Negeri yang Terlalu Sering Menepuk

Negeri yang Terlalu Sering Menepuk
Ilustrasi by OpenAI

Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial Indonesia kembali riuh oleh sesuatu yang unik. Setelah “tepuk sakinah” dari jajaran Kementerian Agama viral dengan jingle dan gerakannya yang penuh semangat. Tak berselang lama, muncul “tepuk gempa” dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Niatnya tentu baik, menyebarkan semangat edukasi dan nilai positif. Namun entah mengapa, di mata sebagian publik, fenomena ini terasa lebih menggelitik daripada menggugah.

Generasi muda, terutama Gen Z, bereaksi cepat. Ada yang menyebutnya cringe, ada yang membela sebagai bentuk sosialisasi kreatif. Lalu seperti biasa, dunia maya pun terbelah, antara yang ikut menepuk dan yang justru menepuk jidat.

Tapi di balik gelombang tawa dan sindiran, saya merasa ada sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi, dan layak kita renungkan. Bahwa bangsa ini, barangkali, sedang menderita demam simbolisme. Kita semakin lihai menciptakan “gerakan” yang viral, tapi semakin gagap menjawab akar masalah yang sesungguhnya.

Tepuk Sakinah

Mari kita lihat dulu “tepuk sakinah”. Menurut pejabat KUA, tepuk ini bertujuan mengingatkan calon pengantin pada lima pilar keluarga sakinah. Yaitu, cinta, setia, komunikasi, kerja sama, dan tanggung jawab. Sebuah pesan moral yang baik. Namun ketika data tahun 2024 menunjukkan lebih dari 390 ribu kasus perceraian pernikahan kurang dari 5 tahun, kita pantas bertanya. Apakah tepuk tangan cukup untuk menegakkan tiang rumah tangga?

Banyak pasangan muda menikah dengan kesiapan emosional dan finansial yang minim. Bimbingan perkawinan yang seharusnya menjadi ruang refleksi, sering kali hanya formalitas, selesai sehari dua hari, penuh jargon dan slide presentasi. Di luar ruangan, realitas menunggu, tekanan ekonomi, beban sosial, dan ketimpangan peran gender. Sementara negara menepuk tangan, ribuan rumah tangga diam-diam runtuh. Dan yang menanggung reruntuhannya, seperti biasa, adalah perempuan dan anak-anak.

Tepuk Gempa

Begitu pula dengan “tepuk gempa”. BMKG menyebutnya sebagai sarana edukasi mitigasi bencana. Sebenarnya kita layak mengapresiasi niat tersebut. Tapi mari kita jujur, ketika gempa sungguhan datang, siapa yang sempat menepuk tangan?

Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas cincin api. Hampir setiap bulan terjadi gempa di satu wilayah atau lainnya. Namun berapa banyak warga yang benar-benar tahu bagaimana bertindak ketika bumi berguncang? Kita sering mendengar berita. Bangunan roboh karena tidak memenuhi standar tahan gempa, masyarakat panik karena tak tahu jalur evakuasi, dan buruknya koordinasi tanggap darurat.

Artinya, kita masih lemah dalam hal pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan, bukan dalam soal yel-yel. Edukasi mitigasi tidak lahir dari tepuk tangan, tapi dari kesadaran dan latihan yang terus berulang. Sebagaimana pelaut yang berlatih menghadapi badai sebelum benar-benar berlayar.

Bukan Sekadar Seremonial

Fenomena ini membuat saya teringat pada kecenderungan lama di negeri ini, yaitu kita gemar mengubah masalah menjadi seremoni. Setiap kali ada isu sosial, entah itu soal keluarga, lingkungan, atau bencana, reaksi pertama sering kali bukan membenahi sistem. Tapi, membuat slogan, jingle, atau gerakan simbolis.

Kita menepuk tangan untuk keluarga, menepuk tangan untuk bencana, menepuk tangan untuk integritas, bahkan menepuk tangan untuk antikorupsi. Tapi setelah gemanya hilang, apakah ada perubahan nyata? Barangkali inilah penyakit birokrasi modern kita, lebih sibuk dengan branding ketimbang building. Lebih rajin menciptakan sensasi ketimbang melakukan evaluasi. Seolah-olah ukuran keberhasilan program bersumber dari seberapa viral di TikTok, bukan dari seberapa dalam dampaknya di lapangan.

Saya Tidak Anti Inovasi

Saya tidak menolak inovasi komunikasi publik. Di era digital, memang penting cara kreatif agar pesan pemerintah tersampaikan. Namun yang mengkhawatirkan adalah ketika viralitas menggantikan validitas. Ketika rancangan segala sesuatunya bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi sekadar tampil menarik di mata publik.

Kita sedang hidup di era pemerintah berperilaku seperti influencer, bukan institusi. Dan warganya pun tak kalah ikut-ikutan, menjadi penonton yang lebih sibuk memberi komentar ketimbang berpartisipasi. Maka tak heran jika bangsa ini tampak gaduh tapi miskin substansi. Kita menepuk tangan untuk hal-hal remeh, tapi terdiam di hadapan hal-hal penting.

Krisis Kedalaman

Fenomena “tepuk-tepukan” ini mungkin tampak ringan, tapi sebenarnya menyentuh urat nadi persoalan lebih besar. Yaitu, krisis kedalaman dalam cara berpikir dan bertindak. Kita sudah terlalu sering menjawab kompleksitas dengan simplifikasi.

Menjawab masalah keluarga dengan yel-yel. Merespon problematika bencana melalui jingle. Menanggung permasalahan sosial dengan lomba dan panggung seremonial. Padahal masalah bangsa tidak akan selesai dengan irama, tapi dengan sistem. Bukan dengan lirik, tapi dengan komitmen. Dan sekali lagi, bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan kerja keras yang konsisten.

Turun ke Bawah

Kadang saya membayangkan, ketika para pejabat meluncurkan program simbolik. Maka, mereka wajib turun langsung mendampingi keluarga rentan di lapangan, atau turun ke desa-desa rawan bencana untuk melihat kenyataan di balik data. Inilah yang namanya arah kebijakan kita akan membumi. Negara ini tidak kekurangan ide, tapi kekurangan keseriusan mengeksekusinya.

Kita punya konsep besar tentang kesejahteraan keluarga, tapi pelaksanaan bimbingan perkawinannya masih serba administratif. Kita punya badan nasional penanggulangan bencana, tapi masih banyak warga yang tak tahu harus ke mana saat gempa datang. Sementara energi dan anggaran terkuras untuk menepuk tangan, membuat jingle, dan menyiapkan seragam seremonial.

Perlu Keteladanan

Sebagai bangsa, kita perlu belajar membedakan antara menghibur dan menginspirasi. Tepuk tangan bisa membuat kita tertawa, tapi tidak membuat kita lebih tangguh. Yang kita butuhkan bukan sekadar semangat komunal yang viral, tapi keteladanan dan kebijakan yang berakar pada realitas. Barangkali, sudah waktunya kita berhenti terlalu sering menepuk, dan mulai lebih sering mendengar.

Mendengar suara rakyat yang lelah bekerja tapi tak sejahtera. Mendengar jeritan anak-anak yang kehilangan rumah karena gempa. Merespon cerita perempuan yang bertahan di pernikahan penuh kekerasan karena tidak tahu harus ke mana. Karena, di situlah mereka membutuhkan tepuk tangan yang sesungguhnya. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk menyemangati mereka yang masih berjuang.

Kreatifitas yang Jujur

Indonesia tidak perlu berhenti menjadi kreatif, tapi perlu lebih jujur terhadap realitas. Sebab bangsa yang besar bukan yang paling ramai menepuk, melainkan yang paling berani menelusuri akar masalah dan memperbaikinya tanpa gimik. Dan mungkin, saat itu tiba, kita tak perlu lagi membuat “tepuk-tepukan” baru. Karena negeri yang sungguh berdaya tidak sibuk bertepuk tangan, melainkan sibuk bekerja, dalam diam yang bermakna.