Di sebuah negeri yang diliputi kabut kediktatoran, kekuasaan beroperasi seperti mesin yang tak tergoyahkan. Setiap catatan ditulis ulang, dipoles, dan diubah menjadi narasi yang menyanjung para pemimpin. Rakyat hidup di bawah bayang-bayang satu doktrin: Lupa adalah berkah.
Namun, tidak semua menerima dogma itu.
Amara, seorang perempuan muda, bekerja sebagai penjaga sebuah perpustakaan tua di pinggiran kota. Tempat itu adalah salah satu dari sedikit lokasi yang masih luput dari kendali rezim. Buku-buku yang tersimpan di sana, banyak di antaranya dianggap terlarang, mengungkap sejarah yang bertentangan dengan propaganda pemerintah. Bagi Amara, setiap halaman adalah warisan ingatan kolektif yang terenggut dari rakyat.
“Jika kita melupakan, mereka menang,” ujar ayah Amara sebelum menghilang bertahun-tahun lalu. Kalimat itu terpatri di hati Amara, menjadi pegangan dalam hidupnya.
Pada suatu malam, seorang pemuda bernama Damar tiba di perpustakaan. Wajahnya penuh dengan luka, napasnya terengah-engah, dan tangannya menggenggam selembar surat yang robek separuh. “Ini dari kelompok perlawanan,” katanya. “Kami perlu membaca buku-buku ini. Mereka mencoba menghapus nama korban di desa kami. Tapi kami tahu kebenarannya masih ada.”
Amara sadar, inilah saatnya bertindak. Selama ini, dia hanya menjaga perpustakaan, tetapi malam itu dia memahami bahwa diam tidak lagi cukup. Bersama Damar, dia mulai menyalin informasi dari buku-buku tua ke lembaran-lembaran baru, lalu menyelundupkannya keluar melalui jaringan rahasia pimpinan kelompok bawah tanah.
Setiap malam adalah ujian keberanian. Penjaga Kebeningan, pasukan khusus pemerintah, berpatroli mencari siapa pun yang mencoba menggali masa lalu. Adanya anggapan, bahwa “mengingat” adalah ancaman bagi stabilitas. Namun, Amara dan Damar tetap bekerja dalam sunyi, menyelamatkan cerita-cerita, nama-nama, dan peristiwa yang nyaris terlupakan.
Pada malam yang dingin, sebuah pengkhianatan terjadi. Salah satu anggota jaringan mereka tertangkap dan terpaksa membocorkan lokasi perpustakaan. Tak lama, Penjaga Kebeningan datang membawa truk dan obor, bersiap menghancurkan bangunan itu.
Amara tetap bertahan. Bersama Damar, dia berdiri di depan pintu perpustakaan, menggenggam gulungan dokumen yang baru mereka salin. “Hancurkan tempat ini,” kata Amara, suaranya tenang meskipun tubuhnya gemetar. “Tapi ingatan ini sudah menyebar. Lebih jauh dari jangkauan kalian.”
Perpustakaan tua itu terbakar hingga rata dengan tanah. Namun, Amara dan Damar berhasil melarikan diri, membawa dokumen-dokumen yang telah mereka sembunyikan di tempat lain. Meski menjadi buronan, pesan mereka telah sampai ke hati banyak orang: kekuasaan tidak bisa memusnahkan ingatan.
Bertahun-tahun setelah kejadian itu, nama Amara dan Damar bergaung dalam bisikan warga. Generasi baru yang lahir di bawah penindasan menjadikan kisah mereka sebagai inspirasi. Seperti nyala lilin kecil di tengah kegelapan, perjuangan melawan lupa terus menyala, menunjukkan bahwa meski kekuasaan berusaha menghapus kebenaran, ingatan akan selalu menemukan jalannya untuk bangkit.
Meskipun perpustakaan telah lenyap menjadi abu, perjuangan Amara dan Damar baru saja dimulai. Mereka menjalani hidup dengan berpindah-pindah, mengunjungi desa-desa terpencil untuk menyebarkan dokumen-dokumen yang berhasil mereka selamatkan. Setiap lembar kertas yang mereka bagikan menjadi percikan kecil yang membangkitkan kesadaran rakyat.
Di tengah perjalanan mereka, Amara dan Damar bertemu dengan kelompok-kelompok kecil yang menolak tunduk pada propaganda pemerintah. Salah satunya adalah Kirana, seorang wanita tua yang pernah menjadi guru sebelum pelajaran sejarah hilang dari kurikulum. Kirana menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar rahasia, mengajarkan anak-anak tentang sejarah yang sesungguhnya. Dokumen-dokumen dari Amara menjadi bahan utama Kirana untuk membuka mata generasi muda, menunjukkan bahwa realitas yang mereka ketahui hanyalah bagian kecil dari kebenaran.
Namun, perjuangan ini bukan tanpa ancaman. Pasukan Penjaga Kebeningan terus mengejar mereka, sementara laporan tentang penangkapan dan penghilangan aktivis muncul hampir setiap minggu. Meskipun demikian, Amara dan Damar tidak gentar. Mereka percaya bahwa semakin banyak orang yang menyadari kebenaran, semakin sulit bagi kekuasaan untuk menyingkirkan ingatan.
Pada suatu malam, mereka menyusup ke pusat kota, tempat layar-layar besar menyajikan propaganda pemerintah. Dengan bantuan jaringan perlawanan setempat, mereka meretas sistem penyiaran. Alih-alih propaganda, layar-layar itu menampilkan arsip sejarah yang telah tersamarkan. Nama-nama korban yang hilang terpampang, beserta rekaman suara keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kebijakan rezim.
Rakyat yang sebelumnya meyakini slogan Lupa adalah berkah tertegun. Untuk pertama kalinya, mereka menyaksikan kenyataan yang selama ini tersembunyi.
Aksi itu menjadikan Amara dan Damar buronan paling berbahaya. Namun, apa yang mereka lakukan telah menyalakan api perlawanan yang lebih besar. Rakyat mulai berbicara, mengingat, dan berdiskusi tentang apa yang sebelumnya terjadi sumbatan. Pesan Amara pun menggema di mana-mana: Ingatan adalah kekuatan.
Meskipun kekuasaan mengejar mereka terus-menerus, Amara dan Damar tahu bahwa perjuangan ini untuk generasi setelahnya. Ini tentang menjaga kebenaran untuk generasi mendatang, memberikan mereka keberanian untuk melawan. Di tengah gelapnya penindasan, ingatan yang mereka nyalakan terus menjadi suar harapan bagi rakyat yang merindukan kebebasan.
Pesan:
Melawan kekuasaan berarti menjaga ingatan tetap hidup. Tanpa ingatan, manusia kehilangan landasan untuk melawan ketidakadilan. Ingatan adalah senjata yang tak pernah bisa hancur.
Tinggalkan Balasan