Ekologi dalam Perspektif Spiritualitas
Adalah Greta Thunberg, gadis berumur 19 tahun, secara lantang menyuarakan kerusakan planet bumi oleh pembuat kebijakan di depan Konggres Amerika Serikat.
“Dengarkan para pembuat aturan, kalian telah merusak masa depan kami…dst dst!”
Begitu awal kalimat keluar dari mulut Greta, seketika ucapan tersebut disambut tepuk tangan seluruh peserta konggres, dan tidak menunggu lama berbagai konsensus ilmiah tentang krisis iklim merebak ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dari peristiwa tersebut tergambar bahwa perubahan iklim bukan menjadi urusan ilmu dan kepakaran semata, namun bagaimana secara moril, etika serta spiritual menghadapi krisis iklim dalam kehidupan sehari-hari.
Senada dengan pendapat pakar dan aktivis Greta, tokoh-tokoh agama juga menganjurkan umatnya untuk merawat lingkungan. Meskipun berbeda keyakinan, para tokoh tersebut setuju bahwa menjaga lingkungan merupakan kewajiban mulia. Sebuah riset menyebutkan, dalam enam belas tahun terakhir kegiatan agama dan lintas agama melakukan kampanye lingkungan, melalui penerjemahan bahasa ilmiah untuk kalangannya sendiri.
Indonesia memiliki keragaman agama dan kepercayaan adat sebagai negara. Indonesia juga memiliki belasan ribu pulau yang rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem akibat ulah tangan manusia. Sehingga, dampak negatif dari krisis iklim akan dirasakan lebih awal dibandingkan negara lain.
***
Enam belas tahun silam, Indonesia menjadi tuan rumah KTT PBB untuk Iklim di Bali, sepuluh pemimpin agama dari enam kelompok agama di Indonesia merespon atas isu perubahan iklim. Para pemimpin lintas agama memberikan komitmen penggunaan “ajaran agama dan kearifan lokal” untuk mengajak orang-orang di tingkat tapak. Mulai dari mengajarkan tentang lingkungan serta memulai proyek konservasi di wilayahnya.
Agama di Indonesia memiliki basis masa penting, urun rembug pemuka agama dalam diskusi hingga pemecahan masalah di tingkat lokal dan nasional sangat dibutuhkan. Mendorong kelompok-kelompok agama mengajak pengikutnya berfikir ekologis dalam pandangan kekhusukan. Aksi nyata seperti “Masjid Hijau”, “Gereja Hijau”, kelestarian ekosistem untuk peribadatan, serta contoh-contoh inspirasi lainnya.
Di Lombok, persinggahan sementara saat ini, saya banyak melihat kelompok Hindu dan Buddha menginisiasi tanam pohon serta daur ulang lokal. Giat tersebut juga diikuti oleh kelompok muslim serta kepercayaan dalam menciptakan koloni kampanye lingkungan yang kuat serta beragam. Gerakan semacam ini sering dipelopori masyarakat adat yang mencoba melindungi tanah mereka dari eksploitasi.
Indonesia memiliki ribuan kekayaan alam yang layak dilindungi, beberapa waktu lalu muncul gerakan “Save Aru Island” Maluku yang berupaya melindungi 5.000 Km² lahan yang akan disulap menjadi kawasan perkebunan gula. Dan, pengambilalihan tanah suci tempat persembayangan ajaran “Samin” untuk penambangan semen. Pemimpin Katolik Protestan, masyarakat Desa Kendeng Jawa Tengah memprotes kegiatan perampasan oleh perusahaan asing tersebut. Tidak berhenti disitu, protes keras umat Hindu atas proyek reklamasi Teluk Benoa di Pulau Dewata, meski akhirnya dimenangkan oleh pemodal.
***
Alih-alih, masih ada kelompok-kelompok agama yang acuh tak acuh terhadap perubahan iklim. Tetapi, dengan dorongan kuat bahwa krisis lingkungan tidak hanya melalui solusi teknologi, melainkan perlu sikap dari pemimpin agama. Peristiwa monumental 2016, para pemuka agama Indonesia bersama pemuka agama dunia (Muslim, Katolik, Buddha, Kristen, Hindu, Yahudi, Sikh) mendesak pemimpin dunia untuk bertindak atas perubahan iklim. Desakan tersebut berujud penandatanganan pernyataan sikap kepada pembuat kebijakan.
Mendesak para pembuat kebijakan untuk meratifikasi Perjanjian Paris terkait pembatasan kenaikan suhu bumi tidak lebih 2°C di tahun 2030. Pemanfaatan energi yang dihasilkan alam secara terukur merupakan refleksi spiritual manusia sebagaimana tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Pernyataan nilai-nilai etis melalui “Berseru” kepada pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dari perut “Ibu” alias Bumi.
Menurut sosiolog Peter Beyer, tafsiran pernyataan kelompok agama harus menarik bagi para pembuat kebijakan. Para pemimpin agama menyusun konsep lingkungan ilmiah yang njlimet, namun dapat diterjemahkan secara bebas ke dalam idiom maupun simbol keagamaan. Salah satu ensiklik lingkungan oleh Paus Prancis tahun 2015 berjudul Laudato Si’: On Care for Our Common Home.
Surat Amanat Paus terbukti mampu mempengaruhi pengikutnya di dunia untuk peduli lingkungan, bahkan mendesak pemerintah mengurangi emisi karbon. Empat tahun sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia mengembangkan fatwa konservasi lingkungan, tentang pedoman islami penambangan ramah lingkungan. Mungkin, dampaknya belum signifikan, namun setidaknya upaya inovatif kebijakan lingkungan ke dalam bahasa agama telah berlangsung.
***
Semakin banyak masyarakat dunia merasakan dampak perubahan iklim, membuat mereka semakin melek lingkungan. Penggiat lingkungan keagamaan dan kepercayaan agar selalu meningkatkan kesadaran global hingga komunitas lokal yang paling terdampak perubahan iklim. Kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan pada akhirnya ditentukan oleh kepentingan jutaan komunitas lokal.
Ilmuwan dan pemimpin perlu mendengar suara kelompok-kelompok lokal dengan cermat, jika perlu mengajak mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan global di daerahnya masing-masing secara kreatif dan efektif.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
Yuk, ikuti lini masa kami di Instagram captwapri untuk informasi terbaru lainnya!
Baca juga:
1 Comment