Ujian Nurani Bangsa

Ujian Nurani Bangsa
Ilustrasi by AI

Pagi itu, 7 Oktober 2025, dua tahun sudah Gaza berlumur darah. Dua tahun sejak dunia kembali menyaksikan tayangan memilukan. Anak-anak berlarian di sela reruntuhan, jeritan ibu kehilangan keluarga, rumah sakit rata dengan tanah, dan manusia kehilangan nilai kemanusiaan. Sebagai warga dunia, saya sering bertanya, apa yang bisa kita lakukan, selain berdoa dan menyalakan lilin solidaritas di hati?

Laporan terakhir dari berbagai lembaga kemanusiaan menyebut, sudah lebih dari 68.000 warga sipil Palestina tewas akibat agresi militer Israel. Dunia bersuara, tapi nyawa terus melayang. Seruan gencatan senjata, pembebasan sandera, pelucutan senjata Hamas, hingga penarikan pasukan Israel dari Gaza terus bergema. Namun, seperti gema di lembah sunyi, terdengar tapi tak mengubah apa-apa.

Dunia Internasional Mulai Berubah

Beberapa negara Barat yang selama ini bungkam, kini bersuara lantang. Mereka mulai mendukung pengakuan negara Palestina dan menekan Israel agar menghentikan agresi. Bahkan, armada kemanusiaan Global Sumud Flotilla (GSF), yang berangkat membawa bantuan ke Gaza, menjadi simbol keberanian sipil melawan ketidakadilan global. Israel mengusir mereka, tapi pesan mereka menembus batas laut dan politik, bahwa kemanusiaan tak boleh tunduk pada penjajahan.

Namun di tengah hiruk-pikuk itu, saya melihat Indonesia seolah berjalan di atas tali tipis, antara nurani dan kepentingan diplomasi. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, 22 September 2025, Presiden Prabowo Subianto tidak menyebut kata genosida. Ia berbicara tentang pentingnya perdamaian, dialog, dan penghentian kekerasan, namun tidak secara eksplisit mengecam tindakan Israel. Alih-alih menyuarakan dukungan kemerdekaan Palestina, namun menghindari pernyataan keras yang bisa memicu ketegangan diplomatik.

Sebagian orang mungkin menyebut ini sebagai langkah bijak dalam menjaga posisi Indonesia sebagai negara non-blok. Tapi di hati kecil saya, muncul pertanyaan yang tak terbungkam, bolehkah kita netral di tengah kezaliman yang begitu terang? Dante Alighieri, penyair Italia abad pertengahan, pernah menulis:

“Tempat tergelap di neraka disediakan bagi mereka yang tetap netral di saat terjadi krisis moral.”

Kata-kata itu terasa menampar nurani bangsa. Sebab Indonesia bukan sekadar negara yang pernah mengalami penjajahan, dan berempati pada bangsa tertindas. Indonesia adalah bangsa yang sejak awal berdirinya memiliki semangat anti-kolonialisme. Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…”

Kalimat itu bukan hiasan sejarah, ia adalah kompas moral bangsa. Saya masih ingat ketika kecil, setiap khutbah Jumat atau pelajaran agama di sekolah sering menyebut kata “Palestina” dengan penuh haru. Bendera merah putih dan bendera Palestina seolah berkibar beriringan di ruang batin rakyat Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dukungan rakyat Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina bukan sekadar simbol politik, tapi perwujudan nilai kemanusiaan.

Kini, di era media sosial, dukungan itu semakin nyata. Rakyat ikut dalam aksi solidaritas, memboikot produk yang terafiliasi dengan Israel, menggalang dana, hingga mengirim relawan ke perbatasan Mesir. Namun ironisnya, ketegasan rakyat tidak seiring dengan ketegasan negara.

Indonesia Berhitung Terlalu Lama

Kupasan setiap kalimat diplomatik terasa berlapis, agar tidak melukai pihak mana pun. Tapi bukankah dalam situasi genosida, diam juga bisa melukai? Diam adalah pilihan yang berpihak, bukan pada korban, melainkan pada penindas.

Saya paham, dalam politik luar negeri, Indonesia memiliki prinsip “bebas dan aktif”. Namun semangat “bebas” seharusnya tidak berarti “netral tanpa sikap”. Dan “aktif” seharusnya tidak berarti “sibuk menjaga citra” di forum internasional. Semestinya, bebas berarti merdeka menyuarakan kebenaran, dan aktif berarti hadir dalam aksi nyata kemanusiaan.

Jika Indonesia pernah berdiri di garis depan memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur, Myanmar, atau Afghanistan? Mengapa kini ragu bersuara tegas untuk Gaza? Di titik ini, saya teringat sejarah panjang diplomasi moral Indonesia.

Pada Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Soekarno berkata bahwa penjajahan berbentuk apa pun harus sirna dari muka bumi. Spirit Bandung itu menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia berakar dari nilai moral, bukan kalkulasi untung-rugi.

Maka, ketika hari ini kita melihat rumah-rumah hancur di Gaza, dan anak-anak tertimbun reruntuhan. Pantaskah kita bersembunyi di balik istilah “netral”? Bukankah justru sekarang waktu terbaik bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan moralnya di dunia?

Tentu, saya tidak sedang meminta pemerintah bertindak gegabah. Diplomasi tetap penting. Tapi ketegasan moral jauh lebih penting. Sikap Indonesia yang “aman” boleh jadi membuat hubungan dagang dan politik tetap stabil. Tapi, sejarah tak akan mengingat diplomasi yang aman, sejarah hanya mengingat keberanian yang berpihak pada kemanusiaan.

Ketika dunia mulai berbalik arah, saat masyarakat internasional menekan Israel, dan waktu aktivis kemanusiaan mempertaruhkan nyawanya di laut lepas. Apakah kita ingin bangsa ini sekadar mengutuk dalam hati?

Dua Tahun Agresi Gaza Sebagai Cermin Dunia

Ia menunjukkan siapa yang peduli. Siapakah yang memilih nyaman dalam diam. Dan, siapa yang berani bersuara meski risikonya besar. Bagi Indonesia, ini bukan sekadar isu luar negeri, namun ujian terhadap jati diri bangsa.

Apakah kita masih memegang warisan moral proklamator yang menolak segala bentuk penjajahan? Ataukah kita telah berubah menjadi bangsa pragmatis yang takut kehilangan posisi di meja diplomasi? Saya percaya, bangsa yang besar bukan yang paling kuat militernya, melainkan yang paling jujur terhadap nuraninya. Dan nurani bangsa Indonesia, saya yakin, masih berpihak pada Palestina.

Maka, mungkin sudah waktunya pemerintah tak lagi bersembunyi di balik retorika “netralitas” dan mulai menegaskan keberpihakannya pada kemanusiaan. Karena di tengah genosida, diam adalah bentuk kejahatan yang lain.

Gaza adalah luka dunia dan ujian nurani kita. Dan, ketika kelak sejarah menulis bab ini, saya berharap nama Indonesia tercatat di tinta emas dunia. Bahwa, bukan saja sebagai penonton yang netral, tetapi sebagai bangsa yang berani berdiri di sisi yang benar.