Hari ini sebagai guru saya mendapat tugas mengawas ujian kelas XII di sekolah tempat mengajar. Namun bukannya rasa bangga menyaksikan para siswa mengikuti kegiatan ujian hari ini, justru rasa miris yang muncul dalam diri ini. Bagaimana tidak miris, mana kala menyaksikan sebagian siswa tidak menyentuh sama sekali lembar soal yang dibagikan. Mereka justru menggunakannya untuk bantal tidur.
Ketika hal itu saya tanyakan teman guru di ruang lain, ternyata jawabannya sama. Meski tidak semuanya, Sebagian siswa pun melakukan hal yang sama. Mereka meletakkan kepala mereka di meja, beralaskan lembaran soal ujian. Sementara pandangan mata mereka tampak kosong. Sesekali tertawa saat salah seorang teman menegurnya.
Perasaan miris ini bukan tanpa alasan. Sebagai guru, saya mempunyai kewajiban moral untuk membimbing mereka. Bila mungkin, membawa mereka menemukan masa depannya lewat bimbingan selama mereka dalam lingkungan belajar. Pasti akan ada rasa bangga saat suatu ketika bertemu mereka dalam posisi atau pekerjaan yang dapat mereka banggakan. Saya rasakan apa yang telah saya dan teman guru lain kerjakan tidak sia-sia.
Namun ketika menyaksikan pemandangan seperti di atas, rasa pesimis pun bertahta di dalam hati. Akankah mereka mampu bertarung di kerasnya kehidupan jika mereka hanya bengong di depan kertas ujian. Sementara di luar sana persaingan dunia kerja begitu ketat. Siapa tidak siap, pasti terguling. Dengan hanya bermodalkan bengong, dapat dipastikan mereka pasti tergilas.
Pemandangan tidak kalah trenyuh saat saya sempat menatap mata mereka. Di sana tidak tampak sama sekali sinar optimis. Pandangan mereka kosong, layu, seakan tidak ada bayangan apa pun akan masa depan mereka. Mereka seakan tidak tahu, selepas SMA ini jalan mana yang akan mereka tapaki. Kalau pun harus kuliah, mereka mau kuliah ke mana, jurusan apa, dan setelah itu mau kerja di mana. Semua kosong.
Kenyataan inilah yang saat ini ada di negara kita, bahkan di dunia. Kita boleh saja menyalahkan pandemi Corona yang menghantam dunia selama 2 tahun. Hantaman wabah tersebut membuat seluruh sektor kehidupan hancur berantakan, termasuk pula sektor pendidikan. Pembelajaran daring dengan mengandalkan internet pada akhirnya menghancurkan tradisi belajar yang selama ini telah tertata rapi. Orang tua yang diharapkan menjadi pendamping anak saat belajar di rumah, tidak mampu memainkan perannya. Akhirnya saat mereka harus kembali ke bangku sekolah, kenyataan itulah yang terjadi.
Ujian Sekolah Bukan Penentu Kelulusan
Saat fenomena ini saya diskusikan dengan teman guru lain, jawaban mereka justru lebih menohok. Mereka mengatakan untuk apa siswa-siswa harus berpayah-payah ujian, jika nilai itu tidak menentukan kelulusan mereka. Berdasarkan beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, penentuan kelulusan sepenuhnya di tangan sekolah. Alasan sekolah sebagai pihak yang paling tahu akan siswanya yang diajukan.
Pemberian wewenang ini sih sah-sah saja. Pertanyaannya berani tidak sebuah sekolah menyatakan siswa tertentu tidak lulus? Hal ini barangkali sudah diketahui siswa-siswa, sehingga mereka menganggap remeh berbagai bentuk ujian yang dilakukan sekolah. Dalam benak mereka, pasti lulus. Itu saja.
Lain halnya dengan beberapa waktu lalu. Saat Ujian Nasional masih diberlakukan di semua sekolah di Indonesia. Pelaksanaan ujian selalu mendatangkan perasaan lain pada siswa-siswa. Mereka menyimpan rasa khawatir tidak lulus gegara Ujian Nasional tersebut. Akibatnya mereka pun berusaha dengan berbagai cara untuk mampu melampauinya, termasuk melakukan persiapan yang matang dan mengerjakan soal-soal yang ada dengan sungguh-sungguh.
Mendengat apa yang teman katakan, saya pun manggut-manggut mengiyakan. Diakui atau tidak, Ujian Nasional mampu memaksa siswa untuk serius dalam menghadapi ujian. Sebab dalam kegiatan tersebut, potensi tidak lulus ada pada diri mereka. Maka tidak heran pada saat itu berbagai Bimbingan Tes laris manis, bahkan termasuk bisnis bocoran soal-soal Ujian Nasional.
Maka benar juga buat apa mereka berpayah-payah. Sebab dengan seadanya pun mereka akan lulus. Masalah yang akan mereka hadapi setelah lulus, itu urusan nanti.
Lembah Tidar, 28 Maret 2023
Yuk, ikuti linimasa Instagram captwapri untuk informasi menarik lainnya!
Baca juga:
Tinggalkan Balasan