Tema “Menggali Sejarah Militerisme di Indonesia, Myanmar, dan Thailand” merupakan topik yang relevan saat ini. Hal tersebut, mengingat ketiga negara ini memiliki latar belakang militerisme yang kuat yang berdampak bagi perkembangan politik serta kehidupan sosial. Walaupun konteks dan dinamika di setiap negara berbeda, Indonesia, Myanmar, dan Thailand memiliki kesamaan dalam dominasi peran militer. Secara langsung, hal ini membawa konsekuensi terhadap perkembangan demokrasi dan stabilitas negara-negara tersebut.
Indonesia
Indonesia mewarisi militerisme dari sejarah kolonial dan perjuangan kemerdekaannya. Setelah kemerdekaan, militer memainkan peran penting sebagai penjaga negara melalui doktrin “Dwi Fungsi ABRI”. Hal ini memberikan peran ganda dalam pertahanan dan pemerintahan. Di bawah Soeharto, militer menguasai sektor politik dan ekonomi masa itu. Target utamanya, pertahanan stabilitas melalui represi dan pelanggaran hak asasi manusia. Dampaknya mendorong rakyat untuk menuntut reformasi. Reformasi membawa perubahan besar, membatasi peran militer dalam politik, meski tentara memiliki peran utama dalam keamanan nasional dan politik lokal.
Di Indonesia, keberhasilan reformasi setelah Orde Baru adalah mereformasi pengaruh militer dalam politik. Intinya, menaikkan supremasi kendali sipil di atas pengaruh militer dalam berpolitik. Selain itu, juga melalui mekanisme hukum serta transparansi kebijakan pertahanan. Tantangan saat ini adalah mengurangi keterlibatan militer berpolitik lokal untuk menjaga profesionalisme mereka. Utamanya, tetap profesional di tengah ketegangan etnis, atau ancaman disintegrasi nasional.
Myanmar
Myanmar adalah contoh klasik dari militerisme ekstrem, di mana angkatan bersenjata atau “Tatmadaw” telah berkuasa sejak kudeta pertama pada 1962. Pemerintahan militer yang otoriter dan isolasionis ini memicu konflik etnis dan ketidakpuasan rakyat. Upaya demokratisasi pada 2011 memberi harapan baru bagi pemerintahan sipil, tetapi kudeta militer pada Februari 2021 kembali membawa Myanmar ke rezim militer. Militer tidak hanya mengendalikan politik tetapi juga ekonomi dan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, yang menyebabkan krisis kemanusiaan, penindasan brutal terhadap oposisi, dan genosida minoritas Rohingya. Situasi Myanmar mengingatkan kita pada bahaya militerisme bagi peradaban ketika militer berkuasa tanpa kendali.
Di Myanmar, situasinya jauh lebih kompleks. Militer, atau Tatmadaw, tidak hanya memegang kendali politik tetapi juga ekonomi, dengan kepemilikan bisnis-bisnis besar dan aset ekonomi yang signifikan. Hal ini memungkinkan militer untuk terus mendominasi, bahkan di tengah krisis seperti setelah kudeta 2021. Reformasi yang nyata di Myanmar membutuhkan tekanan internasional serta dukungan bagi masyarakat sipil dan kelompok pro-demokrasi yang memperjuangkan kedaulatan rakyat. Tanpa dukungan internasional dan diplomasi yang kuat, reformasi di Myanmar mungkin akan menemui jalan buntu, terutama karena penindasan keras terhadap etnis minoritas dan pembatasan hak-hak dasar.
Thailand
Thailand memiliki sejarah yang unik, di mana militer kerap melakukan kudeta tetapi biasanya berperan sebagai “caretaker” atau pengendali sementara hingga kondisi stabil. Namun, dominasi militer dalam politik Thailand menyebabkan krisis politik berulang. Dalam hal ekonomi, kelas elite dan militer saling terkait, sementara demokrasi hanya berjalan setengah hati. Upaya demokratisasi seringkali gagal oleh represi militer atas nama kesatuan dan stabilitas nasional. Setelah kudeta pada 2014, junta militer memerintah Thailand hingga pemilu 2019. Meskipun parlemen terbentuk, penyusunan konstitusi tetap di bawah pengaruh militer, karena militer berhak veto anggota senat yang terpilih, sehingga pengaruh militer tetap besar.
Thailand menghadapi kondisi berbeda namun tetap rumit. Kudeta militer sering menciptakan siklus krisis politik yang tak kunjung usai. Militer Thailand memperkuat posisinya melalui konstitusi yang memberi mereka peran dalam senat dan hak veto atas keputusan parlemen, sehingga demokrasi Thailand terganjal oleh kuatnya pengaruh militer. Agar Thailand dapat mencapai demokrasi yang lebih utuh, diperlukan reformasi konstitusional yang membatasi peran politik militer serta menghapus hak-hak istimewa mereka dalam struktur pemerintahan. Selain itu, penting bagi Thailand untuk menumbuhkan kesadaran publik dan dukungan masyarakat terhadap pemimpin sipil yang kuat dan kredibel.
Kesimpulan
Ketiga negara ini menunjukkan dominasi militer yang sering berdalih “menjaga stabilitas.” Namun, dalih ini sebenarnya menyembunyikan upaya militer mempertahankan kekuasaan tanpa akuntabilitas sipil. Dominasi militer di Myanmar mengakibatkan krisis kemanusiaan, di Thailand menghasilkan demokrasi terbatas, dan di Indonesia, meskipun reformasi mengurangi pengaruhnya, sejarah militerisme masih berdampak pada politik dan keamanan, terutama saat ada ketegangan sosial dan ancaman disintegrasi.
Untuk mencapai stabilitas jangka panjang, diperlukan reformasi yang memungkinkan sipil mengendalikan militer. Ketiga negara perlu memahami bahwa stabilitas sejati hanya bisa dicapai melalui pemerintahan demokratis yang kuat, transparan, dan mampu menjamin keadilan serta kesejahteraan rakyat. Mewujudkan reformasi sipil yang mampu mengendalikan peran militer di Indonesia, Myanmar, dan Thailand bukanlah hal yang mudah, karena ketiga negara ini memiliki akar militerisme yang dalam. Namun, untuk mencapai demokrasi yang stabil, setiap negara harus mengambil langkah-langkah khusus yang sesuai dengan konteks dan tantangan internal masing-masing.
Ketiga negara ini menunjukkan bahwa stabilitas jangka panjang tidak akan tercapai tanpa demokrasi yang sejati, di mana militer berfungsi sebagai pelindung keamanan nasional, bukan sebagai penguasa. Kendali sipil atas militer sangat penting untuk menghindari siklus kudeta, krisis kemanusiaan, dan stagnasi politik. Dalam hal ini, kerja sama internasional, baik melalui organisasi regional maupun global, dapat membantu ketiga negara mencapai demokrasi yang lebih stabil dan berkelanjutan. Hanya dengan pendekatan menyeluruh dan partisipasi rakyat yang kuat, reformasi militer bisa benar-benar membawa perubahan positif, sehingga stabilitas yang tercipta adalah stabilitas yang didasari pada keadilan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Tinggalkan Balasan