(Ketika) “Hari Batik” Sekedar Seremoni

(Ketika) “Hari Batik” Sekedar Seremoni
Sumber Foto : Pexels

Sore itu saya pergi naik kereta dari Yogyakarta menuju Surabaya untuk sebuah urusan keluarga. Setiba di kereta berharap segera memejamkan kedua mata setelah penat menyelimutii tubuh pasca seharian bersih-bersih rumah. Tibalah masinis membunyikan suling tanda kereta segera bertolak. Secara bertahap kepala merebah ke kursi no. 18, lalu kedua mata mencoba memejam.

Mata kanan mulai menutup, namun mata kiri menunda pejaman saat melihat pemandangan seorang ibu sedang memakai masker di jidat. Pemandangan seperti itu sebenarnya sering terjadi, tapi kali ini berhasil mengurungkan niat rebahan. Sepertinya ibu tersebut tidak mau menjauhkan diri dari maskernya.

Meski penempatan masker tampak “aneh”, sang ibu tetap pede seperti tidak mau kehilangan momen indah bersama masker di setiap kerumunan orang banyak. Pandemi Covid-19 telah lama berlalu, bahkan larangan bermasker di ruang publik pun sudah tercabut. Namun, rasanya kenyamanan bermasker di muka umum tetap bersahabat erat di sanubari si ibu.

***

Sebuah kesimpulan dari artikel berjudul “Teori-Teori Tentang Budaya” karangan Roger M. Keesing. Bahwa, “Budaya merupakan subsistem ideasional dalam sistem yang kompleks, seharusnya memberi kemungkinan bagi dialektika untuk menghasilkan pengertian lebih dalam. Bukan soal, merevisi budaya, meradikalisasi budaya, atau hilangnya budaya, selama konsep pokoknya tetap mendorong pengembangan budaya selanjutnya”.

Upaya ibu bermasker sebutlah Bu Putri, tanpa sengaja telah meradikalisasi pemakaiannya ke jidat, tanpa mempedulikan penilaian orang lain. Bu Putri tampak nyaman mengenakannya di jidat. Bagi Bu Putri, tak masalah memindahkan masker di jidat, selama konsep pokoknya tetap mendorong pengembangan budaya bermasker.

Pada awalnya Putri pasti gerah dan ribet menerima keharusan memberangus mulutnya dengan masker di awal pandemi dulu. Semua orang sebenarnya merasakan hal yang sama terhadap hal-hal baru, meskipun ancaman virus sudah di depan mata. Proses pembudayaan memang tidak selesai hanya dalam satu dua hari.

Perlu dua tahun lebih pembiasaan berlangsung melalui pemaksaan hingga sangsi pelanggaran. Namun, ketika pembiasaan itu membudaya, sikap berikutnya adalah pengembangan agar tidak jenuh tergerus kebosanan. Menempatkan masker di jidat, siku, pergelangan tangan, maupun mengaitkan masker menjadikan kalung, merupakan upaya pengembangan agar terus berkembang.

***

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengukuhkan “Batik” sebagai warisan leluhur bukan benda kepada Indonesia. Atas dasar tersebut, Pemerintah memperkuat melalui Keppres No. 33 tahun 2009 sebagai Hari Batik Nasional setiap tanggal 2 Oktober. Konskuensi logisnya, kita wajib menjaga serta merawat warisan budaya, agar UNESCO tidak mengevaluasi atau menarik kembali.

Teman-teman tahu, meskipun UNESCO menentang, ternyata di 2007 Candi Borobudur pernah tidak masuk tujuh keajaiban dunia versi NOWC. New Open World Corporation (NOWC) melakukan survei sejak tahun 2000, dan hasilnya sungguh mengejutkan kita semua. Dari peristiwa itu, setidaknya membuktikan bahwa pengakuan suatu ketika bisa berubah pencabutan.

Bila budaya bermasker Bu Putri secara diam-diam mengamalkan pengembangan budaya ala Keesing. Maka, Hari Batik seharusnya mampu memberi ruang dialektika untuk menghasilkan sesuatu yang konkrit. Intinya, tiada hari tanpa batik, atau munculnya varian-varian pemanfaatan batik dalam kehidupan sehari-hari.

Bidang transportasi udara telah memulai membuat gebrakan, dengan lahirnya Batik Air, atau beberapa waktu sebelumnya Sriwijaya Air. Jika Anda perhatikan postur pesawat-pesawatnya menampilkan keindahan perbatikan, lambung pesawat, jok penumpang, buku panduan, semuanya bernuansa batik. Beberapa bandara, dinding-dinding terminal juga telah memasang ornamen batik.

***

Batik termasuk karya seni berbentuk ornamen pada selembar kain putih, dan umumnya menggunakan sistem wax-resist dyeing. Kita sering menjumpai karya seni batik dengan motif yang mengekspresikan penciptanya. Meningkatkan teknologi pembatikan serta pematenan penciptaannya selayaknya menjadi prioritas perhatian kita.

Seorang pembatik memerlukan konsentrasi tinggi dalam membatik, selain itu juga perlu keheningan untuk menyatukan rasa dan karya dalam berkarya. Proses pengerjaan karya seni batik dengan metode seperti itu dapat mengekspresikan idealisme pembuatnya. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi proses penciptaan batik niscaya meningkatkan produktifitas dan kualitas perbatikan kian meningkat.

Batik adalah karya seni yang menandai identitas bangsa. Karenanya, batik sebagai karya seni perlu menampilkan jati diri sekaligus simbol pemersatu bangsa. Promosi karya seni batik ke mancanegara secara gencar agar jatidiri batik semakin melekat pada diri bangsa Indonesia.

Kemandirian ekonomi bangsa menghindarkan kita dari segala bentuk penjajahan. Para pedagang batik di masa perjuangan kemerdekaan dulu telah membuktikan hal itu. Untuk itu, semangat hari batik penting untuk mendorong kemandirian rakyat agar mampu menghalau segala bentuk penindasan di muka bumi ini.

Jika kita jeli, sebenarnya perbatikan bukan hanya ikon budaya serta identitas bangsa, melainkan juga sebagai penggerak ekonomi masyarakat. Data menyebutkan batik menjadi salah satu komoditi yang berhasil mendatangkan devisa bagi negara. So, teman-teman sepakat kan? Bila batik sebagai penggerak ekonomi.

Akhirnya, mulai saat ini hari batik musti mampu menjadi simbol harapan kedepan. Batik, tidak saja ekspresi seni budaya, namun juga merefleksikan simbol, harapan, dan cita-cita. Motif batik “Sido Mukti” contohnya, adalah delik sandi untuk menggapai “kamukten” (kekayaan) secara terus-menerus. Secara umum batik melambangkan harapan tentang masa depan yang lebih makmur.