Berbuka Tanpa Ayah

Sepulang salat tarawih perdana di masjid, Sakti langsung tidur. Seharian dia sengaja bermain dengan teman-temannya karena sekolah libur dua hari menjelang Ramadan. Menu kesukaannya untuk sahur sudah aku siapkan. Sayap ayam goreng dan lalapan. Itu pun aku beli di sebelah rumah yang jualan setiap sore sampai malam hari.

Saat hendak menyusul Sakti untuk sekadar merebahkan badan, tiba-tiba gawaiku yang jadul berdering. Tertera di layar, Mas Dul.

“Dik, mungkin Mas pulang agak terlambat tidak sesuai rencana. Ada tambahan pekerjaan dari bos yang Mas ambil. Semoga bisa untuk nambah-nambah buat belanja lebaran nanti,” pelan dan terdengar penuh hati-hati Mas Dul mengatakan itu lewat telepon dari Jakarta.

“Kau dan Sakti baik-baik saja ‘kan?”

“Alhamdulillah, baik, Mas,” jawabku dengan suara sedikit bergetar karena berbagai rasa yang berkecamuk dalam dadaku.

Kantukku seketika lenyap usai mendengar suara Mas Dul. Sejujurnya, tak mendengar dua hari saja aku sudah kelimpungan. Dulu, nada suaranya yang bariton itu sempat mencuri hatiku dan membuat hari-hariku dirundung rindu. Ah, tak sadar bibirku tersenyum kecut mengingat masa itu.

Malam makin larut dan sunyi tak seperti biasanya. Mungkin orang-orang sengaja tidur lebih awal berharap sahur pertama di Ramadan kali ini tak terlambat, tidak seperti aku. Mata ini sulit untuk terpejam meski sudah beberapa kali menguap. Aku harus mengabarkan pada Sakti agar dia tak terlalu berharap atas kepulangan ayahnya yang rencana semula di awal minggu ini.

Gawai jadul itu masih teronggok di meja serbaguna. Sengaja tidak aku pindah posisinya agar bila berdering terdengar dari berbagai sudut rumahku yang luasnya tak seberapa. Aku sebut serbaguna karena itu satu-satunya meja yang multi fungsi. Selain untuk makan, belajar dan menyetrika baju juga kadang untuk sekadar diskusi kecil dengan putraku semata wayang, Sakti Wicaksono.

Sebenarnya saat Mas Dul meneleponku, aku ingin bicara panjang lebar. Selain karena rindu juga ingin bercerita banyak hal. Namun kenyataannya bibirku kelu. Aku tak ingin dia di sana merasa sedih lantaran cerita-ceritaku. Aku tak tega.

“Hampir separuh dari jumlah karyawan Haji Syukur dirumahkan, Dik,” kata Mas Dul suatu sore sepulang kerja. Ada guratan duka di wajahnya yang sempat aku tangkap.

“Dampak pandemi memang luar biasa. Padahal sudah tiga tahun lalu. Pak Haji Syukur meminta Mas untuk prei dulu karena eksport furniture kini masih tersendat,” papar Mas Dul setengah kecewa atas keputusan bosnya.

“Tapi kalau suatu hari Mas dibutuhkan lagi, Pak Haji akan menghubungi.” Dia katakan itu sebelum kemudian mengadu nasib ke Jakarta.

Sejak Mas Dul merantau sebagai perajin ukir kayu, aku harus memeras otak untuk lebih cerdas mengelola penghasilan yang ada. Itu karena beaya hidup di Jakarta tidaklah murah dan pendapatan Mas Dul tentu terpotong untuk makan dan kebutuhan lainnya sebelum dikirim ke rumah.

Kupandang kembali wajah putraku saat tidur. Rasa iba sekaligus syukur selalu menyelimuti dadaku. Bocah seusia dia sudah aku ajari untuk berhemat dan membeli sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan saja. Dia tidak pernah protes maupun membantah. Meski baru duduk di kelas lima SD, daya pikirnya kadang lebih dewasa melebihi teman sebayanya.

Tidur Sakti tampak lelap sekali. Dengkuran tipis terdengar dengan helaan nafas teratur meyakinkanku bahwa dia benar-benar nyenyak. Syukurlah. Aku belai rambutnya pelan, kucium kepalanya dan ternyata air mata ini tak mampu aku cegah untuk tak menetes. Terenyuh.

“Buk, lebaran nanti aku mau baju koko putih dan biru muda, ya,” pinta dia tiga hari lalu. “Baju putih kupakai pas hari raya dan yang biru muda buat besoknya bersama teman-teman salim ke rumah bapak dan ibu guru.”

“Baju saja, Buk. Bawahnya pakai celana hitamku lebaran yang lalu. Masih muat kok!” Lanjut dia dengan sorot mata berbinar sembari tersenyum manis.

Apa pun yang terjadi, aku selalu berusaha tersenyum di depannya. Tak pernah sampai hati menolak permintaannya yang bagi sebagian orang adalah hal biasa. Tidak meminta pun aku sudah punya rencana untuk membelikan baju koko yang dimaksud bahkan celananya juga.

Sedikit upah kerjaku di konveksi bu Rohmah dan upah terima jasa jahitan di rumah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Memang tak seberapa karena akhir-akhir ini usaha bu Rohmah tak seramai dulu. Konveksi tempat aku mengambil jahitan itu, kini terdesak oleh banyaknya pakaian bekas dari luar negeri yang dijual jauh lebih murah. Banyak pedagang yang berputar haluan mengambil dagangan dari para cukong pengimpor pakaian bekas tersebut.

Tidak hanya industri pakaian jadi milik bu Rohmah yang kena dampaknya, demikian juga usahaku menerima jahitan di rumah. Pelangganku sekarang lebih memilih beli pakaian jadi secara online. Kata mereka lebih murah, cepat dan praktis. Tinggal pencet-pencet hp, tunggu, langsung ada, siap pakai.

Aku menyadari sepenuhnya dan harus sabar menghadapi semua ini. Mungkin dari segi keuangan aku bisa disebut kurang, tapi aku selalu ingat kata Mas Dul bahwa Allah Maha Kaya. Kita harus rajin berusaha dan jangan bermalas-malasan dalam menjemput rejeki. Oleh karena itu tak ada yang perlu dikuatirkan. Dorongan semangat dari dia selalu mampu menghiburku di saat-saat hatiku gundah. Ah, Mas Dul. Aku jadi rindu.

Waktu sudah lewat tengah malam, sedangkan mata ini tak mampu aku pejamkan juga. Kucoba berbaring di samping Sakti dan tetap tak bisa terlelap. Masih aku pandangi wajah putraku yang berkulit coklat manis dan punya sederet gigi putih nan rapi. Senyumnya manis semanis senyum ayahnya. Aku tak ingin senyum itu memudar hanya karena dia tahu bahwa aku akan membeli baju koko setelah menjual cincin kawin lebih dahulu.

Agar tak tertidur dan terlewat waktu sahur, aku beranjak menyiapkan makan sahur untuk kami berdua. Kadang aku sendiri tak terlalu memikirkan apa yang akan aku makan, tapi untuk Sakti aku usahakan mati-matian. Meski menu sederhana, nilai gizinya harus senantiasa ada. Tak harus mahal dan aku dituntut untuk pandai menyiasatinya. Syukurlah Sakti anak manis yang tak pernah neko-neko.

Usai sahur dengan menu kesukaan, Sakti menuju masjid tanpa aku minta ataupun aku suruh. Sudah aku ceritakan tentang ayahnya yang terpaksa pulang terlambat dan dia mengerti. Tak ada sepatah kata yang ia ucapkan, tapi aku melihat dengan jelas ada telaga yang menggenang di matanya nan bening. Itu artinya berbuka tanpa ayah masih akan ia lalui untuk beberapa hari ke depan.

Yuk, ikuti linimasa Instagram captwapri untuk informasi menarik lainnya!

Baca juga: