Mengawal Khittah Politisi Berbasis Trias Politika

Mengawal Khittah Politisi Berbasis Trias Politika
Politik Fairplay (pexels-polina-kovaleva)

Mengawal Khittah Politisi Berbasis Trias Politika

 

Belum lama ini, masyarakat terhibur oleh Rapat Dengar Pendapat (RDP) Menkopolhukam dengan Komisi III DPR RI di media massa. Suasana saling serang dan saling tangkis menghiasi bahasan temuan PPATK transaksi gelap sebesar 349 trilyun. Satu hal menarik, saat salah satu anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Bambang Pacul merespon pertanyaan kapan Rencana Undang Undang Perampasan Aset menjadi Undang Undang.

Pada Rabu (29/3/2023), suasana komplek parlemen senayan sangat riuh rendah. Setelah pak Mahfud MD bertanya, Bambang Pacul menjawab sebagai berikut, “Disini boleh ngomong galak, Pak!” Tapi, “ibu” langsung menelepon saya, “Pacul, berhenti!” “Siap laksanakan.” “Pertanyaan Pak Mahfud langsung saya jawab, Bambang Pacul siap, sepanjang juragan perintah.” “Kalau tidak, mana berani Pak?” lanjut Bambang Pacul. Seketika, seluruh anggota yang hadir menertawakannya.

Politisi PDI Perjuangan tersebut tidak menjelaskan sosok “ibu” dimaksud. Hanya, dia bilang, untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari Ketua Umum Partai Politik. “Saya jujur saja, RUU Perampasan Aset segera sah, kalau ketua partai merestui, kalau kita sendiri tidak bisa, Pak.” pungkas legislator PDIP.

***

Ungkapan “tergantung perintah juragan” patut kita cermati. Sangat mungkin, hal itu mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, kalau Bambang Pacul tidak independen dalam memutuskan sesuatu. Karenanya, sebelum memutuskan sesuatu wajib ketua partai merestui, lalu bagaimana kalau sang ketua tidak setuju? Artinya, keputusan tersebut tertunda atau batal, meskipun rakyat sudah menunggu-nunggu.

Selepas pernyataan Bambang Pacul, seluruh anggota komisi tersebut tertawa. Makna “tertawa” dari teman-temannya, selain menganggapnya lucu, atau dapat juga sepakat sependapat dengan pernyataan Bambang Pacul tersebut. Nah, akhirnya saya dapat menyimpulkan ketua partai lah yang bisa memutuskan perampasan aset, tentu saja termasuk program-program rakyat lainnya.

Setidaknya mengamati proses dengar pendapat (hearing) antara Pak Mahfud MD dan DPR kemarin, saya sendiri merasa rancu. Keterwakilan suara rakyat justru lebih terasa dari pendapat dan pernyataan Menkopolhukam, meskipun beliau eksekutif. Sementara kubu sebelah, sampai akhir rapat tidak tampak mewakili suara siapa-siapa, selain hanya menyimpulkan sekaligus mengamankan posisi mereka, hehehe.

Mengutip sumber Kemenkeu RI, ongkos Pemilu Indonesia 2019 terbilang fantastis. Berawal masa persiapan 2017 mengeluarkan dana sebesar Rp 466 miliar, Tahun 2018 bertambah menjadi Rp 9 triliun, lalu Tahun 2019 naik lagi menjadi Rp 16 triliun. Jadi, total Biaya Pemilu 2019 dalam 3 tahun berturut-turut meningkat menjadi Rp 25 triliun.

Bayangkan, kalau dari ke-575 anggota parlemen berkarakter “mohon petunjuk” seluruhnya, betapa mubazirnya menggelontorkan sebesar itu hanya untuk mendapat delegasi minta petunjuk di parlemen. Dari 25 triliun ke 575 anggota, maka secara agregat ongkos mendatangkan per anggota membutuhkan hampir 44 miliar rupiah. Saat ini, mereka merupakan wakil rakyat periode 2019-2024, dan terpilih melalui 80 daerah pemilihan.

***

Di awal tulisan, menyebut peran ketua partai sangat dominan. Para ketua partai dapat dengan mudah membatalkan kesepakatan para utusannya di DPR, meskipun masyarakat menunggu kesepakatan berubah kemaslahatan. Lalu, bagaimana agar parlemen segera memutuskan program rakyat, memilih para ketua dan beberapa pengurus dari partai yang lolos ambang batas, bisa menjadi alternatif yang masuk akal.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) telah menetapkan tujuh belas (17) partai politik pemilihan umum mendatang. Ketujuh belas partai politik segera mengusulkan ketua dan beberapa pengurus ke KPU. Berasumsi satu partai menunjuk beberapa calon legislatif tingkat pusat (termasuk ketua umum), mengalir usulan caleg di tingkat daerah kesatu, dan kedua.

Setelah memastikan jumlah caleg tidak sebesar legislatif saat ini, rasa-rasanya puluhan miliar biaya pemilu lebih efisien. PR-nya tinggal masalah efektifitas pembagian kerja fraksi serta komisi masing-masing. Karakter priyayi, bendoro, serta atribut patriarki dari para ketua partai, secara revolusi mengarah kepada “pelayan rakyat” pemilihnya. Harapannya, budaya “mohon petunjuk ibu” bergeser ke “mohon petunjuk konstituen”. Insha Allah.

Barangkali, ini hanya sebentuk kepedulian publik berformat kritik, yang mencoba menawarkan solusi meski naif. Konteksnya adalah kesetaraan legislatif terhadap yudikatif, dan eksekutif. Mempertimbangkan sistem trias politika negeri ini kembali ke khittah sebagaimana harapan pendiri bangsa.

Rapimnas I Pemuda Katolik 2023 Akan Dilaksanakan Mei, Peran Pemuda Menuju Indonesia Maju

Demokrasi Yang Diharapkan

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

 

Yuk, ikuti linimasa Instagram captwapri untuk informasi menarik lainnya!