Di Indonesia, pada umumnya struktur keluarga secara tradisional bersifat patriarki dan hal ini masih menjadi suatu norma. Ayah adalah kepala keluarga yang keputusannya mengikat semua anggota keluarga. Sedangkan ibu selalu diharapkan mampu menjadi seorang istri yang dapat mendukung secara penuh semua anggota keliarganya, dan bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak. Begitu pula pada anak laki-laki tertua biasanya akan mewarisi harta keluarga serta bertanggung jawab mengurus orang tua dan saudara-saudaranya. Sementara itu bagi seorang anak perempuan tertua, dahulu masih mendapat perlakuan seakan ia adalah pembantu dan mengurus semua pekerjaan rumah tangga.
Namun seiring waktu, kondisi ini telah banyak mengalami perubahan, di mana dalam satu keluarga, baik itu anak perempuan atau anak laki-laki dipandang sama dan setara. Perempuan lambat laun mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak laki-laki dari kedua orang tuanya, ia dimuliakan dengan pakaian yang sebaik-baiknya dan mendapatkan segalanya dari kedua orang tuanya. Namun keadaan sering kali berubah drastis, ketika seorang anak perempuan memasuki jenjang pernikahan. Maka ia resmi berganti status dan peran sebagai istri dan menjadi anggota keluarga sang suami.
Kedudukan menantu laki-laki dan perempuan dalam sistem keluarga patriarki
Mutlak bagi seorang laki-laki menjadi teladan bagi di dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya sosok seperti ayah, mertua laki-laki atau kakek, mereka dihormati karena kearifan dan kepemimpinan nya. Mereka menjadi contoh dan model dari cerminan perilaku yang baik dan sebagai manusia yang menghormati otoritas serta memberikan bimbingan kepada anggota keluarga yang lebih muda. Dengan demikian, mereka dipandang sebagai sumber nasihat yang ideal dan sering dipandang sebagai pemberi solusi mengenai hal-hal yang penting bagi keluarga.
Perihal yang tak kalah menarik, yaitu mengenai posisi menantu laki-laki dalam keluarga, khususnya di Indonesia. Mengingat sampai hari ini masih banyak yang tetap mempertahankan atau bahkan memegang teguh sistem sosial patriarki. Memang seiring waktu, dan perubahan zaman, status menantu sudah mendapatkan posisi sebagai anggota keluarga yang tidak kalah penting. Pada keluarga dengan sistem sosial patriarki, menantu laki-laki diharapkan dapat menghormati mertuanya, menafkahi, melindungi istrinya, dan menjadi panutan bagi anak-anaknya. Menantu laki-laki dapat menunjukkan rasa hormat terhadap kedua mertua, dengan cara menunjukkan kesediannya untuk mematuhi keputusan mereka.
Kedua mertua biasanya berharap kepada menantu laki-laki, dapat bermurah hati terutama dalam hal keuangan, baik itu bagi keluarga inti, atau keluarga dari orang tua dan mertua. Oleh karena itu, pada rumah tangga tradisional patriarki, menantu laki-laki mendapat tempat dan kedudukan lebih penting daripada menantu perempuan. Baik itu di mata keluarga pihak laki-laki maupun perempuan dengan sistem patriarki, selalu berpikir, bahwa menantu laki-laki telah banyak berperan dan memberikan dukungan finasial. Jauh berbeda pada situasi menantu perempuan yang selalu saja dipandang hanya sebagai istri atau ibu.
Tidak lebih daripada itu, menantu perempuan sering kali tidak berhak berpendapat, diabaikan dan hanya seorang pembantu rumah tangga “gratisan” bagi keluarga suaminya. Dalam keluarga patriarki, menantu perempuan hanya sebagai mesin pembuat anak, dengan sejumlah tanggung jawab yang berbasis pekerjaan domestik lainnya. Selain melahirkan dan merawat anak-anak, perempuan harus memasak dan menyiapkan makanan keluarga, serta membersihkan rumah. Tidak sampai di situ saja, saat ia turut serta membantu suaminya, ia akan diperlakukan sama seperti manusia berkekuatan super yang tidak boleh sakit apalagi merasa lelah.
Selain banting tulang bekerja demi membantu perekonomian keluarga, ia selalu membagi pendapatannya. Terkadang tidak jarang si perempuan bahkan tidak dapat menikmati sepeser pun untuk memuliakan dirinya. Keluarga dengan pola patriarki berharap, setiap menantu perempuan dapat mematuhi peran dan perilaku gender tertentu. Harus tunduk kepada suami dan keluarganya, dan tidak diizinkan menyuarakan pendapatnya apalagi berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Meskipun, tidak jarang setiap keputusan yang ada biasanya akan melibatkan peran sertanya sebagai pasangan. Namun, jika ia berani berbicara sekedar meluruskan, maka ia akan menjadi orang yang akan paling tidak disukai di dalam keluarga itu.
Status sebagai menantu juga sering kali membuat banyak kaum perempuan berubah baik dari cara berperilaku, dan berpakaian dengan cara tertentu yang sesuai dengan tuntutan dan harapan keluarga suaminya. Hal ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan laki-laki yang kebanyakan mendapatkan lebih banyak keleluasaan. Baik itu di dalam keluarga istrinya maupun keluarganya sendiri. Baik itu menantu laki-laki atau seorang laki-laki biasanya lebih cenderung memiliki kebebasan soal tanggung jawab dan perilakunya. Mereka leluasa untuk tidak melakukan pekerjaan rumah tangga, meski hanya sekedar untuk meringankan pekerjaan istrinya di rumah.
Masyarakat kita hingga hari ini, faktanya masih menganggap wajar kondisi-kondisi yang seharusnya tidak dialami oleh banyak kaum perempuan. Banyak perempuan masih harus melewati berbagai penderitaan dalam menjalankan perannya baik sebagai istri dan ibu. Dan semua itu seakan wajar atau bahkan menjadi cara yang mau tidak mau ditempuh untuk mendapatkan sebuah pengakuan sebagai perempuan seutuhnya. Misalnya saja, kalau bekerja di luar rumah, juga harus cekatan di rumah, jam istirahat lebih sedikit daripada anggota keluarga lainnya, kalau tidak punya anak banyak maka ia juga bukan perempuan seutuhnya. Miris bukan?
Bermula dari standar ganda terhadap kaum perempuan yang berakar dari masyarakat patriarkal, yaitu laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah utama. Sementara itu meski perempuan bekerja di luar rumah membantu keuangan keluarga, maka ia tetap harus menunaikan kewajiban sebagai ibu rumah tangga biasa. Ibarat sebagai mesin ia pun dituntut harus tahan banting dalam mendukung kinerja dan produktifitas suaminya. Penderitaan dan rasa lelah akut akibat standar ganda yang dibebankan pada seorang perempuan dianggap suatu kewajaran. Seakan-akan semua itu merupakan salah satu dari bentuk pengabdian dan pengorbanan pada suami dan keluarganya. Walaupun seiring perkembangan zaman, dunia terus mengalami perubahan, baik itu teknologi maupun sistem sosialnya. Akan tetapi standar ganda yang terjadi pada kaum perempuan kerap selalu terjadi sampai hari ini. Bahkan seorang laki-laki untuk menjadi siapa pun di dalam keluarga orang lain, ia tidak harus hidup dalam kekangan standar ganda yang pelik, seperti layaknya kami kaum perempuan di bumi ini.
sumber gambar : herstory.co.id
Yuk, ikuti lini masa kami di Instagram captwapri untuk informasi terbaru lainnya!
Baca juga:
Tinggalkan Balasan