Sinar matahari memamah embun. Dingin perlahan menguap. Kehangatan pun lambat-lambat menjalar. Geliat kehidupan dimulai kembali.
Sedari tadi ramai berseliweran orang-orang menunaikan tugasnya. Tapi, pemuda itu tetap diam. Duduk di lantai berselonjor kaki. Secangkir teh hangat dan sepiring nasi goreng pucat disampingnya masih terlihat utuh. Belum juga terbit seleranya untuk mencicipi keduanya. Bukan karena tak lapar. Namun, tersebab perih pada luka sobek di bibirnya yang membuat dia kesulitan mengunyah. Ditambah lagi memar di sekujur tubuh yang semakin membuatnya susah bergerak.
Biasanya jam segitu dia sudah berkeliaran menjemput rezeki. Berjalan kaki dengan riang menyusuri perkampungan. Menyapa anak-anak lalu menghibur mereka dengan aneka lagu gembira yang disetel dari pemutar lagu yang dia simpan di kantung baju badut lucu yang dia kenakan.
Asyik pemuda itu berputar, melompat, menari, berfoto-foto dengan anak-anak kampung. Sebelum dia berlalu untuk menyusuri tempat yang lain, tak lupa dia selalu memeluk anak-anak itu seraya menghaturkan terima kasih atas beberapa uang receh yang mereka beri sebagai imbalan untuknya.
Sudah dua tahun kostum badut itu menemaninya mengais rezeki. Bukan tak ingin mencari pekerjaan lain dengan pendapatan yang lebih baik. Tapi, luka bakar parah yang membuat wajahnya terlihat menyeramkan yang membuat lamaran kerjanya selalu ditolak di beberapa tempat. Lima tahun lalu saat dia baru lulus SMP, wajahnya tersiram air panas. Dia jatuh terpeleset di dapur yang licin dan sepanci penuh air panas yang ada di atas kompor tumpah menghantam wajah dan badan bagian atas.
Karena tak ada cukup biaya, ditambah rasa malu dengan kondisi wajahnya selepas kecelakaan itu, dia tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat atas. Sesekali dia menemani ayahnya menjadi buruh tani. Karena tenaganya belum begitu kuat untuk bekerja mencangkul mengikuti jam kerja orang dewasa, dia hanya mendapat upah ala kadarnya saja.
Tapi, sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu karena sesak napas, dia bingung mau kerja apa. Hingga suatu hari ada tetangga baik hati yang menawarinya kerja menjadi badut jalanan. Meski penghasilannya tak seberapa, tapi dia merasa sangat bersyukur. Bisa membeli makan dan kebutuhan hariannya sendiri tanpa bergantung pada ibu dan dua kakak perempuannya yang kehidupannya juga pas-pasan.
Namun, sudah seminggu ini dia tak bisa keluar rumah. Sekujur badannya terluka akibat ulah orang-orang sotoy yang seenaknya menghajar dia tanpa sedetik pun memberinya kesempatan untuk membela diri.
Masih terngiang jelas di telinganya teriakan beberapa warga hari itu.
“Penculik anak! Penculik anak! Hajar! Jangan sampai lolos!”
Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba saja kepalanya seperti dipukul godam bertubi-tubi. Hingga terlepas topeng badut yang dia kenakan dan menampakkan wajah aslinya. Saat itulah pukulan lebih rapat dia rasakan menghantam sekujur tubuhnya.
Lalu semuanya menjadi gelap. Saat terbangun dia sudah ada di atas dipan reot di rumahnya yang sederhana. Didapatinya sang ibu berlinang air mata seraya telaten mengobati luka-lukanya.
“Alhamdulillah, Nak. Gusti Allah masih sayang sama kamu. Kalau tidak ada polisi patroli yang lewat dan menolongmu, entah bagaimana nasibmu, Nak.” Bergetar suara ibunya menjelaskan.
Sakit memang luka-luka itu dia rasakan. Tapi, lebih perih lagi luka di hatinya mengingat perlakuan keji yang dia terima. Tanya itu terus menguntai di benaknya tanpa mampu bersua jawaban yang masuk akal.
“Tak bisakah mulut dulu yang bergerak untuk sekadar bertanya sebelum kepalan tangan dan tendangan kaki melaju menuntaskan prasangka kalian, hei manusia-manusia sok tahu?” Gumam pemuda itu terus berulang-ulang dalam hatinya.
Tak henti pemuda itu meratapi keadaan. Hanya karena ulah segelintir orang yang memanfaatkan kostum badut untuk melakukan kejahatan, kenapa dia yang tidak tahu apa-apa dan bersungguh-sungguh tulus mengenakan kostum itu untuk mengais rezeki, jadi ikut kena imbasnya?
Tak sadarkah mereka kerugian apa yang harus dia tanggung karena tidak bisa bekerja? Itu sama artinya dia menoreh luka di hati ibunya. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan selama dia sakit tak berdaya sekarang ini, ibunya yang sudah sepuh dan menderita radang sendi itu harus kembali mengetuk pintu tetangga dan mengharapkan belas kasihan mereka untuk memberinya pekerjaan sekadar mencuci pakaian, menyetrika, atau beres-beres rumah.
Duh, Ibu, maafkan anakmu ini yang sesaat lalu lemah dan rapuh karena cobaan ini. Aku laki-laki. Akulah yang seharusnya menggantikan ayah menjaga dan melindungimu, Ibu. Aku berjanji akan segera sembuh dan menguatkan diri mengais rezeki lagi. Demi melihat senyum bahagia di wajahmu terbit lagi, Ibu. Selamanya.
Sukabumi, 27 Februari 2023
BIODATA PENGARANG
Pengarang bernama lengkap Nopiranti. Lahir di Sukabumi Jawa Barat pada 8 November 1980. Ibu tiga anak yang mengajar bahasa inggris di SMP Islam Daarul Falah ini bisa dihubungi di nomer WA 083815615959, Fb Nopi Ranti, atau email: [email protected].
Baca juga:
Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!
2 Comments