Pagi itu, aroma kopi tubruk menyeruak dari dapur kecil di ujung gang. Warung kopi milik Pak Samin selalu menjadi tempat pertemuan lintas profesi. Mulai dari tukang ojek, buruh harian, guru honorer, sampai pensiunan pelabuhan yang masih suka ikut nimbrung ngobrol politik. Di sana, semua punya suara, bahkan yang di luar lingkar kekuasaan.
Warungnya sederhana, berdinding triplek dan beratap seng, tapi ramai oleh tawa. Di tengah suasana bangsa yang serba tegang (harga naik, berita saling tuding, ekonomi seret), warung kopi itu seperti oasis kecil. Tempat semua orang belajar tertawa di antara keluhan.
“Katanya, negara ini mau maju, tapi bensin naik lagi,” celetuk Kardi, sopir angkot yang masih setia ngopi tiap pagi meski penumpang kian sepi.
Pak Samin tersenyum sambil menuang air panas ke gelas kaleng. “Yang penting kopinya masih bisa diseduh, Kard. Kalau hidup diseruput pelan-pelan, pahit pun terasa manis.”
Tawa kecil meledak. Kalimat sederhana itu seperti tamparan lembut. Di tengah serba rumitnya urusan negara, ada hikmah dari gula yang melarut secara sabar.
Ruang Demokrasi Tanpa Mikrofon
Warung kopi itu bukan sekadar tempat ngopi. Ia adalah ruang demokrasi rakyat kecil. Di sana, tak perlu kartu anggota partai untuk bicara, tak butuh panggung untuk beropini. Suara rakyat mengalir bersama uap kopi, kadang getir, kadang hangat.
“Politikus sekarang jago debat, tapi jarang jago menepati janji,” ujar Bowo, tukang bangunan yang tangannya masih belepotan semen.
Sutris, mantan nelayan yang kini menjual ikan di pasar, menimpali. “Makanya, kita jangan cuma pilih yang jago bicara, tapi yang mau dengar.”
Obrolan mereka sering kali lebih jujur dari pidato di televisi. Tidak ada kepentingan, tidak ada naskah, hanya kesadaran yang tumbuh dari pengalaman hidup. Dari mereka saya belajar. Bahwa, kritik yang lahir dari rakyat kecil tak selalu keras, kadang malah datang dalam bentuk tawa.
Politik di Antara Sendok dan Asbak
Ada satu kebiasaan khas di warung Pak Samin, setiap kali topik politik mulai memanas, seseorang pasti berteriak, “Tambahin airnya, biar adem!” Dan benar, percakapan pun kembali cair. Hari itu, isu yang dibahas adalah pemilu yang makin dekat. Semua punya pandangan.
“Yang penting nanti jangan golput,” ujar Kardi serius.
“Golput bukan solusi, tapi kadang pilihan yang tersisa,” sahut Sutris pelan.
Suasana hening sesaat. Hanya terdengar suara sendok beradu di gelas. Kemudian, tawa pecah ketika Pak Samin menimpali.
“Kalian ribut soal pilihan, padahal yang pasti dipilih cuma satu, yaitu utang yang terus nambah!”
Tawa panjang menggema. Ada kecut di baliknya, tapi juga keikhlasan. Seolah-olah mereka sadar, di negeri yang sedang goyah ini, satu-satunya hal yang menyelamatkan adalah semangat untuk menertawakan nasib.
Pelipur di Tengah Guncangan
Saya sering datang ke warung itu bukan karena kopinya, tapi karena percakapannya. Ada kekayaan makna yang tak bisa didapat dari berita televisi atau media sosial. Di sana, manusia berbicara sebagai manusia, bukan akun anonim, bukan buzzer, bukan citra politik.
Suatu pagi, ketika kabar ekonomi memburuk dan harga sembako melonjak, suasana warung agak lesu. Sampai akhirnya seorang pelanggan baru datang. Seorang pemuda dengan earphone di telinga, masih sibuk scroll layar ponselnya.
“Bang, kopi satu. Tapi gula jangan banyak, hidup udah cukup manis,” katanya.
Tawa pun pecah lagi. Bahkan lelucon receh bisa jadi jembatan untuk meredakan cemas. Kadang humor adalah bentuk paling tulus dari perlawanan. Kita tidak bisa menolak kesulitan, tapi kita bisa memilih untuk tidak kehilangan senyum.
Tawa yang Menyelamatkan
Menjelang siang, warung mulai sepi. Beberapa pelanggan pamit bekerja, membawa sisa tawa bersama mereka. Saya memandangi dinding warung yang penuh tempelan. Jadwal pertandingan bola, poster caleg yang warnanya mulai pudar, dan secarik tulisan tangan:
“Utang boleh banyak, tapi jangan hilang semangat.”
Kalimat itu ditulis Pak Samin sendiri. Katanya, ia menuliskannya setelah istrinya meninggal dua tahun lalu. Warung kopi ini bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi tempat menjaga kewarasan.
“Kalau saya ikut sedih terus, nanti pelanggan kabur,” ujarnya sambil tertawa.
“Jadi saya pilih tertawa. Kadang pura-pura, kadang sungguhan.”
Tawa Pak Samin tidak nyaring, tapi menular. Ada optimisme kecil yang mengalir setiap kali ia menuang kopi ke gelas pelanggan. Mungkin begitulah cara rakyat bertahan. Melaui humor, sabar, dan secangkir kopi yang tak pernah benar-benar kosong.
Refleksi di Cangkir Terakhir
Sore hari, warung kembali ramai. Anak-anak muda mampir setelah bekerja. Obrolan beralih dari politik ke cinta, dari harga sembako ke gosip selebriti. Namun di sela tawa itu, tetap ada kesadaran yang halus. Bahwa, hidup ini memang berat, tapi tidak perlu membawanya dengan serius.
Saya menyeruput kopi terakhir sebelum pulang. Rasanya pahit tapi jujur. Di luar, langit mulai mendung. Tapi di warung kecil itu, suasana tetap hangat. Saya menatap Pak Samin yang sedang merapikan meja, dan dalam hati saya berkata:
“Mungkin bangsa ini belum benar-benar rusak. Selama masih ada orang-orang yang bisa tertawa di tengah kesulitan, harapan itu belum mati.”
Warung kopi itu bukan sekadar tempat ngopi, ia adalah metafora ketahanan. Tempat rakyat belajar bijak tanpa harus bersekolah tinggi. Tempat canda menyaring kesedihan, dan air mendidih menghangatkan keputusasaan dengan gula secukupnya.
Penutup
Kita hidup di masa ketika politik terasa membelah, ekonomi menekan, dan berita membuat jantung lelah. Tapi di warung-warung kopi kecil, kehidupan tetap berdenyut. Di sana, tawa menjadi perlawanan paling lembut terhadap absurditas zaman.
Kita mungkin tidak bisa mengubah keadaan besar, tapi kita bisa menjaga hal kecil, kehangatan, tawa, dan rasa kemanusiaan. Karena pada akhirnya, bangsa ini bertahan bukan hanya oleh kebijakan pemerintah. Tetapi oleh kekuatan orang-orang sederhana yang masih tahu caranya tertawa. Bahkan, ketika hidup terasa pahit seperti kopi tubruk tanpa gula.












Tinggalkan Balasan