Teknologi Terkini dan Sebuah Tragedi

Kala cuaca panas menjelang tengah hari, aku dikejutkan dengan berita yang sungguh mengiris hati dengan terjadinya sebuah kecelakaan tak jauh dari rumah. Berita itu hanya sepersekian detik dari saat kejadian, telah menyebar di seluruh media sosial. Lengkap dengan foto hasil rekaman dari seseorang yang “bergerak cepat” mengabadikan momen dan berhasil mempermainkan emosi siapa pun yang melihatnya.

Saya lebih memilih untuk menyebutnya sebagai tragedi. Dua hamba Illahi yang menjemput maut ketika hendak menuntut ilmu di pagi hari. Ibarat bunga, mereka adalah kuncup bunga harapan bangsa yang tiba saatnya nanti, mekar dan semerbak harum berhiaskan ilmu pengetahuan dan budi pekerti luhur dalam menyongsong masa depan.

*

Membaca status teman-teman di WhatsApp kadang seolah menjadi kegiatan sehari-hari yang wajib padahal tidak membaca pun sebenarnya tidak rugi. Dari yang berupa keluh kesah sehari-hari, aktivitas di sana sini, sedikit pamer ini itu hingga berbagi informasi yang menurut sebagian orang sangat penting tapi sesungguhnya cukup nggegirisi alias menyayat hati.

Salah satu yang sering saya jumpai adalah membagi rekaman tentang peristiwa kecelakaan lalin seperti di atas. Meski sudah banyak yang memohon untuk menghentikan tersebarnya video dari tragedi tersebut, tapi kenyataannya bahkan semakin banyak yang menyebarkannya dengan dalih bermanfaat.

Bermanfaat? Buat siapa? Keluarga korban apa masyarakat luas? Berbagi info memang bermanfaat, tapi berbagi gambar-gambar terjadinya sebuah kecelakaan maut tentu berdampak traumatik terutama bagi keluarga. Kepedihan yang dirasa akan makin dalam dan sempurna dengan semakin banyaknya gambar yang tersebar luas tanpa bisa dicegah.

Lagi-lagi teknologi canggih sangat mendukung dalam hal ini. Dengan teknologi, informasi apa pun akan cepat menemui sasaran secepat kilat. Memang banyak keuntungan yang didapat bagi siapa saja yang mampu memanfaatkan berbagai teknologi canggih saat ini. Namun teknologi canggih pula yang seakan jadi tersangka ketika ulah beberapa gelintir manusia yang menguasainya lalu melahirkan luka dalam di sejumlah dada yang tengah berduka.

Tentu bukan salah kemajuan zaman atau kemajuan teknologi. Hanya kita sendiri yang tahu apakah nurani kita telah mati rasa atau pura-pura mati, sehingga dengan mudahnya mengambinghitamkan teknologi atas beberapa perkara yang seharusnya tidak terjadi. Salah satunya kejadian-kejadian tragis yang secara tak sengaja kita temui.

Media sosial yang lahir dari rahim teknologi, tak terhitung dengan jari. Baik itu Facebook, Twitter, YouTube maupun TikTok dan lain sebagainya. Secara pelan namun pasti saat kita sudah berinteraksi dengan “mereka”, serasa sulit berpisah. Apalagi ketika sudah terpesona dengan apa saja yang ada didalamnya. Bagaikan terhipnotis, dalam jangka lama semakin akrab dan semakin mesra.

Diakui atau tidak, di zaman serba canggih ini, hampir tidak ada yang tak mengenal media sosial. Dari batita hingga lansia semua mengenal medsos dan membutuhkan medsos untuk mencari berbagai info terkini. Meski sebagai sumber informasi di era teknologi maju, medsos pun tidak luput dari sisi positif maupun negatif.

Butuh waktu yang tidak singkat untuk memahami sekaligus menikmati produk teknologi ini secara positif. Terlena akan kecanggihannya sering membuat kecanduan bagi siapa saja tanpa mengenal usia. Tanpa kita sadari mungkin sudah beberapa jam terlewati ketika kita berselancar di medsos yang isinya memang lengkap alias komplit termasuk berita suka maupun duka.

Setiap berita yang diunggah melalui medsos akan cepat sampai ke publik, tak peduli berita itu baik atau buruk. Pada sebagian orang, kemungkinan ada semacam rasa bangga saat mampu menguasai teknologi secara paripurna. Namun bukan berarti lantas kita bebas, semena-mena mengunggah sesegera mungkin semua peristiwa tanpa diikuti dan didasari dengan yang namanya tenggang rasa, toleransi atau tepa selira.

*

Menyebarkan berita berupa tulisan, video maupun foto di medsos tidaklah dilarang, tapi haruslah tetap bijak dan berpegang pada hati nurani. Bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, andai mampu menyebar luaskan tragedi yang tengah terjadi secara cepat bahkan sebagai penyebar berita yang pertama.

Sampai hari ini masih saja terjadi dan berulang. Ketika ada yang tengah terkena musibah kecelakaan dan butuh pertolongan segera, justru direkam dulu, difoto dulu sebelum memberikan bantuan. Lebih tragis lagi kadang korban sudah tak bernyawa masih saja difoto cekrak-cekrek lalu dibagi-bagi. Tidak semua foto harus dibagi, bukan?

Kesensitifan seseorang tidak sama. Melihat lalu menyimak berita tentang sebuah tragedi yang menyayat hati tidak semua insan otomatis terpantik emosi. Namun dengan sedikit empati, nurani pun ikut bicara bagaimana rasa duka yang sebenarnya andai kita yang mengalami. Tidakkah terlintas di pikiran bila ini terjadi dan menimpa keluarga tercinta?