Piramida Transportasi Indonesia

Piramida Transportasi Indonesia
Sumber Foto : Pexels

Sabtu pagi satu keluarga melintas tol trans Jawa dengan mulus menambah keceriaan dan kedekatan antara orang tua dan anak-anak nya. Sebuah media komunikasi yang cukup baik dan efektif setelah 5 hari kerja sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Melintas juga deretan bus antar Provinsi yang terlihat bersih dan tertib, malah sekarang dengan “double-decker” nan mewah dan nyaman.

Sekelompok keluarga juga datang ke Bandara Cengkareng menyambut “long weekend” ke Bali dengan pesawat terbang. Tampak sumringah walau Bandara terlihat ramai namun keberangkatan mereka “on-time”. Pemandangan di atas sudah terlihat dari tahun 2019 (sebelum covid) dan menggeliat kembali sejak 2022 (setelah Covid). Tidak ada lagi antrean panjang pesawat yang hendak take-off dan on-time performance maskapai naik cukup signifikan.

Perusahan-perusahaan Bus menikmati keuntungan dan berinvestasi dengan interior bus-bus mewah, seperti termuat dalam para bloger Travel ternama di tanah air. KAI juga berinovasi dengan produk-produk exclusive menyerupai mewah nya Business dan First Class pesawat. Bahkan, salah satu group maskapai terbesar tanah air mempunyai rencana IPO di tahun 2020 namun tertunda karena Covid.

Tampak piramida transportasi mendekati sempurna, dan moda transportasi udara menempati level teratas baru menyusul transportasi darat dan laut. Dalam arti level tertinggi adalah moda transportasi dengan biaya tertinggi ketimbang moda transportasi lainnya. Tetapi, memiliki standar level keselamatan sangat ketat.

Hal berbeda sebelum 2019 delay pesawat cukup sering, antrean panjang pesawat menjelang “Take-off” menjadi story yang sering muncul di medsos. Kecelakaan pesawat yang cukup sering, bahkan ada pesawat yang mengangkut durian dengan beban berlebih sehingga mencelakakan penumpang dan sebagainya. Sementara, di jalan darat terlihat Bus antar Provinsi yang ugal-ugalan dengan asap hitam nya yang lumayan gelap, dan sebagainya.

Bagaimana ini bisa terjadi ?

 

Tiket Pesawat (Masih) Mahal

Kita ingat tahun 2018-2019 menjelang Pemilu, isu tiket pesawat yang tiba-tiba naik menjadi trending dan head line berita dimana2. Sesuatu yang mengejutkan setelah sekian lama penumpang pesawat terbius tiket murah. Sebagai perbandingan, tiket pesawat Jakarta – Surabaya 2017 di kisaran Rp 350-480 ribu sekali jalan, sedangkan 2019 sulit menemukan tiket pesawat rute sama under Rp 1 juta.

Bandingkan harga tiket bus di tahun 2017 dengan rute Jakarta-Surabaya berada di kisaran Rp.250 ribuan sekali jalan. Perbedaan yang tidak jauh antara moda darat dan udara, sehingga waktu itu tidak heran sering kita lihat di media (entah itu maksudnya mengolok2 atau memang menyajikan fakta), orang pakai sendal jepit dan pakai sarung naik pesawat terbang.

Saat itu juga banyak perusahaan bus yang gulung tikar. Di tahun 2000an awal, di terminal Pulo Gadung (terminal yang di klaim sebagai terminal bus paling besar di Asia Tenggara) hampir 100an bus berangkat tiap hari nya. Namun, tahun 2018 tinggal 5 bus rata2 berangkat tiap harinya. Sebut saja PO Menara Jaya, PO Giri Indah atau PO Patriot Bandung terpaksa gulung tikar akibat penumpang yang berkurang.

Mungkinkah para penumpang bermigrasi ke moda transportasi pesawat terbang? Gambaran penumpang pesawat bersandal jepit mungkin bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Balik lagi ke tiket pesawat yang naik dan terasa “kemahalan” dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Para maskapai penerbangan mengklaim bahwa kenaikan tersebut penyebabnya adalah kenaikan harga bahan bakar dan perawatan pesawat. Dan, memang mau tidak mau harus naik mengingat keselamatan moda transportasi ini adalah suatu keharusan.

Kita sering mendengar kecelakaan pesawat terjadi sebelum 2019, sebagai data pembanding jumlah kecelakaan pesawat 2017-2018 adalah 81 kecelakaan dengan korban jiwa sebanyak 205. Sedangkan jumlah kecelakaan tahun 2019-2020 adalah 52 dengan korban jiwa 7 orang (KNKT, 2021). Jumlah yang signifikan turun, dan sangat melegakan.

Tapi, bukan berarti kita juga bisa membenarkan harga tiket pesawat yang naik itu sebagai alasan utama, perlu kita cermati mengapa harga itu “harus” naik dan apa yang kita bisa perbuat untuk lebih mengefisienkan atau menurunkan harga tersebut?

 

Fenomena “Telor Mata Sapi”

Kita semua tahu, telor mata sapi itu asal nya dari telur ayam namun tetap saja sapi yang mendapat nama, entah dari mana awalnya.

Senasib dengan telor itu tadi, kenaikan harga tiket selalu menjadi biang kerok kenaikan inflasi nasional. Meskipun, kontribusi kenaikan tiket pesawat itu hanya 0.01% dari Indeks Harga Konsumen (Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, 2022). Itupun beberapa komponen penyumbang seperti harga avtur, pajak avtur, pajak tiket, harga komponen, dan tarif dari Bandara ke maskapai, adalah bukan kontrol pihak maskapai.

Namun tetaplah fenomena telor mata sapi menempel pada moda transportasi ini. Inflasi naik tetaplah si tiket pesawat punya salah.

Agar fenomena itu tidak terus berlangsung dan terus terjadi salah paham, penulis mencoba mengurai apa saja yang perlu perbaikan atau setidaknya perhatian publik dan pembaca mengerti bahwa tidak semua kenaikan itu dalam kendali maskapai.

Pertama, jelas kenaikan harga bahan bakar avtur penyumbang medali emas dalam kenaikan harga tiket pesawat. Untuk harga avtur sendiri, bila kita bandingkan antara negara tetangga seperti Singapore, Vietnam dan Malaysia, harga avtur kita cukup kompetitif sebelum pajak.

Banyak kesalahpahaman, kenaikan harga avtur menjadi tanggung jawab Pertamina, padahal sebenarnya harga produk tersebut sangat fluktuatif. Apalagi saat ini trend kenaikan harga minyak dunia terus terjadi, pastinya harga avtur akan mengerek naik harga tiket pesawat.

Kedua, adanya pengenaan pajak penjualan pada bahan bakar avtur dan tiket pesawat. Bila kita bandingkan dengan negara tetangga, pengenaan pajak keduanya tidak ada atau minimal. Bukan berarti untuk menurunkan harga tiket pesawat PPn tersebut harus hilang, namun setidaknya kita tahu bahwa ada 2 komponen pajak yang mempengaruhi.

Ketiga, masih adanya cukai impor masuk atas komponen suku cadang dan peralatan perawatan pesawat, di negara tetangga penerapannya cukup rendah atau nol.

Keempat, keterbatasan lahan di Bandara2 besar dalam negeri untuk ketersediaan MRO (maintenance, repair and overhaul) pesawat. Sehingga masih banyak pesawat milik maskapai nasional menjalankan perbaikan dan perawatan rutin terpaksa ke luar negeri.

Kelima, beban operasional Bandara mempunyai kontribusi langsung pada biaya operasional maskapai, khususnya pengembangan landasan, pembangunan terminal dan bandara baru, peremajaan kendaraan operasional. Sebelumnya, sebagaimana tersebut di atas, antrean pesawat yang hendak take-off dan landing cukup memakan bahan bakar.

Kita sering mendengar para Pilot meminta maaf kepada penumpang, karena harus menunggu ijin untuk mendarat karena antrean pesawat yang akan mendarat.

Selain itu jam operasional yang terbatas di bandara2 Indonesia bagian tengah dan timur (sebagian besar hanya beroperasi hingga jam 18.00 waktu setempat). Hal ini berpotensi menyebabkan jam operasional dan rotasi pesawat tidak optimum sehingga menaikan biaya operasional maskapai.

Dari beberapa hal di atas, ada lagi hal-hal lain yang perlu perbaikan dan harapannya bisa menurunkan biaya operasional maskapai. Perlunya bantuan pemerintah untuk memfasilitasi kerjasama dengan pabrikan luar negeri yang seharusnya membangun industri komponen dan suku cadang pesawat di dalam negeri. Beralasan, mengingat populasi pesawat di Indonesia termasuk terbesar di kawasan regional.

Selain itu, Kemenhub perlu menyiapkan inspektur pengawas keselamatan penerbangan udara lebih handal, dan mau tidak mau, berbeda dengan inspektur pengawas transportasi darat. Kita tahu inspektur pengawas transportasi darat dan udara saat ini dalam eselon dan remunerasi yang sama, sehingga maskapai nasional masih bisa “cin-cai” bila terdapat temuan terkait keselamatan terbang.

Layaknya “animal insting” seekor Macan akan memakan rusa yang ada di kebun binatang, tanpa ada pengawasan yang ketat dari petugas kebun binatang. Demikian pula industri penerbangan, tanpa pengawasan ketat, wajar maskapai akan menjalankan “animal-insting”. Alih-alih menekan biaya, yang terjadi justru membahayakan keselamatan, dan akhirnya menaikan biaya operasional maskapai secara nasional.

Seorang pengawas FAA (Federal Aviation Administration) – Badan pengawas penerbangan Amerika Serikat pernah mengatakan kepada Penulis. Tidak perlu panjang mengecek teknis keselamatan pesawat, cukup dengan interview penghasilan versus pengeluaran selama setahun, dari sana akan terlihat level safety sebuah negara. Bila pengeluaran seorang inspektur tersebut melebihi dari gaji setahun, maka pasti inspektur pengawas tersebut mendapat keuntungan dari tugas pengawasannya.

Mungkinkah ini terkait dengan larangan maskapai Indonesia terbang ke Amerika Serikat? Walahualam.

Pengoperasian yang lebih efisien dari Bandara akan membantu maskapai dalam menurunkan biaya operasionalnya. Dengan persetujuan pemegang saham dan regulator, depresiasi biaya pembangunan dan perawatan hingga per satuan unit, maka pengenaan biaya ke Maskapai menurun. Contoh lainnya, sebaiknya ada perbedaan pengenaan biaya pada jam sibuk dan jam sepi.

Maskapai masih menanggung biaya yang sama atas penggunaan garbarata (sky bridge) saat jam sepi dan jam sibuk. Saat jam sepi gratis dan naik saat jam sibuk, dengan demikian akan menurunkan biaya tiket pada jam sepi. Mari kita jaga piramida transportasi Indonesia tetap sehat tanpa selalu menyalahkan satu hal yang justru seharusnya kita pecahkan bersama untuk Indonesia Maju.

 

Ari Askhara, Pengamat Transportasi Indonesia