Pentingnya Mansplaining di Tempat Kerja
Dulu, saya termasuk anak yang sulit berbicara di muka umum, hingga guru dan teman-teman SMP menyebutku penggagap. Paling sial ketika saya harus menjawab pertanyaan yang harus direspon secara lisan alias wicara, rasanya saat itu saya mending diberi seribu pertanyaan dengan jawaban tulisan ketimbang satu pertanyaan dengan jawaban lisan. Sampai satu saat, salah satu guru memberikan nasehat, saya diminta tenang terlebih dahulu lalu menganggap orang-orang disekitarku seperti patung yang tidak mengerti apa-apa kecuali saya.
Awalnya terkesan sombong, tapi hanya dengan cara seperti itu lama-kelamaan saya hampir mampu menjawab lisan setiap pertanyaan yang diajukan oleh setiap penanya. Jabatan Ketua OSIS pun sempat kurengkuh, meski awalnya saya menilai sebagai pem-bully-an teman-teman bagiku. Dengan penuh kesabaran saya mengulang-ulang cara-cara diatas, dan akhirnya kesulitan berbicara dapat saya atasi, bahkan di acara kelulusan SMP saya diminta mewakili teman-teman seangkatan untuk sambutan perpisahan mendampingi Kepala Sekolah.
Mungkin teman-teman pernah mengalami hal serupa, yakinlah bahwa “kekonyolan” yang pernah kulakukan saat itu dapat membantu move on dari keterpurukan berbicara di depan orang banyak. Tentu, menguasai kontek lebih penting, meski ternyata konten juga dibutuhkan. Bagaimana selanjutnya, hal ini terpulang kepada pribadi masing-masing jika menginginkan kemajuan wicara secara wajar.
***
Teori menyebutkan, seorang laki-laki sedang menyampaikan penjelasan kepada orang lain (biasanya bukan laki-laki) dengan cara persisten alias merendahkan tanpa dikehendaki oleh lawan bicara disebut mansplanning. Penjelasan pembicara cenderung mempertanyakan wawasan pendengar, atau mengasumsikan pendengar kurang berwawasan terhadap suatu persoalan, terlepas dari kebenaran penjelasannya. Dan, mansplanning dalam dunia kerja telah banyak dibicarakan media sosial terutama twitter.
Suatu waktu budaya saling mempengaruhi populer di masyarakat hingga merebak memenuhi ruang publik. Masyarakat internet menggunakan tagar mansplanning di berbagai ruang media sosial. Hegemoninya sangat terasa, karena hanya dalam waktu enam bulan dari Nopember 2016 sampai April 2017, terminologi tersebut muncul sepuluh ribu cuitan unik di jejaring mikroblog daring berbasis teks dengan seratus empat puluh hingga dua ratus delapan puluh karakter.
Mansplanning mulai dikenal sejak terbit esai berjudul “Men Explain Things to Me” tahun 2008. Rebecca Solnit, sang esais ingin menceritakan interaksinya dengan seorang lelaki yang menyampaikan kesimpulan atas pentingnya sebuah buku. Lelaki tersebut menilai Solnit sebagai penulis buku tidak memiliki pengetahuan memadai tentang bukunya, meski Solnit telah menjelaskan berulang kali. Namun, Pria tersebut tetap memaksakan penjelasannya, dan sejak saat itu muncullah terminologi mansplanning.
Dalam perkembangannya, mansplanning bukan hanya menimpa kaum adam ke hawa saja, melainkan lelaki ke lelaki, bahkan wanita ke lelaki. Fenomena tersebut terjadi ketika netijen mencuit ahli astrofisika tentang perubahan iklim untuk “belajar sains lebih serius.” Diskursus pengalaman profesional seseorang yang marak di medsos, kesimpulannya mempertanyakan apakah perilaku ini juga dapat terjadi di kehidupan nyata masyarakat, dan jika iya, seperti apa efeknya.
***
Kembali ke topik awal, bahwa sesungguhnya mansplanning dapat bermakna positif bergantung pemanfaatannya. Paragraf awal menyuratkan bagaimana seseorang agar cepat beradaptasi dengan audien, maka orang tersebut harus mampu menjelaskan segala sesuatu kepada teman-teman tanpa mengalami kegugupan. Perilaku ini ditandai dengan kepercayaan diri tinggi, menganggap tidak ada audien, interjeksi, serta anggapan bahwa lawan bicara tidak memiliki pengetahuan tentang materi yang akan disampaikan.
Meski demikian, praktik mansplanning perlu dilakukan secara beradab agar tidak mengarah perundungan di tempat kerja, seperti kecaman, diskriminasi, dll dll. Kebanyakan perundungan di tempat kerja berawal dari menurunnya kesopanan yang mengakibatkan permusuhan dan kekerasan. Perundungan terselubung, seperti meremehkan, merendahkan, mempermalukan, dan semakin mengkhawatirkan jika intensi penyampaiannya ambigu.
Organisasi sebaiknya tidak selalu melihat mansplanning sebagai produk adab buruk di media sosial, meskipun “trending” medsos hanya sepintas lalu. Sebaliknya, perilaku ini semestinya dipahami sebagai permasalahan terkait perilaku buruk selektif meski menyasar individu berdasarkan identitasnya tapi tetap membuat mereka merasa nyaman. Sekalipun mansplanning diidentifikasi sebagai bentuk adab buruk, hal ini dapat disikapi secara beradab. Intervensi mansplanning secara efektif terhadap hal-hal buruk dapat menggeser peran negatif.
Berbagai pelatihan kesopanan, penghormatan, dan pelibatan di lingkungan pekerjaan oleh Pemerintah Amerika Serikat bisa menjadi contoh positif mansplanning. Sistem rumah sakit di Kanada juga menerapkan intervensi ini menunjukkan adanya peningkatan dalam perilaku menghormati, kepuasan kerja dan kepercayaan terhadap manajemen, dampaknya tingkat burnout dan kepasifan karyawan mengalami penurunan. Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Kanada tersebut diharapkan pada gilirannya turut mendorong perilaku sopan di lingkungan kerja.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
Baca Juga :
- Seollal: Perayaan Imlek yang Berbeda Tradisi di Korea Selatan
- Sensasi Chikbul Yang Mengerikan
- Dua Mata Pisau: Satu Buku Satu Judul Sejuta Petualangan dan Wawasan Kehidupan
- Seollal: Perayaan Imlek yang Berbeda Tradisi di Korea Selatan
Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi lainnya.
2 Comments