Oleh : Antok Roed***
Perkenalan
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, sehingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.
Umar berlari terpincang-pincang. Walaupun begitu, ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.
“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.
“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.
Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan terbakar hingga ke lutut.
“Umar, bagaimana ini terjadi?” tanya wanita itu kepada Umar. Selanjutnya tangannya meraba wajah lelaki berusia dua puluh tahun di hadapannya dengan gemetar, kemudian memeluk buah hatinya dengan erat, air matanya tumpah hingga membasahi baju anak laki-laki itu.
“Rumah kita dibakar dan aku terkunci di dalam saat membereskan barang-barang yang akan kubawa. Setelah aku berhasil mendobrak pintu dan keluar, kakiku tertimpa bara api,” papar Umar kepada ibunya.
Masyita menangis, ia tak mampu menerima semua keadaan ini. Bagaimana mungkin setelah semua dunia yang dimilikinya harus diikhlaskan, sekarang ia harus melihat anaknya menahan rasa sakit. Masyita adalah seorang ibu yang sangat menyayangi buah hatinya, bahkan iya menempatkan mereka di atas segala urusan.
Konflik
Yasid memeluk istrinya, kemudian mencoba menenangkan.
“Isbirni, ya, Habibati. Yakinlah Allah pasti akan mengganti segala kepayahan ini dengan hal yang lebih baik.” Yasid mengusap kepala dan mengecup dahi wanita kesayangannya.
“In Syaa Allah,” bisik Masyita.
Mereka pun bergegas segera menaiki kapal untuk berhijrah mencari Tanah Surga, tanah dengan seribu harapan. Berbekal cerita nenek moyang, akhirnya mereka mengarungi samudra lepas. Tak peduli dengan badai yang mungkin saja menghadang di tengah perjalanan mereka.
Yasid mendudukkan Umar di geladak kapal, dekat tiang. Bukan hanya keluarga Yasid yang melarikan diri dari desanya, tetapi hampir seluruh warga desa. Mereka berdesak-desakan di atas kapal yang ‘tak cukup besar.
Masyita mendekati anaknya, memandang lekat kaki Umar yang terbakar. Ia selanjutnya menurunkan Imron dari gendongannya. Air matanya mengalir, sesekali kedua tangannya bergantian mengusap pipi. Sedangkan bungsunya, Imron sedang asyik menikmati manisnya jelabi di tangan kanannya. Bayi laki-laki berumur satu tahun itu tampak bahagia, bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Klimaks
Kapal terus berjalan menyusuri laut lepas, Yasid tampak sedang berbincang dengan Bapak Kepala Desa dan pemilik kapal. Dari kejauhan tampak kapal berukuran lebih besar mendekat. Ada sedikit rasa cemas dalam hati Yasid. Perlahan kapal itu semakin mendekat, sehingga menimbulkan gelombang yang cukup kuat untuk menghantam kapal yang ditumpanginya hingga nyaris terbalik.
Semua wanita dalam kapal terpekik ketakutan ketika melihat bendera negara mereka berkibar di atas kapal. Tampak beberapa orang menurunkan sekoci, Yasid langsung mengenali siapa yang ada di dalam sekoci—Neville—jendral yang terkenal memiliki seribu nyawa dan hidup “Tanpa Hati”.
Neville dan pasukannya berhamburan di atas kapal dengan senjata lengkap. Yasid segera berlari ke arah Istri dan anak-anaknya. Dua orang tentara menahannya dan satu orang yang lain mengacungkan senjata ke arah kepala.
Laki-laki bertubuh tegap itu menyuruh anak buahnya untuk mengambil bahan bakar dan para gadis. Umar berlari terpincang dengan satu kaki, mencoba mengejar para tentara yang menyeret Fathimah—adiknya—ke atas sekoci. Sebuah letupan senjata laras panjang membuat semua tangan menutup telinga. Waktu seolah berhenti, seketika semua mata terbelalak, dan serentak mulut mereka berteriak, kemudian membisu.
Masyita berlari ke arah anaknya yang tersungkur, tangannya mencoba menutup aliran darah yang mengucur dari dada Umar. Bau mesiu bercampur darah mengiringi kepergian para gadis dan prajurit-prajurit biadab itu. Kemudian seorang dari tiga prajurit terakhir menendang perut Yasid, hingga ia terhuyung dan jatuh.
“Uma … Ma … af,” ucap Umar dengan terbata. Masyita memeluk erat anaknya, seolah ia telah mengerti anak laki-lakinya akan segera meninggal. Mulutnya terkunci, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Solusi
Sebuah sekoci datang mendekat dan melemparkan beberapa ikat dayung ke atas geledak kapal. Yasid segera mencoba berdiri dan berjalan merangsek menembus orang-orang yang mengerumuni istri dan anaknya.
Hari berlalu, begitu pahit. Tanpa tawa, hampir-hampir seisi kapal nyaris bisu. Selain itu, tidak terdengar mereka berbicara setelah kejadian hari itu.
Masyita hanya duduk terdiam di samping jenazah anaknya selama berhari-hari. Lalat mulai datang menghampiri lezatnya aroma jazad yang mulai membusuk. Warga desa mulai resah.
Kepala Desa menghampiri Yasid yang sedang duduk di samping Masyita.
“Yasid, kami warga desa menyampaikan rasa duka yang mendalam, kami sudah berunding tentang kondisi kita saat ini,” ucap Kepala Desa. “Saat ini kita sudah kehabisan bahan bakar dan bahan makanan. Selain itu warga sudah mulai kehabisan tenaga untuk mendayung kapal. Jika kapal kebanyakan muatan mungkin kita akan tenggelam. Dan bau yang timbul dari ….”
“Begitu kejikah kalian pada kami?” Masyita kemudian berdiri dan berjalan berputar telunjuknya menunjuk semua orang yang ada di sana. “Jika kalian ingin membuang anakku, biar aku pun ikut menceburkan diri ke laut. Bukankah beban kalian akan berkurang?” teriak Masyita.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Yasid dengan berteriak kepada istrinya.
“Untuk apa aku di sini jika semua duniaku sudah hilang? Fathimah … dan sekarang Umar.”
“Apa kamu lupa denganku dan Imron? Aku tidak pernah berpikir kesedihan membuatmu lupa bahwa kami pun adalah bagian dari hidupmu.”
“Jika kau mau, kau bisa menenggelamkan diri bersama kami.” Ucapan Masyita membuat Yasid segera memeluk istrinya.
“Tidak, aku tidak hanya ingin membiarkan menderita di akhirat, cukup penderitaanmu di dunia, ya, Habibati. Ingatlah Allah tidak mengampuni orang-orang yang putus asa dari rahmat-Nya.” Yasid tetap memeluk istrinya, selanjutnya mereka jatuh terhuyung di atas geledak kapal. “Sayang, semua yang mereka bicarakan benar. Karena itu kita harus memikirkan maslahat dan mudarat untuk orang banyak.”
Pesan
Masyita menangis meraung-raung dalam pelukan suaminya di samping jenazah Umar. Hampa, sakit hati, kecewa semua bercampur dalam hatinya. Dunianya menjadi sangat gelap. Dia hanya menginginkan anaknya dimakamkan layaknya manusia.
“Berdoalah, bukankah doa ibu adalah doa terbaik untuk anaknya,” bisik Yasid di telinga istrinya. Masyita hanya mengangguk.
“Pak Kepala Kades … Pak Kades …. Ada nelayan.” Seorang warga berteriak memecah keheningan.
Akhirnya lima orang awak kapal nelayan berjalan menghampiri Pak Kades dan mengatakan bahwa mereka akan segera menarik kapal mereka hingga ke daratan terdekat untuk mengisi bahan bakar dan persediaan makanan.
Selesai …
(“Mencari Tanah Surga” lolos sebagai Karya Terbaik Ke-4 dalam Event Menulis Cerpen Tema Cinta Sejati, bersama puluhan penulis terbaik lainnya berhasil membukukan Antologi “Kelopak yang Tak Pernah Layu“)
***Antok Roed
Wahyu Agung Prihartanto, yang kali ini menjelma menjadi Antok Roed. Terlahir di Yogyakarta 11 Desember beberapa tahun silam. Tahun tak penting bagi pria berkeluarga ini, ia tetap ingin merasa “muda”, apalagi bertemu dengan penulis-penulis muda. Ia penganut nasehat Buya Hamka, bahwa “Menulislah, dan biarkan tulisanmu mengalir mengikuti takdirnya.”
Tinggalkan Balasan