Dalam dinamika politik Indonesia yang terus bergerak, kita mengenal istilah “politik sundel bolong”. Istilah ini layak sebagai simbol tajam untuk menjelaskan fenomena politik yang kontradiktif antara tampak luar dan dalam. Jelasnya, dari luar tampak memukau, namun menyimpan kerusakan nilai dan kepentingan gelap di balik tirai.
Tampilan Menawan: Janji Indah dan Citra Palsu
Figur politisi dan partai kerap membangun citra yang menggoda. Mereka menyuarakan pembangunan, keberpihakan pada rakyat kecil, serta semangat perubahan sebagai hiasan belaka untuk menutupi ambisi pribadi. Dalam kampanye maupun media sosial, mereka tampil seolah-olah sebagai pahlawan bangsa, mereka adalah wajah depan dari “sundel bolong”.
Tetapi, sebagaimana legenda makhluk tersebut, kecantikan itu hanya ilusi dari satu sisi. Ketika publik mulai mencermati lebih dalam, yang tersingkap adalah kebobrokan, pengkhianatan, kerakusan, dan kehancuran.
Kebusukan Tersembunyi: Korupsi dan Politik Elitis
Di balik ucapan manis, tersembunyi praktik korupsi, nepotisme, dan transaksi politik. Kebijakannya bukan demi kemaslahatan umum, tetapi untuk melayani kepentingan elite dan kelompok tertentu. Memanfaatkan sistem birokrasi hanya untuk memperkaya golongan sendiri. Inilah sisi belakang dari politik sundel bolong, bau busuk dari sistem yang terlihat rapi, tapi membusuk di dalam.
Demokrasi tanpa Jiwa
Dalam kondisi seperti ini, demokrasi kehilangan maknanya. Pemilu hanya menjadi formalitas, ketika masyarakat memilih berdasarkan manipulasi pencitraan, bukan pengetahuan dan integritas. Jika demokrasi hanya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, maka ia akan menjadi kerangka kosong, serupa sundel bolong yang tak bernyawa.
Fenomena “politik sundel bolong” bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari kombinasi budaya politik yang permisif, lemahnya pengawasan sosial, dan kualitas demokrasi yang belum sepenuhnya matang. Ketika masyarakat mulai terbiasa memaklumi kebohongan atas nama “kestabilan” atau menutup mata terhadap penyalahgunaan kekuasaan selama ada imbalan jangka pendek. Hal itu penanda jalan bagi politik tipu-tipu semakin terbuka lebar.
Media massa, yang idealnya menjadi penjaga demokrasi dan pengawas kekuasaan, dalam kenyataan justru kerap ikut memperkuat ilusi. Sebagian besar media lebih memilih memainkan peran sebagai pengemas citra ketimbang pengungkap kebenaran. Alih-alih menampilkan berita yang mendidik dan kritis, mereka sering menyajikan tayangan yang menarik perhatian tapi minim substansi. Hasilnya, politik hanya menjadi tontonan penuh sensasi, bukan ruang adu gagasan dan moralitas.
Sementara itu, literasi politik masyarakat masih sangat rendah. Sistem pendidikan belum membekali generasi muda dengan kecakapan berpikir kritis dalam memahami sistem kekuasaan dan hak-haknya sebagai warga negara. Ruang dialog publik pun makin mengecil, terkikis oleh polarisasi tajam dan maraknya ujaran kebencian. Dalam situasi seperti ini, masyarakat mudah terseret oleh propaganda dan narasi palsu dari para aktor politik. Hasilnya, politik pencitraan pun makin mendominasi.
Idealisme Tergadai
Ironisnya, politisi yang mengadopsi strategi “sundel bolong” tidak merasa perlu menyembunyikan taktik mereka. Mereka nyaman dan percaya diri karena sistem secara tidak langsung melindungi praktik-praktik kepalsuan. Bahkan ketika skandal besar seperti korupsi atau konflik kepentingan terkuak, kemarahan publik sering hanya bersifat sementara. Tak jarang, pelaku justru kembali memenangkan hati pemilih lewat aksi-aksi populis menjelang pemilu.
Inilah ironi yang menyakitkan. Yaitu, saat masyarakat mulai terbiasa tersakiti, dan secara tak sadar mulai menyayangi mereka yang melukai. Ketika kita menganggap kecurangan menjadi hal lumrah dalam dunia politik, tokoh-tokoh bersih dan idealis pun kesulitan bertahan. Mereka yang menolak bermain dalam sistem “bolong” seringkali terpinggirkan. Bolong dari perhatian media, kurang dana, dan kalah dalam panggung popularitas.
Karena itu, perjuangan melawan praktik politik semu bukanlah tugas segelintir individu, melainkan tanggung jawab bersama. Kesadaran politik harus bertumbuh sejak dini, di sekolah, di rumah, dan di ruang publik. Media harus mengembalikan peran dasarnya sebagai pilar demokrasi, bukan sekadar penghibur atau alat propaganda. Dan yang terpenting, rakyat perlu membekali kemampuan untuk memilih berdasarkan nilai, bukan hanya kata-kata manis.
Penutup
Jika kita mengabaikannya, maka wajah “politik sundel bolong” akan terus menggoda dan menipu, mempercantik permukaan sambil merusak dari dalam. Ia bukan sekadar metafora, tapi gambaran nyata dari sistem yang kehilangan arah. Kita tidak boleh terperdaya, dan mari kita perbaiki secara bersama-sama.
Konsep “politik sundel bolong” seharusnya menjadi sindiran keras bagi praktik politik masa kini yang hanya elok di luar namun bobrok di dalam. Rakyat harus lebih sadar, dan tidak mudah terpesona oleh penampilan dan janji kosong. Kita harus berani mengungkap siapa yang benar-benar memperjuangkan kepentingan publik. Jika tidak, politik akan mengelabuhi kita, meski sesungguhnya menyimpan kematian di jantungnya.













Tinggalkan Balasan