Mengintip Kesibukan Kapal di Selat Lombok
Kecanggihan teknologi navigasi pelayaran semakin hari selalu berkembang, tinggal klik seluruh informasi yang dibutuhkan pasti tersedia dengan tingkat validitas mendekati seratus persen. Dengan alat tersebut, kita dapat memantau pergerakan benda-benda di sekitar kita, bahkan yang tidak kasat mata sekalipun. Seperti pagi itu, saya memantau pergerakan kapal-kapal yang berjarak beberapa puluh mil (1 mil = 1,8 km) dari posisi saya, tepatnya di wilayah laut Selat Lombok.
Nah, dari sekian kapal yang lalu lalang di perairan tersebut, kapal berwarna hijau rata-rata berukuran besar, dan biasanya hanya melintasi perairan tanpa menyinggahi pelabuhan di Indonesia. Tentu, selain karena keterbatasan kapasitas pelabuhan, juga perairan tersebut merupakan kawasan lintas damai atau Right of Innocent Passage. Menurut UNCLOS 1982, “Kapal melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut alias roadstead atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman.
Lintas damai jika di laut, di darat? Semacam jalan bebas hambatan atau jalan tol padanannya. Tapi, tidak sama persis, karena kendaraan yang menggunakan jasa jalan tol wajib bayar ke pengelola jalan, sedangkan kapal-kapal yang melintasi perairan kita damai bayaran alias gratis. Jika sudah demikian, rasanya kita akan kesulitan membiayai perawatan fasilitas yang disiapkan alam, alih-alih menganggap diri kita telah berdaulat penuh atas teritorial laut, khususnya kedaulatan atas Selat Lombok.
***
Wilayah laut negara Indonesia menjadi wilayah kekuasaan negara berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional. Kesepakatan internasional teritorial laut berjarak 12 mil dari garis dasar ke arah laut lepas, namun apabila bentangan lebar laut membelah dua negara kurang dari 24 mil, maka garis teritorial laut ditarik sama jauh dari masing-masing negara yang berbatasan. Keuntungan Selat Lombok jika ditarik radius 12 mil, ia tidak bersinggungan dengan negara lain atau tetap berada di perairan NKRI, senyampang itu organisasi maritim dunia menyetujui Selat Lombok sebagai kawasan TSS atau Traffic Separation Scheme pada Juni 2019.
Sejak saat itu, kapal-kapal internasional bebas melintasi selat Lombok, namun wajib mengikuti ketentuan yang berlaku di negara kita. Di laut teritorial, negara mempunyai hak kedaulatan penuh, tetapi negara harus menyediakan jalur pelayaran lalu lintas damai, baik di atas maupun di bawah laut. Dan, ketika kapal negara lain melintasi wilayah laut teritorial wajib izin dari Pemerintah Indonesia.
Perijinan pemerintah diperlukan, untuk memastikan kapal-kapal yang melintasi Selat Lombok “tidak” melakukan hal-hal melanggar hukum laut. Umpamanya, mengancam kemerdekaan politik negara pantai, melakukan latihan militer tanpa seijin negara pantai, melakukan kegiatan melanggar keamanan ketertiban negara pantai, serta melakukan tindakan propaganda yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai. Dan, beberapa lainnya yang kesemuanya bisa dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum positif negara pantai.
***
Alih-alih, Kapal “Bulk Carrier” Maron Sailor bekerjasama dengan negara pantai, jika kesiapan sumber daya pelayanannya belum tersedia. Meskipun Law of The Sea Convention (LOSC) memberikan kedaulatan perairan kepada negara kepulauan yang terhubung secara geografis, namun negara maritim/pengguna mendapat hak lintas yang tidak terhalangi bagi kapal dan pesawat udara. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai atau kepulauan, serta kepentingan kapal dan pesawat udara saat melintasi perairan tersebut.
Maron Sailor dan kapal-kapal hijau lainnya harus melintas secara terus-menerus secepat mungkin. Jika mereka terpaksa buang jangkar karena kondisi mendesak, hanya boleh sepanjang alur pelayaran yang dilewati saja. “Kondisi mendesak” itu, seperti kapal butuh pemandu kapal, kapal rusak menunggu spare part, kapal kehabisan bahan bakar, kapal kehabisan perbekalan dst dst. Dari sisi eksternal, contohnya kapal akan menolong orang jatuh ke laut, kapal menolong kapal lainnya dan kapal menolong pesawat udara yang sedang dalam bahaya.
Indonesia telah memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III. Dari ketiga alur tersebut, tampaknya hanya TSS Selat Malaka yang paling siap melayani kapal-kapal besar yang melintasi jalur pelayarannya. Secara geografis, Indonesia menguasai tujuh puluh persen lebih wilayah perairan Selat Malaka, namun karena kita pasif, segala keperluan kapal yang melintas dilayani Negara Pantai Singapura. Setelah bertahun-tahun, akhirnya pada tahun 2019 Pemandu Kapal Indonesia berkesempatan melaksanakan pemanduan di Selat Malaka.
***
Keberhasilan penyelenggaraan TSS Selat Lombok dan seluruh TSS Indonesia lainnya, penting didahului semangat, etos kerja yang baik dalam implementasi serta penegakan hukumnya. TSS Selat Lombok perlu memastikan kesiapan sarana-prasarana VTS (Vessel Traffic Service), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, Sumber Daya Manusia, serta SOP Pengamanan berkaliber internasional. Penyiapan Navigation Guideline, Sosialisasi Implementasi TSS Selat Lombok, dan penyebaran informasi melalui AIS Broadcast maupun SMS Blast bekerjasama dengan Kemenkominfo RI.
Sebelum ditutup, saya mengajak seluruh pihak bahu-membahu meningkatkan pengawasan terhadap ancaman keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim terutama di Selat Lombok dan sekitarnya. Meningkatkan koordinasi serta sinergi dengan instansi serta stakeholder demi terciptanya penyelenggaraan transportasi laut yang selamat, aman, wawasan lingkungan, menjadi sebuah keniscayaan.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
Yuk, ikuti lini masa kami di Instagram captwapri untuk informasi terbaru lainnya!
Baca juga:
4 Comments