Orang tua dulu simpel memberikan nama anaknya, seperti Agus, Bambang, Wati, Suharti, terdengar sangat sederhana bukan? Tapi, hari ini mereka tidak bisa lagi menemukan nama-nama ndeso tersebut. Mereka sering dengar nama Sharon, Azahra, Kania, yang terdengar sulit dituturkan dengan lidah jawa. Padahal, para milenial memberi nama rumit pada anaknya melalui pertimbangan tertentu sembari berharap kebaikan anak-anaknya kelak.
Pergeseran penamaan anak kian hari kian unik dan beragam. Faktor sosial, budaya, dan lingkungan yang mempengaruhi perbendaharaan kosakata nama buah hati dari lokal ke asing. Para milenial meninggalkan kesan jadul dalam penamaan anak seperti Harto, Harti, dan beralih ke kosakata Inggris dan Arab.
Seperti kebiasaan orang tua dulu merasa bangga kalau pemberian nama untuk cucunya diikuti anak dan menantu. Suatu waktu, saya titip nama untuk calon cucu dari putri saya yang sedang hamil tua, tapi selang setelah putri saya melahirkan mereka tetap menggunakan nama pilihannya. Kondisi yang sama, berlaku kebanyakan di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja yang mengalami pergeseran nama cucu meskipun akhirnya mereka dapat memaklumi pilihan nama anak dari anak-anaknya.
Hampir jarang ditemui nama Anak Jawa khususnya berasal dari kosakata jawa, seangkatan saya dulu masih seksi menggunakan nama-nama Turmudi, Wiranto, Sutini, Sunarwati, Paijem, dan Budi. Saat ini lebih sering didapati nama-nama seperti Alfarizki, Atharrazka, Asher, Alton, dll (Disarikan dari popmama.com/nama-bayi-laki-laki-bermakna-keberuntungan/12-Agustus-2021). Masih dari sumber yang sama, penamaan anak dengan bahasa asing mendominasi keluarga-keluarga muda dari orang tua kelahiran 1970 – 1990.
Milenial memilih alternatif nama anak-anaknya lebih rumit dan jarang dipakai oleh orang lain agar nama anaknya terasa unik dan kekinian. Diawal telah disebutkan bahwa pemilihan nama tergantung pandangan dan wawasan orang tua, hingga pilihan nama dengan jumlah suku kata maupun katanya pun terukur mengikuti kemodernan. Sementara anak-anak yang lahir pada era tujuh puluhan cenderung memilih nama lebih sederhana, seperti Saniyem, Hartono, dan Wiranto.
***
Menurut Pakar Ilmu Linguistik, Nurhayati dari Universitas Diponegoro, penyematan nama beraura kekinian dapat meningkatkan status sosial anak serta keluarga di mata masyarakat. Menurutnya, pergeseran-pergeseran nama tersebut untuk menyembunyikan identitas kedaerahan senyampang memunculkan identitas baru. Sebagian masyarakat menganggap, pemberian nama bercorak global akan menunjukkan identitas berbeda yang dianggap dapat menaikkan status sosial mereka.
Fenomena penamaan anak memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus siap menjadi bagian dari masyarakat dunia. Oleh sebab itu, sedini mungkin anak-anak mulai dipersiapkan tingkat status sosialnya dengan nama-nama yang lebih mendunia. Dan, dengan menggunakan nama-nama dari bahasa asing diharapkan anak-anak mulai memasuki strata sosial yang lebih tinggi.
Fenomena yang dialami seorang teman dengan latar belakang nama berkelahiran tujuh puluhan mengalami kesulitan saat melamar pekerjaan. Mengandalkan pengalaman semata tidak cukup berhasil mendongkrak CV nya dilihat Bagian SDM. Perubahan masyarakat dari sosial menuju egaliter berdampak pada cara pandang mereka, dan adanya anggapan nama lokal akan mengungkung dirinya keluar menuju status sosial yang diharapkan.
Pergeseran mendunia nama anak Indonesia secara paralel terjadi pula pada anak-anak di luar negeri. Sistem eranial 4.0 melancarkan perpindahan budaya tidak hanya tingkat lokal melainkan dunia dengan sekali sentuh. Hal ini membuktikan betapa masyarakat zaman sekarang hidup dalam komunitas yang sangat tak terbatas. Kondisi ini dinikmati para orang tua di luar negeri dalam memberikan nama pada anak-anaknya.
Lintas budaya pada nama anak dunia turut mempengaruhi para orang tua dalam selera musik dan gaya rambut. Periode tahun dua ribuan orang tua menambahkan nama anaknya dengan panggilan Liam karena terinspirasi oleh ketenaran seorang Anchor TV sekaligus Musikus Denmark bernama Liam O’Connor. Di awal tahun sembilan puluh satuan terlahir 15 ribuan anak baru lahir di Prancis bernama Kevin setelah meledaknya pilem terkenal saat itu berjudul “Home Alone” yang diperankan oleh Kevin McCallister.
***
Seorang Penyair Arab mengatakan, “Jarang sekali pandanganmu melihat pemilik gelar (laqab), kecuali dengan maknanya jika kau renungkan gelarnya.” Hal ini dimaksudkan, penggunaan nama yang paling disukai oleh pemimpinNya harus mencerminkan sifat-sifat kebaikanNya. Penambahan kata disamping nama menunjukkan penghambaan kepadaNya, niscaya akan dimuliakan dalam kehidupannya. Nama disini bermakna sebuah pengharapan agar manusia selalu dilindungi dalam setiap gerak dan langkah, karena Allah SWT sangat menyayangi hamba-hambaNya.
Namun, pendapat diatas berbeda dengan ungkapan seorang pujangga dari Inggris bernama William Shakespear. Baginya, a rose by any other name is still sweet yang dalam pengertian bebas “Apalah arti sebuah nama.” Shakespear mengungkapkan, sekuntum mawar dalam nama lain tetaplah harum, meskipun hal ini ditentang oleh pengikut-pengikut Islam yang hendak mengangkat harkat manusia melalui sebuah nama.
“Nama” merupakan sesuatu yang bersifat unik, mengandung nilai kesejarahan, nilai fakta, dan sosio kultural suatu masyarakat, walaupun ada kecenderungan mulai bergesernya nama-nama lokal kepada nama-nama asing. Dalam memberikan nama, setiap orang tua pastinya memiliki tujuan tertentu, baik karena makna nama maupun tujuan lainnya. Tanpa disadari, pemberian nama oleh orang tua sesungguhnya sedang mewariskan budaya kepada anak-anaknya.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo
Tinggalkan Balasan