Bonus Demografi Bukan Bencana

Bonus Demografi Bukan Bencana
Sumber Pixabay

Konon kabarnya, Indonesia akan mengalami bonus demografi di tahun 2045. Alih-alih, bonus sebagai keuntungan, namun juga bisa menuai kerugian. Generasi muda akan menghadapi bonus atau bencana demografi, maka kuncinya tergantung pemerintah dan rakyat dalam menyikapinya.

Sebuah sumber, menyebutkan bonus demografi merupakan kondisi meningkatnya penduduk usia produksif sebuah negara yaitu antara enam belas sampai enam puluh lima tahun. Peningkatan penduduk usia produktif berlangsung masif seiring menurunnya jumlah kelahiran dan kematian. Indonesia akan genap berusia seratus tahun, saat membanjirnya penduduk usia produktif tiba.

Mengutip Opini Yulianti dengan judul “Bonus atau Bencana Demografi” menyebutkan bonus demografi ibarat bermata dua. Satu sisi, mengantarkan berkah bagi percepatan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sisi lain, justru menjadi bumerang ketika gelombang pengangguran massal tak mampu terbendung sehingga semakin menambah beban anggaran negara.

***

Pertumbuhan PBD Indonesia terhitung sejak 2016 sd 2021 berlangsung secara fluktuatif. Berturut-turut pertumbuhan ekonomi tahun 2016 (5,03%), 2017 (5,07%), 2018 (5,17%) dan 2019 (5,02%). Angka pertumbuhan ekonomi 2020 merosot tajam akibat pandemi (-2,07%), dan mulai merangkak naik menjadi 3,70% di tahun 2021.

Namun, angka pengangguran nasional menunjukkan perbaikan dalam setahun belakangan. Data mencatat angka pengangguran sampai Februari 2023 berkisar 7,99 juta orang, terjadi penurunan 410 orang dari Februari 2022. Pertumbuhan ekonomi yang tidak signifikan memberikan dampak positif terhadap penurunan tingkat pengangguran.

Tahun 1950 Korea Selatan masuk kategori negara paling miskin se-Asia. Isu bonus demografi mendorong negara tersebut beranjak keluar dari keterpurukan. Secara bertahap, Korea Selatan berkembang pesat, dan bahkan mampu membalikkan keadaan.

Tiongkok pun demikian, sebagai negara dengan penduduk beragam mampu merasakan kejayaan bonus demografi pada tahun 1990. Pemerintah Tiongkok berhasil memberdayakan sumber daya manusia melalui industri rumahan. Tiongkok juga melakukan investasi besar-besaran bidang pendidikan pada tahun-tahun itu.

Menilik kedua negara yang memiliki latar belakang hampir sama dengan Indonesia. Maka, jika Indonesia bisa membaca peluang tersebut, niscaya negeri ini akan berbicara banyak memasuki bonus demografi 2045. Pertanyaan mendasarnya, mampukah negeri ini mengambil manfaat besar layaknya Korea Selatan dan Tiongkok?

Pemerintah perlu menyiapkan bonus demografi melalui perwujudan sumber daya manusia berkualitas serta memiliki daya saing tinggi. Mengapa? SDM tenaga kerja Indonesia masih sedikit yang berpendidikan menengah keatas, karenanya daya saingnya sangat rendah. Selain itu, juga akibat tidak tersedianya lapangan kerja memadai sebagaimana ulasan sebelumnya.

***

Bermula dari upaya menjemput bonus melalui pengencangan ikat pinggang, membuka lapak kerja, mendayakan manusia, terpenting dari semuanya adalah konsistensi. Korea Selatan dan Tiongkok saja perlu waktu bertahun-tahun sebelum seperti saat ini. Korea Selatan konsisten selama tujuh puluh tiga tahun, dan Tiongkok menjalankan upaya terus-menerus selama tiga puluh tiga tahun.

Anak saya berumur 21 tahun di 2030, artinya batas normal menyelesaikan strata satunya sekaligus ancang-ancang masuk dunia kerja. Tentu, hal itu berlaku untuk anak-anak seumuran anak saya di luar sana. Intinya, sejak 2030 negeri ini sudah mulai kebanjiran anak saya dan generasinya yang mulai mengincar kue pekerjaan.

Indonesia menyisakan dua puluh dua tahun menuju bonus demografi, negeri ini akan mengalami 5x pergantian Presiden menjelangnya. Indonesia membutuhkan keberlanjutan program dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Urgensi pembuatan rencana kerja tiga puluh tahun, sehingga setiap pemimpin terpilih cukup merencanakan kerja untuk lima tahun yang bersumber dari jangka panjang 30 tahunan.

Menimbang berbagai peluang dan tantangan tersebut, menyiapkan bonus demografi tidak segampang membalik telapak tangan. Membutuhkan komitmen pemerintah serta melibatkan masyarakat secara aktif dan terus-menerus. Saya optimistis koq! Bila kedua pilar berjalan senasib sepenanggungan, maka Indonesia Emas 2045 bukan isapan jempol semata.

 

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.