Apa yang terbersit di benak kamu kala mendengar kata “difabel”? Kebanyakan kita mendeskripsikan difabel dengan anak yang cacat. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Bagaimana dengan masa depan mereka dengan hambatan yang menempel (bisa jadi) seumur hidup?
Ketunaan atau hambatan anak bisa berupa satu hambatan atau lebih. Diantaranya hambatan fisik (disabilitas daksa), hambatan intelektual (disabilitas grahita), hambatan perilaku (disabilitas laras), hambatan sensori (disabilitas netra dan rungu) dan hambatan sensori otak (autis/ ADHD).
Sebagai orang tua yang mempunyai anak dengan hambatan seperti di atas, pastinya diuji tingkat kesabaran dan ketabahannya. Dalam beberapa aktivitas di dalam rumah, bisa jadi si anak belum bisa mandiri melakukan pekerjaan pribadinya seperti buang air besar. Tentunya pendampingan dari kedua orang tua sangat dibutuhkan. Namun hal ini bisa dilatih agar kelak sang anak bisa melakukannya secara mandiri.
Ketika sang anak istimewa ini bukan anak satu-satunya di rumah, perlu peran orang tua memberikan pemahaman kepada anak yang lain. Bahwa sang adik/ kakak ini lebih membutuhkan bantuan ayah atau ibu dibanding mereka. Dan libatkan pula adik/ kakak untuk ikut aktif membantu saudaranya yang “berbeda” ini. Jadi dengan memberikan pemahaman seperti ini tidak timbul rasa iri hati di antara anak-anak yang lain.
Kedekatan emosi ayah-bunda dengan anak istimewa sangat dibutuhkan. Apabila di rumah tersebut hanya ada satu anak, itu sepertinya mudah. Yang sulit, saat dalam satu rumah ada saudara yang lain. Tanpa membeda-bedakan dengan anak yang lain ayah dan bunda harus bisa membagi kasih sayangnya dengan proporsional.
Hal utama bagi anak istimewa ini adalah secepatnya orang tua mengetahui apa hambatan diri yang muncul dari pribadi anak? Lebih cepat ayah-bunda mengetahui semakin baik karena penanganan terapi dan pelayanan khusus akan tepat sasaran. Misalnya hasil asesmen dokter anak mengarah kepada hambatan fisik motorik, maka secepatnya anak dibawa ke klinik rehabilitasi medik.
Selanjutnya, dengan penanganan yang tepat dan berkelanjutan diharapkan tingkat hambatan si anak berangsur berkurang. Akan sangat bersyukur apabila tingkat ketunaannya ringan atau sedang. Karena harapan untuk bisa hidup dengan normal sang anak bisa diwujudkan. Di sinilah peran kesabaran dan lapang dada orang tua diuji.
Berbeda pula dengan penanganan anak dengan ketunaan netra atau ketunaan pendengaran. Mengetahui dirinya mempunyai kekurangan penglihatan atau pendengaran, si kecil menjadi pribadi yang pemalu, pendiam dan tertutup. Suatu pekerjaan besar orang tua untuk memulihkan rasa percaya diri sang anak istimewa ini baik saat sendiri atau saat berinteraksi dengan orang lain.
Pada umumnya anak dengan hambatan penglihatan atau pendengaran memiliki tingkat kecerdasan rata-rata sampai di atas rata. Artinya, dengan kecerdasan seperti anak normal akan mudah ayah-bunda memberi materi terapi/ pelayanan khusus. Berbeda dengan anak gangguan intelektual, ayah dan bunda harus ekstra sabar memberikan satu pemahaman agar dapat dimengerti sang anak.
Berbeda hambatan si anak, berbeda pula cara penanganan orang tua. Perhatian ini harus kepada hal utama atau prioritas terapi yang dibutuhkan. Bagi anak difabel autis (hambatan pemusatan perhatian) akan difokuskan pada terapi audio-visual. Materi terapi harus sesuai rekomendasi medis, apa yang terapis lakukan di klinik terapi bisa dilakukan ayah-bunda di rumah.
Dengan peran aktif sang ayah atau bunda dalam memberikan penanganan khusus diharapkan saat usia sekolah, sang buah hati tidak stress dengan kondisi lingkungan sekolah yang berbeda dengan kondisi di rumah. Misalnya si anak tuna netra saat di rumah dengan bebas mengobrol dengan ayah-bunda, berbeda saat di sekolah, dia akan menjadi pemalu dan pendiam. Contoh penanganan khusus yang dimaksud bisa berupa mengajak sang anak bermain bersama anak tetangga, tentu dengan pengawasan kedua orang tua.
Begitu anak difabel memasuki usia sekolah, ayah-bunda bisa memilihkan sekolah yang tepat untuknya. Apabila anak memiliki tingkat hambatan ringan atau sedang dan si anak memiliki rasa percaya diri, boleh orang tua memasukkan ke sekolah inklusi. Sekolah pada umumnya seperti anak normal, di didik oleh guru umum. Bedanya anak istimewa ayah-bunda nantinya dibawah pengawasan guru pendamping khusus.
Sedangkan apabila anak difabel ini memiliki tingkat hambatan tinggi, direkomendasikan untuk masuk sekolah luar biasa sesuai dengan ketunaannya masing-masing. Misalnya anak ayah-bunda memiliki ketunaan hambatan penglihatan, masuk di SLB bagian A (tuna netra). Tentunya akan ada keahlian menulis dan membaca dengan huruf timbul (Braille) yang diajarkan guru kepada anak. Peran aktif orang tua di rumah sangat diperlukan agar di rumah anak bisa melakukan hal yang sama dengan di sekolah.
Apakah orang tua harus menguasai ilmu terapi/ penanganan seperti guru di sekolah? Jawabannya ya! Idealnya, orang tua menguasai hal yang sama apa saja yang harus diberikan kepada anaknya seperti guru di sekolah. Ini merupakan tantangan terbesar pada orang tua. Tentunya dibutuhkan komunikasi dan kerjasama yang baik antara ayah-bunda dan pihak guru di sekolah. Agar apa yang diajarkan di sekolah bisa dilakukan di rumah sebagai kebiasaan.
Harapan terbesar pendidik dan semua orang tua pastinya agar anak difabel kelak bisa hidup mandiri dengan mempunyai ketrampilan atau keahlian tertentu. Sehingga saatnya nanti bisa terjun di masyarakat dengan rasa percaya diri.
—000—
Tinggalkan Balasan