Mari Kembalikan Kesadaran Alam Kita

Mari Kembalikan Kesadaran Alam Kita. Di tengah derasnya arus pembangunan dan gemuruh politik nasional, ada satu suara yang makin tenggelam, suara alam. Ia lirih, nyaris tak terdengar, kalah oleh bising kota dan gempita ambisi manusia. Padahal, dalam setiap hembus angin dan riak air laut, selalu ada pesan sunyi. Yaitu, bahwa manusia tidak akan pernah bisa hidup tanpa keseimbangan dengan lingkungannya. Namun, sayangnya, kesadaran ini kian memudar dari nalar kolektif bangsa kita.

Survei LSI Denny JA beberapa waktu lalu menyebut, hanya sekitar 15,5 persen populasi Indonesia yang aktif memperhatikan isu lingkungan hidup. Artinya, delapan dari sepuluh warga negara kita lebih sibuk memikirkan urusan lain. Sebutlah, ekonomi, politik, hiburan, bahkan gosip digital ketimbang nasib bumi yang mereka pijak setiap hari. Ironisnya, negeri ini sebenarnya salah satu negara yang paling kaya sumber daya alam sekaligus paling rentan terhadap bencana ekologis.

Dari Lautan ke Daratan: Potret Ketidaksadaran

Sebagai bangsa maritim, laut seharusnya menjadi wajah utama dari kesadaran ekologis kita. Namun apa yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Pesisir-pesisir kita dipenuhi sampah plastik, muara sungai berubah menjadi kuburan limbah rumah tangga, dan terumbu karang sekarat karena sedimentasi dan pemanasan global. Di pelabuhan, saya sering melihat pemandangan kontras. Nelayan kecil yang terengah-engah mencari ikan di laut yang makin miskin. Sementara, kapal-kapal besar lalu lalang mengangkut hasil tambang dan minyak yang justru mengikis daya dukung bumi.

Kesadaran ekologis bukan sekadar tentang menanam pohon, memilah sampah, atau ikut kampanye hijau. Ia soal paradigma, cara berpikir, bahkan spiritualitas. Ketika seseorang sadar bahwa setetes air laut, sehelai daun mangrove, dan sebongkah batu karang memiliki kesetaraan nilai hidup dengan manusia. Dari situlah ekologi berubah menjadi etika, dan artinya kita mulai menyadari bahwa merusak alam sama saja dengan mengkhianati kehidupan.

Adanya Anggapan Peduli Alam sebagai “Tidak Menguntungkan”

Rendahnya kepedulian lingkungan di Indonesia juga berakar dari pola pikir pragmatis, bahwa ukuran segala sesuatu selalu dari untung-rugi ekonomi. Banyak orang merasa bahwa menjaga alam adalah pekerjaan “orang idealis”, bukan kebutuhan praktis. Padahal, justru karena kita terlalu lama mengabaikannya, ongkos ekologis kini jauh lebih besar. Banjir tahunan, gagal panen, krisis air, hingga cuaca ekstrem yang mempengaruhi sektor pelayaran dan perikanan.

Di sisi lain, pemerintah memang kerap menjadikan isu lingkungan sebagai pemanis pidato belaka. Banyak program hijau berhenti di slogan: Go Green, Blue Economy, Net Zero Emission. Namun di lapangan, izin tambang terus keluar, hutan terus gundul, dan reklamasi pesisir berjalan tanpa kajian ekologis matang. Akibatnya, publik makin sinis, menganggap peduli lingkungan tidak membawa manfaat langsung, sementara eksploitasi membawa keuntungan cepat.

Namun di sinilah pentingnya kesadaran moral. Lingkungan harus absolut tanpa negosiasi, karena jargon tidak bisa menipu alam. Ia menagih dalam bentuk bencana yang semakin sering dan tak terprediksi. Dari sini, seharusnya muncul rasa malu kolektif, bahwa kita telah menikmati hasil bumi tanpa mengembalikannya secara seimbang.

Ekologi Sebagai Cermin Diri Bangsa

Kepedulian terhadap lingkungan sesungguhnya adalah refleksi dari tingkat kematangan bangsa. Pembangunan gedung tinggi dan jalan tol bukan tolok ukur bangsa yang dewasa. Kedewasaannya terletak dari bagaimana ia memperlakukan air, tanah, dan udara yang menopang kehidupan. Jepang, misalnya, memiliki konsep mottainai, atau rasa malu bila membuang-buang sumber daya. Sementara di Nusantara, kita memiliki kearifan tat twam asi, atau “aku adalah engkau”. Definisi bebasnya sebagai kesadaran ekologis, bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan.

Sayangnya, kearifan lokal itu kini terpinggirkan oleh budaya instan. Kita lebih cepat menyalakan kamera untuk membuat content clean-up di media sosial ketimbang benar-benar mengubah perilaku harian. Kita menanam pohon hanya untuk seremoni, bukan komitmen jangka panjang. Sementara, anak-anak muda yang seharusnya menjadi generasi paling sadar iklim, justru sibuk dengan layar digital dan budaya konsumtif. Padahal, hal itu berpotensi menghasilkan lebih banyak sampah elektronik dan mode cepat (fast fashion).

Membangun Kembali Kesadaran Alam

Kesadaran ekologis tidak lahir dari undang-undang atau sanksi, melainkan dari kesadaran diri. Ia tumbuh ketika seseorang berhenti sejenak dan mendengar napas bumi. Kita bisa memulai dari hal-hal kecil. Sebutlah, tidak membuang sampah ke laut, membawa botol minum sendiri, menanam pohon di halaman, atau menghemat listrik. Setelah itu, baru membangun ekosistem kepedulian, seperti keluarga yang menanamkan nilai lestari, sekolah yang mengajarkan cinta alam bukan hanya lewat teori. Dan, media yang menyiarkan konten lingkungan, serta pemimpin yang memberi teladan nyata.

Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian integral dari karakter bangsa, bukan hanya pelajaran tambahan. Setiap profesi pun punya tanggung jawab ekologisnya masing-masing. Seorang pelaut menjaga laut dari tumpahan minyak. Seorang nelayan tidak menggunakan bom atau pukat harimau. Seorang penulis menyalakan kesadaran lewat kata-kata. Dalam ruang kecil seperti itulah perubahan besar bisa dimulai.

Menjadi Manusia yang Tidak Asing dengan Alam

Dalam setiap pelayaran saya, ada satu momen reflektif yang selalu saya rasakan. Ketika kapal berlayar di tengah laut, di bawah langit yang luas, saya sadar betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Laut tidak pernah marah, tapi ia bisa menunjukkan kekuatannya kapan saja. Dan di situlah saya belajar rendah hati. Bahwa, manusia tidak sedang “menguasai” alam, melainkan sedang diizinkan untuk hidup di dalamnya.

Mungkin inilah yang hilang dari sebagian besar kita, kerendahan hati ekologis. Kita merasa bisa mengatur segalanya dengan teknologi, padahal bumi punya bahasa sendiri. Bila kita terus abai, ia akan berbicara dengan caranya, dalam bentuk badai, longsor, atau kekeringan.

Penutup: Mari Kembalikan Kesadaran Alam Kita

Krisis lingkungan bukan sekadar soal bumi yang sakit, melainkan juga soal manusia yang kehilangan arah. Ketika keserakahan menggantikan kebijaksanaan, ketika kenyamanan jangka pendek menyingkirkan kelestarian jangka panjang, di sanalah peradaban mulai retak. Maka, peringatan ini bukan hanya untuk mereka yang di puncak kekuasaan, melainkan yang hidup di bawah langit yang sama.

Mari mulai dari diri sendiri. Mari dengarkan kembali suara alam yang dulu meninabobokan kita di masa kecil. Ayo kembalikan kesadaran bahwa mencintai bumi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral setiap insan.