Bulan Mei identik dengan bulan pendidikan, karena pada bulan itu diperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah peringatan yang didasarkan pada sepak terjang Ki Hajar Dewantara dalam meniti jalan perjuangannya. Maka tidak salah juga jika dikatakan Bulan Mei juga identik dengan sosok Ki Hajar Dewantara.
Ada sebagian orang yang membandingkan sosok Ki Hajar Dewantara dengan Bung Karno dalam jalan perjuangannya. Mereka mengatakan jasa Ki Hajar Dewantara kalah jauh jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Bung Karno, sang proklamator yang hebat dalam setiap pidatonya.
Membandingkan keduanya jelas tidak pada tempatnya. Sebab keduanya berjuang di jalur berbeda. Tidak ubahnya kita membandingkan burung dengan ikan, lebih hebat mana antara keduanya. Pasti tidak akan kita temukan, sebab di balik kelebihan mereka pasti ada pula kekurangannya.
Ki Hajar Dewantara yang mempunyai nama asli RM. Soewardi Soerjaningrat adalah pejuang yang memilih jalan sunyi dalam berjuang. Jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Bung Karno yang selalu tampil di depan umum dengan pidato yang berapi-api. Ki Hajar Dewantara lebih memilih berada di antara anak-anak bangsa. Anak-anak yang kelak akan memegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini.
Pemilihan jalan sunyi dalam perjuangan ini tentu saja tidak begitu saja dilakukan. Semua diputusakan setelah melewati berbagai jalan perenungan yang begitu dalam. Dari hasil perenungan ini, Ki Hajar Dewantara memutuskan meninggalkan gaya berjuang yang telah dijalani sebelumnya.
Sebab, seperti yang tercatat dalam catatan sejarah, dahulu Ki Hajar Dewantara berjuang tidak ubahnya Bung Karno. Melalui Indische Partij pada tahun 1912, Ki Hajar Dewantara menyuarakan kritikan pedas dan cerdas pada Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itu bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker menyuarakan suara hati mereka lewat harian de Express. Sebuah koran yang dikeluarkan oleh Indische Partij.
Tindakan keras inilah yang kemudian membawa ketiganya ditangkap pemerintah kolonial. Selain dibubarkan organisasi yang mereka buat, ketiganya diasingkan ke Negeri Belanda. Negeri yang nantinya justru membuka wawasan mereka dan makin mendewasakan cara berjuang ketiganya. Sebab di negeri ini, justru mereka bertemu dengan para tokoh-tokoh muda, di antaranya Bung Hatta, Iwa Kusumasumantri, Semaun, dan lain-lain.
Langkah Ki Hajar Dewantara menekuni dunia pendidikan jika dicermati merupakan langkah cerdas. Kebodohan yang ada pada diri anak-anak bumiputralah yang membuat mereka seakan menjadi budak di negeri sendiri. Penerapan Politik Ethis dengan peningkatan pendidikan, pada akhirnya hanya melahirkan praktik diskriminasi. Sebab dalam pelaksanaannya pendidikan yang diadakan lebih menyasar pada anak-anak bangsawan dan para pegawai Belanda, di mana mereka lebih condong berpihak pada pemerintah kolonial.
Hasil pendidikan yang dikecap oleh golongan ini, pada akhirnya menjadi sebuah proses cuci otak. Sebuah proses yang membuat mereka semakin jauh dari akar rumput. Pola pikir secara perlahan tapi pasti mengikuti pola pikir orang-orang Belanda. Mereka tanpa disadari, tercerabut dari akarnya.
Keprihatinan inilah yang muncul pada diri Ki Hajar Dewantara. Kekhawatiran pertama adalah kebodohan yang dialami anak-anak rakyat kebanyakan karena tidak adanya akses pendidikan. Yang kedua adalah proses westernisasi yang terjadi secara massif terhadap kaum bangsawan dan para pegawai negeri.
Berdasar ini semua, maka pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara merintis pendirian lembaga pendidikan bernama Taman Siswa. Sebuah lembaga pendidikan yang benar-benar berwarna Indonesia. Jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Langkah cerdas ini tentu saja tidak semulus yang dibayangkan. Di mata pemerintah colonial sendiri muncul sikap ragu untuk bertindak. Langkah represif yang akan dilakukan jelas tidak mungkin. Karena sebagai lembaga pendidikan, sedikit pun tidak ada tindakan yang terang-terangan menyerang pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial pun menyadari bahwa Taman Siswa tidak ubahnya sebuah bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Suntikan nasionalisme yang diberikan pada anak-anak Taman Siswa bukan tidak mungkin akan melahirkan kesadaran baru sebagai bangsa terhormat. Sementara suntikan semacam ini tidak ditemukan di sekolah-sekolah bentukan pemerintah kolonial.
Bentuk kekhawatiran pemerintah kolonial akhirnya diwujudkan dengan keluarnya sebuah aturan baru yang bernama Ordonansi Sekolah Liar (Wildeshooleen Ordonantie) pada tahun 1932. Aturan baru ini menyatakan bahwa seseorang atau lembaga yang bermaksud menyelenggarakan Pendidikan harus seizin pemerintah. Jika tidak pemerintah akan mencabut izin.
Aturan ini pun diberlakukan pada para guru. Di mana para guru-guru pribumi juga harus membuat laporan rutin pada penguasa setempat. Jika tidak melakukan, sebagai imbalannya mereka dipenjara atau dikenakan sejumlah denda.
Aturan ini secara keras ditentangnya dengan mengirim surat pada Gubernur Jendral de Jonge untuk membatalkan Ordonansi Sekolah Liar tersebut. Dan Ki Hajar Dewantara mengancam akan melakukan pembangkangan jika aturan tersebut tidak dicabut.
Dalam perkembangan berikutnya terjadi hal yang aneh, pemerintah kolonial menolak untuk mencabut aturan tersebut. Di sisi lain, Taman Siswa secara nyata melakukan pembangkangan. Namun, pemerintah kolonial tidak melakukan Langkah apapun. Maka tidak heran jika Taman Siswa pada tahun 1932 justru mampu mengembangkan diri menjadi 166 sekolah dengan 11.000 murid.
Jalan sunyi inilah yang ditempuh Ki Hajar Dewantara, jauh dari hingar-bingar pidato-pidato berapi-api. Namun di balik jalan sunyi tersebut tampak upaya cerdas untuk membangun generasi penerus yang cerdas dengan jiwa nasionalis dalam dirinya. Karena pada akhirnya merekalah yang akan meneruskan tongkat estafet para pejuang itu.
Lembah Tidar, 4 Mei 2023
Baca juga:
- Memaknai Hari Pendidikan dan Media Sosial
- Sekelompok Pemuda di Persimpangan Jalan
- Dampak Pemberlakuan Pendidikan Gratis
Ikuti terus lini masa captwapri untuk informasi menarik lainnya!
Tinggalkan Balasan