Butuh Pria Mitos Belaka
Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!
Tinggalkan Balasan