Saat Langit Tak Lagi Merdeka

Saat Langit Tak Lagi Merdeka
Sumber Foto : Pixabay

Di suatu masa yang tak begitu jauh dari sekarang, tanah dan air telah menjadi hak milik segelintir orang. Pagar besi membatasi sungai-sungai, lautan memiliki gerbang, dan sawah-sawah telah berganti menjadi lahan beton dengan papan bertuliskan:

“Dilarang Masuk, Ini Milik Pribadi.”

Orang-orang kecil tak lagi bisa menginjak tanah tanpa membayar. Mereka yang dahulu menggantungkan hidup pada air kini hanya bisa menyaksikan para nelayan kaya dengan kapal modern yang memiliki izin eksklusif. Sumber kehidupan telah berubah menjadi komoditas, dan manusia perlahan terbiasa menjual haknya demi bertahan.

Kewaspadaan Damar

Suatu malam, seorang anak bernama Damar duduk di atap rumahnya yang sempit, menatap langit dengan penuh pertanyaan.

Ayahnya kerap berpesan, “Damar, jangan terlalu sering melihat ke atas, fokuslah ke depan dan jalani hidup.”

Namun malam itu, Damar tak bisa mengalihkan pandangannya dari bintang-bintang.

“Ayah,” panggilnya, “apakah langit juga bisa dikavling?”

Ayahnya tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan di matanya.

“Langit terlalu luas untuk itu, Nak,” jawabnya.

“Tapi dulu tanah dan air juga seperti itu,” Damar menimpali.

“Sampai akhirnya orang-orang mulai membatasi dan mengklaimnya sebagai milik mereka. Bagaimana jika suatu hari langit berbayar?”

Ayahnya terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi pikirannya mulai mengembara. Bagaimana jika itu benar terjadi? Bilamana jika suatu saat ada perusahaan yang menguasai udara bersih dan manusia harus membayar untuk bernapas? Gimana jika hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati awan? Lalu, bila jalur terbang burung pun diatur berdasarkan kepemilikan wilayah udara?

Mungkin suatu hari nanti, orang-orang akan menengadah dan mendapati langit telah terbagi-bagi dalam batasan yang tak terlihat. Mereka yang miskin hanya bisa menikmati sinar matahari dalam waktu terbatas. Hujan tak akan turun sembarangan, kecuali bagi mereka yang membayar layanan eksklusif.

Ayah Damar menarik napas panjang.

“Mungkin,” katanya lirih, “dunia memang sedang mengarah ke sana.”

Damar menunduk.

“Kalau begitu, Ayah,” ucapnya pelan, “aku ingin menjadi orang yang menghancurkan pagar-pagar itu sebelum langit terampas dari kita.”

Malam itu, langit masih bebas. Tapi tak ada yang tahu sampai kapan.

Langit yang Masih Tersisa

Malam itu, angin bertiup lembut, membawa suara gemerisik dedaunan yang terselip di antara gedung-gedung beton. Damar tetap menatap langit, membayangkan kemungkinan buruk yang selama ini menghantuinya. Bagaimana jika awan tak lagi bergerak bebas, tetapi hanya boleh melayang di area tertentu sesuai ketentuan pemiliknya? Bagaimana jika hanya mereka yang mampu membayar yang bisa menikmati keindahan bintang melalui observatorium eksklusif?

Damar mengepalkan tangan.

“Aku tak ingin dunia berubah seperti itu, Ayah.”

Ayahnya tersenyum samar, namun sorot matanya menyiratkan kelelahan.

“Terkadang, Nak, keinginan saja tak cukup untuk mengubah keadaan.”

“Tapi seseorang harus berani mencoba.”

Tatapan Damar dipenuhi tekad.

“Jika tidak ada yang menentang, orang-orang serakah akan terus berkuasa.”

Ayahnya terdiam sesaat sebelum menghela napas panjang.

“Kau benar. Tapi mereka yang berani menentang biasanya akan lebih dulu dihancurkan.”

Damar menggeleng mantap.

“Aku tak peduli. Jika aku harus berjuang agar langit tetap menjadi milik semua orang, aku akan melakukannya.”

Keesokan harinya, Damar berlari ke sekolah dengan ide besar yang menggelora dalam pikirannya. Ia segera menemui kedua sahabatnya, Nisa dan Arif.

“Kita harus bertindak sebelum langit juga diprivatisasi seperti tanah dan air,” ucapnya penuh semangat.

Nisa mengernyit. “Maksudmu apa? Langit terlalu luas untuk dimiliki siapa pun.”

Arif terkekeh pelan. “Dulu orang juga berpikir laut adalah milik bersama, tapi lihat sekarang. Tanpa izin, kau bahkan tak bisa sekadar menangkap ikan di sana.”

Nisa terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Jadi, apa rencanamu, Damar?”

Damar tersenyum.

“Kita harus menyadarkan orang-orang. Jika kita hanya diam, suatu hari mereka akan mulai menjual langit. Mereka akan menciptakan aturan yang menyatakan bahwa udara bersih bukan hak semua orang, melainkan sesuatu yang harus dibeli. Mereka akan menciptakan batas-batas tak kasat mata, dan kita hanya bisa pasrah menerimanya.”

Arif menghela napas.

“Tapi kita cuma anak-anak. Apa yang bisa kita lakukan?” “Kita bisa membuat orang-orang mulai berpikir.”

Titik Terang

Mereka pun mulai bertindak. Damar dan teman-temannya membuat poster sederhana yang menggambarkan kemungkinan langit yang dikavling.

Mereka menuliskan pesan-pesan di dinding sekolah:

“Hari ini tanah dan air, besok langit dan udara!”

“Bagaimana jika kita harus membayar untuk hujan?”

“Jika segelintir orang menguasai langit, ke mana burung akan terbang?”

Kesimpulan

Awalnya, orang-orang menganggap mereka hanya berkhayal. Namun perlahan, percakapan mulai bermunculan. Guru-guru mulai membahasnya di kelas. Para orang tua mulai memperbincangkannya di rumah.

Sebuah kesadaran perlahan tumbuh. Mungkin, sebelum pengavlingan benar-benar, masih ada kesempatan untuk menghentikannya.