Saatnya TNI Turun Gunung Meluruskan Arah

Saatnya TNI Turun Gunung Meluruskan Arah
Ilustrasi Gamby by AI

Setiap tanggal 5 Oktober, bangsa ini memperingati hari lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tahun ini, usianya telah mencapai 80 tahun, usia yang bagi manusia sudah tergolong sangat matang, bahkan tiba pada fase “ngamandito”. Yaitu tahap kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang dan perenungan mendalam. Di titik usia seperti ini, semestinya TNI tampil sebagai penuntun moral bangsa. Sebagai benteng nilai yang tak tergoyahkan di tengah pusaran politik dan pragmatisme kekuasaan.

Namun, beberapa tahun terakhir, saya melihat adanya upaya pembelokan arah peran TNI. Bahkan, cenderung kepentingan -kepentingan politik membiaskan perannya, untuk menggerus kekuatan moral TNI. Bukan berarti TNI kehilangan wibawa, tetapi mempersempit ruang dalam penegakan nilai-nilai kebangsaan.

Pembiasan Sejarah: Dari 30 September ke 1 Oktober

Saya masih mengingat jelas masa sekolah dulu. Setiap akhir September, televisi nasional menayangkan film G30S/PKI. Gambar hidup tersebut bukan sekadar tontonan, tapi pengingat sejarah tentang pengkhianatan, penderitaan, dan perjuangan mempertahankan ideologi bangsa. Generasi kami belajar dari sana bahwa TNI, khususnya Angkatan Darat, menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan Republik dari ancaman ideologi yang menolak dasar negara Pancasila.

Namun, dalam satu dekade terakhir, tayangan itu perlahan menghilang. Bahkan istilah “PKI” kini seolah terhapus dari ruang publik. Yang tersisa hanyalah “G30S” tanpa konteks, tanpa penjelasan siapa pelaku dan ideologi yang melatarinya. Lebih jauh lagi, kita seakan tak lagi mengenang tanggal 30 September sebagai momentum sejarah. Dan, seolah kita menggesernya ke tanggal 1 Oktober sebagai Hari Lahir Pancasila.

Saya tidak menolak semangat Pancasila, justru sebaliknya, saya menjunjung tinggi nilai-nilainya. Tetapi menukar ingatan sejarah dengan narasi baru tanpa penjelasan jujur, ibarat menulis ulang sejarah dengan tinta politik. Upaya “pembiasan” semacam ini berpotensi mengaburkan peran TNI dalam menjaga ideologi negara. Tanpa kita sadari, secara perlahan, mengikis kebanggaan generasi muda terhadap tentaranya sendiri.

Menggerus Tupoksi Melalui Politik Institusional

Fenomena lain yang mencemaskan adalah munculnya tumpang-tindih peran antara TNI dan Polri. Sejak reformasi, kita sepakat memisahkan keduanya. TNI fokus pada pertahanan, sementara Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, atau kamtibmas. Namun kini, batas itu mulai kabur.

Polri membentuk berbagai satuan taktis, dari Densus 88, Brimob modern, hingga unit-unit yang memiliki fungsi menyerupai pasukan tempur. Bahkan dalam penanganan terorisme, operasi-operasi besar aparat berseragam coklat mendominasi ketimbang hijau. Muncullah istilah “PARCOK” — Partai Coklat — sindiran sosial terhadap meluasnya peran Polri hingga ke ruang politik dan kebijakan sipil.

Di sisi lain, TNI justru terlihat menahan diri. Mungkin karena trauma masa lalu ketika muncul anggapan TNI terlalu dominan di masa Orde Baru. Namun, ketidakhadiran TNI dalam ruang-ruang strategis publik dewasa ini justru menimbulkan kekosongan moral dalam struktur negara. Ketika TNI memilih diam, nilai-nilai seperti loyalitas, pengorbanan, dan nasionalisme perlahan tersisih oleh kepentingan pragmatis jangka pendek.

Refleksi 80 Tahun: Dari Senjata ke Keteladanan

Delapan puluh tahun adalah usia yang pantas untuk menatap ke dalam diri. TNI bukan lagi hanya kekuatan bersenjata, melainkan kekuatan moral bangsa. Ia telah melalui masa-masa revolusi, konfrontasi, hingga era globalisasi. TNI tahu bagaimana menjaga negara dalam berbagai dimensi ancaman: fisik, ideologis, maupun sosial.

Kini, ancamannya bukan lagi serangan bersenjata dari luar, melainkan degradasi nilai dari dalam. Ketika masyarakat mulai apatis terhadap sejarah, saat politik mulai mengaburkan kebenaran, maka TNI seharusnya kembali menjadi pelurus arah. Ia berdiri bukan dengan bedil dan tank, melainkan membawa keteladanan dan keberanian moral.

Saya percaya, TNI di usia ke-80 ini sedang mengalami ujian berat. Tentu, bukan oleh musuh di medan perang, melainkan oleh godaan untuk diam di tengah kebengkokan. Hening terhadap pembelokan sejarah. Sunyi terhadap pergeseran tupoksi. Serta, “membisu” terhadap hilangnya nilai-nilai dasar bangsa.

Padahal, dalam falsafah kepemimpinan Jawa, “ngamandito” berarti puncak kebijaksanaan. Bukan karena usia, melainkan karena kemampuan memahami kapan harus berbicara, dan kapan harus bertindak. Dan saya yakin, kini adalah saatnya TNI berbicara dan bertindak untuk meluruskan arah perjalanan bangsa ini.

TNI dan Rasa Malu Nasional

Bangsa Jepang memiliki budaya rasa malu yang tinggi. Seorang pejabat yang melakukan kesalahan sekecil apa pun akan mundur demi menjaga kehormatan institusi. Di Indonesia, rasa malu semacam itu semakin langka. Pejabat publik yang terbukti melanggar hukum pun masih bisa tersenyum di depan kamera, bahkan mencalonkan diri lagi.

TNI memiliki budaya kehormatan yang seharusnya menjadi contoh bagi bangsa. “Jiwa korsa” bukan hanya soal solidaritas antar prajurit, tetapi juga kesadaran bahwa kehormatan lebih berharga daripada jabatan. Bila nilai ini kembali tegak, maka bangsa ini akan memiliki kompas moral yang jelas.

Ajakan Moral: Saatnya TNI Turun Gunung

Saya tidak menyerukan TNI kembali ke politik. Justru sebaliknya, saya menyerukan agar TNI kembali pada hakikatnya, yaitu penjaga nilai dan ideologi bangsa. Sudah saatnya TNI “turun gunung”, dalam arti membimbing masyarakat dengan keteladanan, bukan dengan kekuasaan.

Turun gunung berarti hadir di tengah rakyat. TNI membangun kesadaran sejarah, memperkuat pendidikan kebangsaan, dan menegaskan kembali posisi Pancasila dan keutuhan NKRI. Turun gunung berarti mengingatkan para pemimpin sipil bahwa kekuasaan tanpa moral akan kehilangan arah.

Bila TNI memilih diam, bangsa ini akan terus kehilangan arah dan nilai. Tapi bila TNI kembali ke perannya sebagai penjaga moral bangsa, maka Indonesia akan memiliki keseimbangan baru antara kekuatan dan kebijaksanaan.

Penutup

Delapan puluh tahun TNI adalah delapan puluh tahun perjalanan menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa. Tapi tugas sejati TNI belum selesai. Sekarang bukan saatnya berperang dengan senjata, melainkan berjuang melawan pembelokan sejarah dan penyusutan nilai-nilai kebangsaan. Sudah saatnya TNI turun gunung. Bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk meluruskan jalan bangsa. Tujuannya, adalah agar generasi mendatang tidak hidup dalam sejarah yang samar dan bias.