Sinopsis
Esai ini menelusuri paradoks hidup modern, saat manusia terhubung oleh ribuan notifikasi, namun justru kehilangan kedekatan dengan dirinya sendiri. Melalui narasi reflektif tentang pagi di kosan, secangkir kopi dan ponsel yang terus bergetar, penulis mengajak merenungkan makna kesunyian. Di antara hiruk-pikuk digital, ada rindu akan percakapan nyata dan keheningan yang menenangkan. Esai ini adalah undangan lembut untuk berhenti sejenak, menutup layar, dan kembali mendengar suara hati yang pelan tapi jujur.
***
Pagi itu seharusnya tenang. Namun suara ting dari sudut meja kecil di kamar kos memecah kesunyian yang baru saja lahir. Notifikasi pertama hari itu, sebuah pesan grup yang tak begitu penting, membuat saya refleks seolah tersentak dari lamunan. Jempol saya bergerak otomatis, bukan karena ingin, tapi karena sudah terbiasa.
Di layar ponsel, wajah dunia bersinar terang, menggoda. Ada kabar, candaan, promosi, berita, dan sisa-sisa perhatian yang berserakan seperti remah roti di jalur digital. Namun di balik cahaya birunya, ada sesuatu yang terasa kosong, seperti secangkir kopi yang mulai dingin sebelum menikmatinya.
Saya menatap ponsel itu lama. Benda kecil yang dulu hanya alat komunikasi kini menjelma menjadi perpanjangan tangan kesadaran manusia. Ia mengatur pagi, menentukan mood, bahkan mengukur nilai diri lewat jumlah pesan dan tanda “like”. Sementara di sisi lain, kesunyian hati perlahan menjerit, sunyi yang tak lagi murni karena tersisih oleh kebisingan digital.
Antara Bunyi dan Sepi
Ada masa ketika mengawali pagi dengan doa, bukan notifikasi. Ketika burung gereja di atap dan suara ibu menyiapkan sarapan menjadi musik alami yang menghidupkan hari. Kini, dering elektronik telah menggantikan semuanya. Dunia tampak riuh, padahal sebenarnya kita hanya duduk sendiri di hadapan layar. Lalu, mencari makna dalam deretan huruf yang tak menyentuh kulit, apalagi jiwa.
Saya sering bertanya dalam hati:
Apakah kesepian ini nyata, atau hanya produk dari keterhubungan yang palsu?
Dulu, kesepian muncul karena jarak fisik. Kini, kita bisa merasa sepi bahkan di tengah keramaian. Notifikasi datang silih berganti, tapi tak satu pun menghadirkan kehangatan sejati. Ada yang menyapa, tapi tanpa tatapan. Ada yang memberi emoji hati, tapi tanpa degup yang tulus. Kita saling menyalakan layar, tapi tak benar-benar saling menerangi.
Dalam momen seperti ini, saya merindukan percakapan yang lambat. Obrolan panjang tanpa tergesa, seperti ombak yang datang dan pergi di tepian pantai. Percakapan yang tidak terganggu oleh nada dering, tidak terpotong oleh notif aplikasi, dan tidak berakhir dengan “baterai habis”.
Kopi, Pagi, dan Renungan Kecil
Saya menyeruput kopi yang mulai mendingin di meja kosan. Aromanya samar tapi masih menenangkan. Ada sesuatu yang jujur dari secangkir kopi, ia tak menipu rasa. Pahit tetap pahit, manis tetap manis. Tidak seperti notifikasi, yang sering kali terdengar penting padahal hanya ilusi urgensi.
Pagi ini saya menantang diri untuk tidak menyentuh ponsel selama satu jam. Sebuah eksperimen sederhana untuk melihat apakah saya masih mampu menikmati keheningan tanpa merasa kehilangan sesuatu.
Lima belas menit pertama berjalan lambat. Ada dorongan kuat untuk memeriksa layar, barangkali ada pesan masuk, barangkali ada yang “mencari saya.” Tapi ternyata tidak ada. Dunia tetap berjalan tanpa perlu saya pantau. Matahari tetap naik, burung tetap berkicau, dan kopi tetap menyisakan hangat di lidah.
Dan di tengah keheningan itu, saya merasa hadir sepenuhnya. Hadir pada aroma udara, pada bunyi langkah di koridor kos, pada hembusan angin yang melewati jendela. Hadir dalam kesunyian, tanpa perlu sibuk dengan notifikasi.
Mungkin inilah yang kita lupa, bahwa keheningan bukan musuh, melainkan rumah bagi jiwa untuk pulang. Kita terlalu sering melarikan diri dari sunyi, padahal justru di sanalah hati belajar mengenal dirinya sendiri.
Cermin Diri dalam Layar
Di sore hari, saya kembali membuka ponsel. Deretan pesan baru bermunculan, seolah menunggu penebusan atas “kehilangan” satu jam pagi tadi. Ada pesan kerja, ada gurauan teman, ada juga berita buruk yang melintas cepat.
Di sela-sela itu, saya melihat pantulan wajah sendiri di layar hitam sebelum membuka pesan berikutnya. Wajah lelah, sedikit beruban, dan mata yang tampak jenuh menatap cahaya. Layar ponsel itu seperti cermin, bukan sekadar memantulkan wajah. Tapi, memantulkan bagaimana kita hidup kini, penuh koneksi, tapi kehilangan arah.
Saya teringat kata seorang teman lama:
“Kadang, kita tak benar-benar ingin dihubungi. Kita hanya ingin diingat.”
Kata-kata itu menancap dalam. Mungkin memang benar, di balik setiap notifikasi yang kita tunggu, tersembunyi harapan kecil untuk merasa penting. Notifikasi bukan sekadar sinyal digital, ia menjadi simbol kebutuhan manusia akan pengakuan, perhatian, dan keberadaan. Tapi, jika bunyi ting di layar menggantikan semua, apa yang tersisa dari makna “hadir” itu sendiri?
Kesunyian yang Mengajarkan
Malam mulai turun, dan saya kembali duduk di depan meja kecil itu. Lampu kamar redup, kopi sudah berganti teh hangat. Ponsel saya diam. Tak ada bunyi, tanpa getar, tiada pesan baru. Aneh, tapi justru damai.
Saya tersenyum kecil, menyadari sesuatu, bahwa kesunyian tidak selalu menakutkan. Kadang, ia adalah guru yang sabar, mengajarkan kita arti berhenti sebentar. Dalam sunyi, kita bisa mendengar suara hati yang biasanya tertutup oleh riuh dunia maya.
Saya menulis kalimat ini di buku catatan kecil, bukan di ponsel. Karena, saya ingin merasakan gesekan pena di atas kertas, sesuatu yang nyata, yang punya tekstur, yang layar kaca tak mampu menggantikannya:
“Bunyi notifikasi adalah gema dunia luar, tapi kesunyian adalah panggilan dari dalam.”
Mungkin, tak perlu mempertentangkan keduanya. Yang kita butuhkan hanyalah keseimbangan. Kita boleh tetap hidup di dunia yang terhubung, tapi jangan sampai kehilangan percakapan dengan diri sendiri.
Malam itu saya menutup catatan, mematikan ponsel, dan membuka jendela. Angin membawa aroma tanah basah, dan dari kejauhan terdengar suara motor yang lewat pelan. Dunia tetap ada di luar sana, menunggu pagi berikutnya. Tapi untuk malam ini, saya memilih diam, bersama kesunyian yang menenangkan.
Penutup
Dalam hidup modern, kita sering mengira bahwa koneksi tanpa batas dapat menghapus kesepian. Padahal, justru di tengah kebisingan itulah hati paling mudah tersesat. Kesunyian tidak selalu berarti kekosongan. Ia bisa menjadi ruang untuk menata ulang jiwa yang lelah, menyaring kembali makna dari setiap bunyi yang datang. Barangkali, di antara ribuan notifikasi yang singgah setiap hari, hanya satu yang benar-benar penting. Yaitu, panggilan hati untuk pulang ke diri sendiri.












Tinggalkan Balasan