Kerja, Bertahan, dan Bahagia

Kerja, Bertahan, dan Bahagia
Ilustrasi by OpenAI

Kerja, Bertahan, dan Bahagia. Pagi itu, seperti biasa, aku meneguk kopi hitam sebelum berangkat kerja. Rasanya pahit, tapi hangatnya menenangkan. Di antara aroma kopi dan raungan suara motor tetangga, aku tersenyum kecil. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering berpikir, kerja itu bukan lagi soal ambisi, tapi soal bertahan.

Bertahan dari tagihan yang datang seperti ombak. Bersiteguh dari lelah yang menumpuk di punggung, dan berdeging dari rasa iri pada mereka yang seolah hidupnya lebih ringan. Kadang kupikir, mungkin sudah takdir, bahwa tidak semua orang mampu menabung uang di bank. Ada yang menabung arti dalam setiap langkahnya, menaruh kesabaran, meletakkan doa, dan menghimpun senyum untuk keluarga di rumah. Aku sering bercanda dengan teman kantor.

“Bro, gaji belum turun, tapi semangat udah naik-naik,” kataku sambil menepuk bahunya.

Kami tertawa, tapi dalam tawa itu ada pengakuan yang diam-diam, hidup memang sedang tidak mudah, tapi kami tetap jalan.
Ada masa, dulu, aku merasa gagal setiap kali saldo di rekening menipis. Rasanya seperti kalah dalam perlombaan yang tak pernah kuikuti. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa tidak semua kemenangan harus terlihat dalam bentuk angka. Ada kemenangan yang diam-diam hadir saat kita berhasil melewati satu bulan lagi tanpa menyerah.

Sore itu, saat perjalanan pulang, aku melihat ibu-ibu pedagang gorengan di pinggir jalan. Gerobaknya kecil, tapi wajahnya tenang. Setiap kali ada pembeli, ia tersenyum tulus, bukan karena untung besar, tapi karena ada yang menghargai usahanya hari itu. Dalam tatapan singkat itu, aku seperti berkaca. Mungkin, kebahagiaan sejati memang sesederhana itu. Yaitu, melakukan yang bisa kita lakukan, memberi yang bisa kita beri, tanpa banyak mengeluh pada dunia.

Di kos, aku menyalakan kipas kecil dan membuka dompet. Isinya tidak banyak, cukup untuk hidup beberapa hari ke depan. Tapi aku tidak merasa miskin. Aku hanya merasa… “manusia”. Manusia yang bekerja bukan untuk pamer pencapaian, tapi untuk membuat hidupnya tetap berjalan.

Seringkali aku berpikir tentang orang-orang yang bekerja bukan hanya untuk diri sendiri. Mereka yang bangun lebih pagi dari matahari, menyiapkan kebutuhan anaknya, membantu orang tua yang menua, menanggung biaya adik kuliah. Dia mungkin tidak punya waktu liburan, tapi punya hati yang lapang. Ia tidak punya rumah besar, tapi punya tempat pulang yang penuh cinta. Aku pernah mendengar seorang teman berkata dengan getir;

“Kerja keras sekarang kayaknya cuma cukup buat hidup, bukan buat mimpi.”

Aku diam waktu itu. Tapi di dalam hati, aku menjawab, tidak apa-apa, yang penting hidupmu punya arah, bukan sekadar angka. Karena di dunia yang serba cepat ini, bisa tetap berjalan dengan kepala tegak adalah bentuk keberanian yang luar biasa. Kadang aku ingin berteriak pada dunia yang selalu menilai manusia dari saldo dan status:

“Tidak semua yang bekerja itu ingin kaya! Ada yang hanya ingin tenang.”

Dan memang, ketenangan itu mahal, lebih mahal dari apapun, bahkan oleh gaji akhir bulan. Ketenangan itu muncul, ketika kita berbuat sebaik mungkin, meski hasilnya belum sesuai harapan.

Malam tiba. Di kamar sederhana, aku menatap atap, mencoba menghitung rasa syukur. Hari ini, aku masih punya pekerjaan, lagi bisa membeli kopi. Sedang bisa menelepon keluarga di rumah, dan tengah bisa tertawa kecil pada hidup yang kadang lucu, kadang kejam. Bukankah itu sudah bentuk kebahagiaan juga?

Aku ingat pesan Almarhum Bapak:

“Kalau kamu kerja karena cinta, lelahnya akan terasa ringan. Tapi kalau kerja cuma karena takut miskin, hidupmu akan terasa sempit.”

Dan benar saja, setiap kali aku melihat wajah orang-orang yang kucintai, keluarga, sahabat, bahkan senyum penjaga warung langganan. Dari mereka terselip rasa hangat yang menenangkan. Seolah semua jerih payahku hari ini punya arti, meski tak semua orang bisa melihatnya.

Kita hidup di zaman yang gemar membandingkan. Orang-orang sibuk memamerkan pencapaian, seolah kebahagiaan perlu legitimasi oleh layar ponsel. Tapi di balik semua itu, ada jutaan orang sederhana yang diam-diam berjuang dengan caranya sendiri, tanpa viral, tapi nyata.

Mereka, setiap pagi menyiapkan tenaga dan harapan, meski kadang keduanya tersisa sedikit. Mereka paham bahwa kerja bukan perlombaan, tapi pengabdian kecil pada kehidupan. Dan mungkin, di situlah letak keindahan hidup. Ketika kita bisa tertawa di tengah keterbatasan, tetap bersyukur meski tak berlebih, dan terus percaya bahwa kebaikan tak pernah sia-sia.

Aku menutup hari ini dengan satu kesimpulan kecil, bahwa tidak punya tabungan bukan berarti tidak punya masa depan. Selama kita masih punya hati untuk berjuang, tangan untuk memberi, dan membagi senyum untuk semua, kita tetap layak menjalani hidup.

Karena sesungguhnya, bekerja itu bukan hanya mencari uang, tapi mencari makna. Dan bertahan, bukan sekadar menunggu gajian, tapi meneguhkan diri bahwa kita masih hidup, tetap punya harapan, dan selalu memiliki cinta.

Refleksi kecil sebelum tidur:

“Tidak apa-apa kalau kamu belum punya banyak, asal kamu masih punya semangat. Karena di balik setiap kelelahanmu, semesta sedang menyiapkan bentuk kebahagiaan yang kamu belum sempat pahami.”