Media Sosial VS Media Mainstream
Geliat media sosial atau sosial media sudah mendominasi ranah dunia maya. Mengutip kepios.com, berdasarkan data bulan februari tahun 2022 jumlah pengguna media sosial yang aktif di Indonesia ada di kisaran angka 191 juta dari total jumlah pengguna internet 205 juta. Pengguna internet yang rata-rata adalah kaum muda, merupakan sasaran empuk untuk tumbuh dan suburnya media sosial.
Media sosial sebenarnya bukanlah barang baru sebagai platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi. Sejarah dimulai pada tahun 1970 saat ditemukannya papan buletin yang menghubungkan satu orang dengan orang lainnya. Kemudian sekitar 26 tahun silam media sosial pertama kali diciptakan pada tahun 1997 dengan nama “Six Degrees”. Berbasis Aplikasi yang memungkinkan orang melihat foto profil lawan komunikasinya.
Dewasa ini, pengaruh media sosial mampu membuat para penggunanya merasa kecanduan yang teramat sangat (adiksi). Seperti sebuah slogan tidak ada hari tanpa bermedsos, ini adalah fakta. Kebutuhan terhadap media sosial sungguh sangat tinggi, menyebabkan para pengguna bersedia aktif selama berjam-jam tanpa merasa bosan. Daya tarik yang disuguhkan oleh Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, Telegram, Snapchat, Line, Linkedin, Youtube hingga Tiktok sungguh sangat menggoda dan menarik perhatian kaum muda.
Dampak yang ditimbulkan oleh media sosial pada kaum muda merupakan peringatan dini (warning) pada media mainstream, untuk tetap waspada dan segera mengambil sikap siaga agar dapat bertahan sekaligus berkembang menyesuaikan kondisi zaman. Kenyataan di atas tentu saja membuat resah media mainstream.
Bukan tanpa alasan, jumlah populasi pengguna media mainstream justru menurun tajam seiring dengan meningkatnya jumlah populasi pengguna media sosial. Alasan yang membuat para insan pers atau media massa (mainstream) ketar-ketir, dan kemudian memutar kepala untuk dapat mempertahankan eksistensinya dengan cara menyesuaikan diri pada kebutuhan pengguna dan perkembangan teknologi (dunia digital).
Keberadaan Media Mainstream sedang Dipertaruhkan
Fenomena dari berkembangnya media sosial dan menurunnya minat baca masyarakat kita, juga turut memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan media mainstream. Bagaimana tidak, dinilai sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan, nyatanya media mainstream hanya menjadi bahan bacaan segelintir masyarakat kita. Tuntutan media mainstream menyesuaikan diri sudah ada di depan mata.
Alih-alih berinovasi, beberapa media mainstream justru membuat berita dengan narasi saduran. Subtansi dari berita yang mengandung berita bohong (fake news) kadang tersaji tanpa sensor para redaksi. Sungguh sangat mengecewakan. Bukan berkontribusi untuk dapat bertahan, malah membuat media mainstream semakin terpuruk pada jurang kehancuran.
Menjamurnya media-media mainstream (cetak dan televisi) tidak lantas menjadi solusi. Belum lagi ulah konyol dari para pemilik media-media mainstream (konglomerat), menyisipkan kepentingan politik pemerintah dalam setiap beritanya. Masyarakat menjadi skeptis (kurang percaya) dan menganggap bahwa media mainstream tidak lagi murni independen.
Hal ini tentu saja bertolak belakang pada cita-cita UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4. Yang mengatur bahwa penyiaran berfungsi sebagai media informasi, “kontrol dan perekat sosial”. Pada agustus tahun 2019 lewat sebuah survey yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menemukan bahwa pers atau media mainstream sebagai lembaga demokrasi yang memiliki tingkat kepercayaan terendah dari masyarakat.
Menjadi Pemenang adalah Sebuah Pilihan
Pertarungan antara media sosial dengan media mainstream dalam mencuri perhatian publik memang tak pernah berhenti. Mendapatkan perhatian penuh (full attention) dan sikap loyal (loyal attitude) dari masyarakat adalah tujuan utama dari keduanya. Yang cukup menarik perhatian kita kemudian, keduanya melakukan berbagai macam cara agar mendapat hati masyarakat luas.
Pada tahun 2020 misalnya, saat wabah covid 19 melanda Indonesia, beberapa kebiasaan masyarakat kita mulai bergeser. Mulai dari kebiasaan bekerja yang semula di kantor menjadi di rumah (work from home) hingga kebiasaan seputar aktivitas hobi. Bergesernya kebiasaan ini, kemudian menjadi ajang kompetisi media mainstream berbasis online (media online) dan media sosial dalam mencuri perhatian publik.
Tahun 2020 dari sebuah kelas menulis online, muncul beberapa media online kepermukaan guna meramaikan ranah dunia maya, mulai dari Rahma.id, Gibhahin.id hingga Captwapri.id. Latar belakang sang pemilik atau pemimpin redaksi pun beragam. Ini adalah bentuk dari sikap antusias para penggiat literasi merubah pergeseran kebiasaan menjadi hal positif pada media mainstream. Fakta yang kemudian muncul adalah literasi terangkat dan semakin banyak orang-orang yang menyukai aktivitas membaca dan menulis. Fact news menjadi ciri khas media mainstream, ini adalah nilai jual untuk dapat bertahan.
Sementara itu, geliat media sosial senada dengan perkembangan media online. Media sosial menawarkan banyak sekali fasilitas yang dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh penggunanya. Mulai dari upload foto, upload video, promosi produk, membuat konten, hingga menyimpan data pribadi dan mungkin masih banyak lagi.
Meski hasil akhir dari media sosial bukan pada akurasi data dan fakta. Namun tetap saja media sosial menjadi alternatif yang memanjakan bagi para penggunanya. Kredibilitas media sosial anjlok karena banyaknya kasus hoaks yang ditemukan dan menjadi perbincangan.
Media sosial dan media mainstream tentu punya banyak sekali pilihan buat kita sebagai pengguna. Dalam dunia yang tak terjangkau oleh mata, kedua media tersebut bertarung untuk dapat bertahan dari persaingan yang terjadi. Soal menang atau kalah memang bukan persoalan biasa. Terlalu banyak perihal yang harus menjadi pertimbangan soal kalah atau menang. Pilihannya ada pada kita sebagai pengguna.
Yuk, ikuti lini masa Instagram captwapri untuk mendapatkan informasi terbaru lainnya!
Baca juga:
1 Comment