Bulan Muharram 1446 H telah datang dan bulan Zulhijah 1445 H baru saja berlalu. Bulan Zulhijah atau tersebut sebagai bulan Haji, karena di bulan ini umat Islam menunaikan rukun Islam ke-5 yaitu menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Masyarakat Jawa menyebut Bulan Zulhijah sebagai bulan “Besar”, mereka menyakini bulan tersebut sebagai bulan sakral untuk menghelat sebuah ikatan perkawinan. Oleh sebab itu, dalam satu bulan sebagian besar masyarakat seolah berebutan mencari tanggal yang pas untuk menggelar pesta pernikahan.
Bulan Menyumbang
Sudah menjadi rahasia umum, di bulan ini nyaris tak terhitung berapa pasang calon pengantin di sebuah kampung atau wilayah. Anggapan sebagai waktu yang tepat untuk menghalalkan hubungan menuju mahligai suci pernikahan, bulan ini selalu para calon pasangan menantikannya. Malahan, terdapat sedikit fanatisme jika tidak bisa di bulan dan tahun sekarang, mending tahun depan asalkan bulan yang sama.
Sebagai makhluk sosial yang hidup di masyarakat luas, bulan ini merupakan bulan pengeluaran anggaran besar-besaran. Apalagi bagi yang sudah pernah menerima sumbangan, menyumbang balik seolah momen membayar hutang. Ya, karena ada pos-pos menyumbang untuk saudara, kerabat, teman, dan tetangga yang jumlah nominalnya sangat beragam. Bisa berupa uang atau barang. Bila di kampung, selain uang, sumbangan bisa berupa kado, sembako, atau bahkan rokok. Lho, kok? Ya, di daerah tertentu menyumbang rokok merupakan sesuatu yang keren.
Seserahan yang Menjadi Buah Bibir
Bicara tentang pernikahan tak lepas dari pinangan, lamaran, seserahan, dan maskawin atau istilah lain “mahar”. Seserahan atau upacara penyerahan aneka sesuatu dari calon suami ke calon istri, biasanya pelaksanaannya menjelang atau pas hari pernikahan beberapa saat sebelum prosesi ijab kabul.
Mengenai besaran dan apa jenis yang dibawa rombongan calon suami tidak ada patokan khusus. Bergantung pada kemampuan finansial pihak calon suami atau kesepakatan kedua calon mempelai. Meskipun demikian, “uba rampe” seserahan atau lamaran sangat memengaruhi kedua keluarga calon. Percaya atau tidak, ada semacam rasa plong, bangga sekaligus puas jika mampu memberi lebih pada calon istri. Demikian juga bagi calon istri, dia merasa mendapat penghargaan dan bangga di hadapan masyarakat sekitarnya.
Dari jumlah, jenis dan ragamnya memang tidak selalu sama antara calon satu dan lainnya. Kini, seserahan di daerah sekitarku tengah mengalami perkembangan yang signifikan. Dari yang biasa-biasa saja hingga yang luar biasa. Apalagi dengan adanya media sosial yang makin hari makin tak terkendali kebebasan dan kecepatan jangkauannya. Prosesi seserahan kadang menjadi makanan empuk untuk menjaring follower demi sebuah konten tertentu. Kemewahan acara dan barang-barang pengikutnya menjadi sorotan.
Menjadi sorotan? Ya. Tidak hanya barang primer biasa, tetapi sudah merambah ke barang-barang yang bisa dibilang sedikit mewah. Bagaimana tidak? Untuk kalangan artis mungkin sudah biasa, tapi ini terjadi di daerah atau justru di kampung. Satu unit mobil terkini, di masyarakat kampung merupakan sesuatu yang mewah saat seserahan. Bahkan ada pula satu rumah sekaligus sertifikatnya, hal itu belum termasuk barang-barang umum lainnya. Nah, kalau sepeda motor keluaran terbaru yang anggapan semula mewah, kini sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Tradisi Seserahan Tempo Dulu Marak Kembali
Tanpa kuasa mengelak, keunikan dan kemewahan seserahan atau lamaran memang benar adanya, dan bukan sekadar konten saja. Di belahan daerah lain yang terjadi akhir-akhir ini, cenderung mengulang model seserahan beberapa dekade silam. Meski tidak ada mobil, motor atau rumah plus sertifikat, tetapi yang ini dengan memberi seekor atau beberapa ekor sapi, berikut “uborampe” barang-barang lainnya.
Di luar itu semua, sesungguhnya aneka barang berharga kebutuhan dalam sebuah rumah tangga, masih mendominasi model seserahan hingga detik ini. Di antaranya; kasur, almari, kulkas, AC atau kipas angin, mesin cuci, peralatan dapur yang biasa maupun modern, dan lain sebagainya.
Seserahan dengan model tersebut di atas, sah-sah saja, apalagi mempelai berasal dari keluarga mampu. Lain seserahan lain pula mahar, yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang, ketika berlangsung akad nikah dari mempelai laki-laki ke perempuan. Jumlah mahar atau maskawin, justru tak seheboh dengan jumlah ketika seserahan.
Bahagia Bisa Diupayakan
Beberapa saat lalu di media sosial sempat viral dengan seserahan sebuah mobil mewah plus barang-barang berharga lainnya. Berita viral tersebut sempat membuat sebagian netizen berdecak kagum dan sebagian yang lain merasa iri. Banyak masyarakat berasumsi, betapa bahagianya kedua mempelai bahwa segala kebutuhannya telah terpenuhi karena memiliki orang tua kaya-raya. Tak berselang lama berita itupun meredup bersamaan dengan kembalinya sang suami ke orang tua dengan membawa mobil mewahnya. Ini hanya salah satu contoh saja.
Dalam mengayuh biduk rumah tangga tentu ada ombak atau riak-riak kecil dan hal itu yang biasa. Semewah dan seheboh apa pun saat seserahan, ternyata tidak menjamin sebuah pernikahan langgeng bergelimang bahagia. Meskipun tak semuanya demikian, tetapi bahagia atau tidaknya sebuah pernikahan tentu banyak faktor yang menjadi kendala. Salah satunya harus ada kesiapan mental yang prima dari masing-masing pasangan.
Seserahan yang mewah tidak salah. Memiliki kekayaan melimpah tidak keliru dan wajib bersyukur. Mungkin, atau boleh jadi yang banyak harta akan lebih mudah mencapai level bahagia. Namun, bagi yang pas-pasan tidak mustahil mampu menciptakan bahagia pula dengan caranya, karena kadar bahagia seseorang tidaklah sama. Kata orang bijak, kita harus pandai bersyukur, karena dengan bersyukur akan melahirkan rasa bahagia di dada.
Tinggalkan Balasan