Laut Terkungkung, Hidup Terlunta

Laut Terkungkung, Hidup Terlunta
Sumber Foto : Pixabay

Laut Terkungkung, Hidup Terlunta. Di sebuah desa kecil di pesisir Pantai Utara Jakarta, hidup seorang nelayan tua bernama Pak Raji. Ia adalah saksi dari perubahan yang perlahan-lahan menghapus kisah laut di depan rumahnya. Dulu, airnya biru jernih dan penuh ikan. Kini, laut itu berubah keruh, tersekat oleh pagar besi memanjang sejauh mata memandang.

Beberapa tahun sebelumnya, sebuah proyek besar merobek keperawanan desa tersebut. Pemerintah bersama para investor mengusulkan pemasangan pagar di sepanjang pesisir untuk melindungi kawasan dari abrasi laut sekaligus mendukung pembangunan properti mereka. “Demi kebaikan bersama,” begitu bunyi alasannya. Pada awalnya, para warga termasuk Pak Raji, menyambut ide itu dengan harapan. Sehingga, tak seorang pun membayangkan bahwa keputusan tersebut akan membawa dampak besar yang menyesakkan.

Ketidaktahuan yang Berbuah Nestapa

Pada awalnya, ketika pagar-pagar itu berdiri, kehidupan warga desa berubah drastis. Bahkan, Pak Raji, yang biasa melaut dengan perahu kecilnya, kini harus mencari cara untuk melewati pagar. “Apa gunanya laut berada begitu dekat, kalau kami tak bisa mencapainya?” keluhnya suatu pagi. Beberapa akses memang tersedia, meski jumlahnya terbatas. Akibatnya, perjalanan nelayan menjadi lebih lama, biaya bahan bakar meningkat, dan tangkapan ikan berkurang karena area mereka terbatasi.

Kondisi ini membuat kehidupan nelayan semakin sulit. Anak-anak muda desa mulai meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan lain di kota. Mereka tak lagi melihat harapan di laut yang dulu menjadi sumber rezeki. Ironisnya, pagar yang sedianya membawa manfaat justru menjadi penghalang, membelah penduduk lokal dari pembangunan yang pada awalnya untuk mereka.

Dampak yang Tak Terduga

Masalah tidak berhenti di situ. Saat hujan deras mengguyur, air tak lagi leluasa mengalir ke laut karena terhalang pagar. Desa-desa pesisir mulai terendam banjir. Lahan pertanian rusak, rumah-rumah hancur, dan sebagian warga terpaksa mengungsi. Sementara itu, kawasan elit di balik pagar tetap aman, berdiri megah tanpa terganggu.

“Dulu kami kira pagar ini akan melindungi kami dari laut,” ucap Pak Raji kepada cucunya pada suatu sore. “Tapi yang sebenarnya kami butuhkan bukan pagar, melainkan cara hidup yang selaras dengan laut.”

Hikmah dari Laut

Pak Raji mewariskan satu pelajaran penting kepada cucunya, bahwa laut bukanlah musuh, melainkan sahabat dalam suka maupun duka. Abrasi dan banjir hanyalah peringatan bahwa manusia telah salah memperlakukan alam. Solusi terbaik bukanlah menjauh dari laut, melainkan belajar hidup berdampingan dengannya.

Lama kelamaan, suara warga mulai tersiar. Organisasi lingkungan dan komunitas nelayan bergabung menyuarakan pentingnya pendekatan yang lebih bijaksana. Sebagian pagar akhirnya dibongkar, memberikan ruang bagi laut untuk kembali mengalir bebas dan bagi nelayan untuk mendapatkan kembali penghidupan mereka.

Laut tak pernah menuntut banyak, pikir Pak Raji. Ia hanya butuh ruang untuk mengalir dan memberi kehidupan. Kini, di usia senjanya, ia merasa lega melihat generasi muda mulai memahami dan belajar dari kesalahan masa lalu.

Pak Raji duduk di depan rumahnya, matanya memandang laut yang perlahan mulai pulih seperti dulu. Meski pagar-pagar besi itu belum sepenuhnya hilang, sebagian telah roboh, memberikan ruang bagi ombak untuk mencapai pantai dan perahu-perahu kecil untuk kembali bersandar dengan leluasa. Angin sore yang sejuk membawa aroma khas laut, membangkitkan kenangan masa mudanya saat hidup sebagai nelayan terasa sederhana namun cukup bagi semua orang.

Cucunya, Andri, berlari menghampiri sambil membawa ember kecil berisi kerang yang baru dikumpulkan di pantai. “Kakek, lihat! Kerang-kerangnya sudah ada lagi!” teriaknya dengan riang. Pak Raji tersenyum.

Kerang-kerang kecil yang dulu menghiasi pantai itu merupakan bagian penting dari ekosistem yang mendukung kehidupan para nelayan. Namun, bertahun-tahun pembangunan telah membuat mereka menghilang. Kini, setelah sebagian pagar dibongkar dan air laut kembali bebas mengalir, tanda-tanda kehidupan perlahan-lahan kembali hadir.

Kebangkitan Harapan

Andri duduk di samping kakeknya, matanya berbinar menatap laut dengan penuh rasa penasaran. “Kakek, apakah dulu laut ini seluas ini?” tanyanya polos. Pak Raji tersenyum dan mengangguk. “Laut tak pernah berubah, Nak. Yang berubah adalah cara kita melihatnya yang sempat terhalang.”

Pak Raji kemudian berbagi cerita tentang masa lalu, ketika laut menjadi pusat kehidupan desa mereka. “Dulu kami tak perlu pergi jauh untuk mendapatkan ikan. Pantai ini adalah rumah bagi banyak makhluk hidup. Tapi begitu pagar itu dibangun, semuanya berubah. Laut seakan bukan milik kami lagi,” kenangnya.

Andri mendengarkan dengan serius, menyadari bahwa generasinya memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesalahan masa lalu tak terulang. “Kalau begitu, Kakek, apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Pak Raji menatapnya lembut. “Kita harus menjaga apa yang telah dikembalikan kepada kita. Jangan serakah, jangan mencemari laut, dan selalu dengarkan apa yang disampaikan alam. Ingat, laut memberikan banyak kepada kita, tapi jika kita memaksanya terlalu keras, dia bisa berhenti memberi.”

Persatuan Warga Desa

Setelah bertahun-tahun terpecah oleh berbagai kepentingan, warga desa mulai bersatu kembali. Mereka bekerja sama dengan aktivis lingkungan dan para ahli untuk memulihkan ekosistem laut. Di sepanjang pantai, mereka mulai menanam mangrove untuk mengatasi abrasi secara alami. Selain itu, koperasi nelayan dibentuk untuk memastikan hasil tangkapan dikelola secara bijak dan dijual dengan harga yang adil.

Andri, meski masih kecil, tumbuh di tengah perubahan ini. Ia belajar tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, tak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Pada suatu sore, saat Andri membantu kakeknya merapikan jaring, ia berkata pelan, “Kakek, kalau aku besar nanti, aku ingin jadi nelayan seperti Kakek. Tapi aku juga ingin menjaga laut ini supaya tetap hidup.” Pak Raji tersenyum bangga, mengusap kepala cucunya dengan penuh kasih.

Saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, Pak Raji merasa yakin bahwa masa depan laut dan desanya berada di tangan yang tepat. Laut kembali menghembuskan napas kehidupan, dan bersama ombak yang kini bebas bergerak, harapan pun tumbuh kembali.